Opini

Dilema Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Tugas dosen bukan sekadar menyampaikan pengetahuan secara lisan, tetapi juga bagaimana mencontohkan perbuatan “yang baik” dan “yang benar”

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Dilema Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
FOR SERAMBINEWS.COM
YUSRIZAL HASBI, Dosen Fakultas Hukum dan Kepala Pusat Studi Hukum, Sosial, dan Politik Universitas Malikussaleh Lhokseumawe

OLEH YUSRIZAL HASBI, Dosen Fakultas Hukum dan Kepala Pusat Studi Hukum, Sosial, dan Politik Universitas Malikussaleh Lhokseumawe

DALAM bukunya Nicomachean Ethics, Aristoteles dalam pernyataan eksplisitnya menyatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah mendorong terbentuknya kebiasaan yang berbudi luhur (Elliott et al, 2016).

Oleh sebab itu, berkaca pada pernyataan Aristoteles seyogianya filosofi pendidikan di Indonesia, apalagi tingkat perguruan tinggi diharapkan mampu menjadikan setiap individu bertumbuh paripurna dalam berperilaku.

Hal senada juga diungkapkan oleh Sosiolog Emile Durkheim dalam pemikiran modern tentang pendidikan moral, dalam banyak tulisannya tentang moralitas dan pendidikan.

Durkheim percaya bahwa setiap pengajar harus menjadi model perilaku yang benar secara moral bagi setiap anak didiknya (Durkheim, 1961).

Peran dosen Peran seorang dosen bukan hanya sebatas mentransfer ilmu pengetahuan (knowledge) bagi mahasiswanya, juga berkewajiban mentransfer nilai-nilai etik (ethics) dalam setiap pembelajarannya.

Tugas dosen bukan sekadar menyampaikan pengetahuan secara lisan, tetapi juga bagaimana mencontohkan perbuatan “yang baik” dan “yang benar” sebagai manusia yang berintelektual.

Pada saat yang sama, seorang dosen juga harus memperhatikan bahwa pendidikan moral bukan sekadar bentuk ritual ucapan semata, melainkan harus mampu dikonkritisasi dan refleksi terhadap pemahaman nilai-nilai HAM dan kesetaraan gender.

Dalam melaksanakan aktivitasnya, otoritas seorang dosen harus ditempa dengan kebajikan moral dan kepekaan terhadap kelemahan mahasiswa serta tidak boleh berubah menjadi ajang kekerasan seksual.

Baca juga: Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Disarankan Hukum Rajam, Ini Kasus di Aceh Hingga Juli 2022

Baca juga: Wacana Revisi Qanun Jinayat, Hukum Rajam Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak

Kekerasan seksual pada hakikatnya menunjuk pada perilaku seksual derivatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat.

Perbuatan tersebut juga diyakini bermodus pelanggaran HAM dan pengabaian terhadap ajaran agama (Abdul Wahid, 2001).

Fenomena kejahatan kekerasan seksual semakin umum terjadi di perguruan tinggi saat ini.

Faktanya, perguruan tinggi (PT) menjadi tempat yang ramah terhadap kekerasan seksual.

Walaupun, fenomena tersebut tak bisa di generalisir secara keseluruhan.

Namun, faktanya bahwa berdasarkan survei Kemendikbudristek tahun 2020 menyatakan 77 Persen kampus terjadi kekerasan seksual dan 63 Persen dari kasus tersebut tidak dilaporkan.

Selanjutnya, 27 Persen dari kasus kekerasan seksual terjadi di jenjang perguruan tinggi berdasarkan catatan Komnas Perempuan (2015-2020).

Lahirnya Permendikbudristek No 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan PT, sebagai sinyal bahwa perguruan tinggi berada pada titik nadir darurat kekerasan seksual.

Sejatinya bahwa kekerasan seksual adalah pelanggaran etika yang memerlukan penanganan serius oleh pimpinan PT dan insan akademik lainnya.

Merujuk Pasal 57 Permendikbudristek PPKS, disebutkan bahwa PT harus membentuk satuan tugas PPKS di PT dalam tempo maksimal satu tahun sejak peraturan diterbitkan pada 3 September 2021.

Baca juga: (FULL) Aceh Darurat Kekerasan Seksual, Hukuman Apa Yang Setimpal Untuk Predator

Peran Satgas memang sangat strategis bagi pembinaan warga kampus untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Namun di sisi lain, kelemahan satgas PPKS dinilai kurang berani untuk memproses aduan kekerasan seksual bila pelakunya adalah pimpinan atau pejabat struktural PT.

Posisi korban Jika berpijak pada konstitusi yang bersifat ideal-filosofis, maka pencegahan dan pendidikan kekerasan seksual bekerja untuk membangun kesadaran tentang kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, kesetaraan disabilitas, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi.

Tentunya, sangat diperlukan bentuk dukungan dan layanan khusus bagi mereka yang terkena dampak kekerasan seksual.

Pemulihan keseimbangan seyogianya menjadi tanggungjawab pimpinan PT, sebagai bentuk perlindungan bagi mereka yang menjadi korban atau berpotensi menjadi korban.

Banyak korban kekerasan seksual di PT tidak mau beralih ke sistem peradilan pidana.

Para korban lebih cenderung diam dan mungkin takut akan skeptisisme aparat penegak hukum dan institusi PT jika laporan kekerasan seksual tersebut dilaporkan.

Bagi mahasiswa kekerasan seksual, di samping dapat menyebabkan gangguan psikologis juga mengganggu perkuliahan mereka.

Dalam relasi kuasa, sering kali pelaporan kekerasan seksual harus berakhir dengan dugaan pencemaran nama baik kepada korban.

Baca juga: Komnas HAM Sebut Brigadir J Lakukan Kekerasan Seksual ke Putri Candrawathi, LPSK Bongkar Kejanggalan

Pada umumnya, otoritas PT baru memproses laporan, jika kejadian tersebut sudah tersiar ke publik melalui media sosial.

Sikap PT seperti ini, akan semakin menyuburkan praktik kekerasan seksual apabila tidak ditangani secara serius.

Selain aturan Permendikbudristek tentang PPKS di PT sebagai acuan, ada juga UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan seksual.

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa kekerasan seksual merupakan pelanggaran HAM, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta segala bentuk diskriminasi harus dihapuskan.

Selanjutnya, hak Korban atas Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban.

Selain itu, pemberian restitusi bagi korban oleh pelaku, jika harta kekayaan tidak mencukupi maka negara akan memberikan kompensasi kepada korban sesuai putusan pengadilan.

Bagi korban/penyintas dalam kejahatan kekerasan seksual menyatakan bahwa pemenuhan keadilan sangat penting sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban.

Meminta pertanggungjawaban pelaku dan menjunjung tinggi keselamatan warga kampus harus terus disuarakan.

Sulitnya menghukum predator seksual di PT disebabkan pelaku adalah pejabat PT, dosen senior serta berbagai intimidasi terus dilakukan oleh pelaku.

Baca juga: Pria Texas Bunuh Diri di Pengadilan, Usai Dihukum 100 Tahun Atas Tuduhan Kekerasan Seksual Anak

Di sisi lain, korban/penyintas ditempatkan pada posisi sentral dalam kasus kekerasan seksual.

Namun, untuk proses penegakan hukum secara administratif dan pidana, ada 2 (dua) aspek yang harus diperhatikan: Pertama, bahwa sifat kekerasan seksual sering terjadi secara pribadi, korban sendiri sering menjadi satu-satunya saksi, barang bukti dan alat bukti sulit ditemukan untuk proses pembuktian.

Kedua, banyak laporan pengaduan yang disampaikan oleh mahasiswa terkait kekerasan seksual yang terjadi tidak ditanggapi dan direspons serius oleh pihak PT.

Hal inilah yang menambah daftar panjang fenomena gunung es kekerasan seksual.

Selain dampak merusaknya yang luar biasa, kejahatan kekerasan seksual akan berdampak bagi perguruan tinggi.

Di antara dampak tersebut adalah, Pertama, kasus kekerasan seksual akan mendegradasi visi dan misi dari sebuah PT sebagai lembaga yang aman dan ramah untuk proses belajar mengajar; Kedua, jika terus terjadi kekerasan seksual, masyarakat akan meragukan komitmen dari pimpinan PT untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan di PT.

Ketiga, kasus-kasus yang diekspos di media nasional dapat menimbulkan skandal (aib) bagi institusi PT; dan Keempat, menghilangkan nuansa humanisme pendidikan, mengikis rasa kepercayaan publik terhadap sistem administrasi dalam penyelenggaraan PT.

Pada akhirnya, kita berharap kepada pimpinan PT melalui satgas PPKS harus proaktif dan berani keluar dari zona aman untuk memproses dan menangani setiap pengaduan yang masuk.

Tanpa adanya komitmen dan keberanian dalam penanggulangannya, sangat sulit rasanya PT ditasbihkan sebagai tempat yang aman dan nyaman dari predator seksual. (yusrizal_mh@yahoo.com)

Baca juga: SDN 1 Lambheu Sosialisasi Bahaya Narkoba dan Edukasi Kekerasan Seksual, Diikuti Murid Kelas VI

Baca juga: Cegah Kekerasan Seksual di Kampus, STIAPEN Nagan Raya Bentuk Satgas

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved