Kupi Beungoh
Aceh dan Kepemimpinan Militer (XII) Benarkah Iskandar Muda Raja Liberal ?
Kesimpulan Nuruddin sangat sederhana dan ringkas. Ia menganggap dan bahkan memberikan fatwa aliran Wujudiyah sebagai aliran sesat dan mesti diberantas
Sang Raja bahkan mempersilakan Nuruddin untuk menulis kitab yang seharusnya mempunyai dan mengetengahkan argumen yang membuktikan Wujudiyah sesat dan harus di larang.
Pikiran yang seperti itu sesugguhnya tidak mungkin dapat ditemui pada seorang raja yang sepanjang hidupnya berurusan dengan berbagai perang, kekerasan, dan penaklukan.
Ketika sampai pada urusan pemikiran -seperti pertarungan faham Fansuri vs Ar Raniry, Iskandar Muda ingin hal itu diselesaikan dengan “pertarungan” pemikiran yang sehat dan beradab.
Nuruddin, karena kecewa dan merasa gagal dan putus asa kembali ke kampungnya Ranir, di India.
Ia baru kembali ke Aceh ketika bekas muridnya di Pahang, Raja Husen- yang kelak bernama Iskandar Thani menjadi raja Aceh, menggantikan Iskandar Muda, dan ia menjadi Qadhi kerajaan.
Baca juga: BERITA POPULER- Wanita Abdya VC Tanpa Busana, Pesulap Hijau di Pidie, Isu Irwandi Yusuf Keluar Lapas
Dan memang kemudian, atas fatwanya, semua pengikut faham Wujudiyah ditangkap dan dibunuh, serta semua kitab-kitabnya dibakar.
Tulisan ini tidak bermaksud memihak kepada satu dari dua aliran itu, akan tetapi kerangka berfikir penguasa yang membiarkan “pertarungan wacana” berjalan secara damai bukanlah sesuatu yang sangat sering ditemui pada masa itu.
Sekali lagi jika Iskandar Muda ditarik dalam konteks taksonomi pemikiran, ia adalah raja liberal yang mengutamakan kebebasan berfikir, bahkan dalam menterjemahkan penghambaan makhluk kepada Khalik, sebagai sebuah pencarian abadi yang tak pernah berhenti.
Sikap Iskandar Muda untuk membiarkan para Ulama memberikan penafsiran masing-masing dalam menterjemahkan berbagai ketentuan dalam hubungan makhluk dengan khalik, bukanlah sesuatu yang biasa, bahkan sampai dengan hari ini.
Iskandar Muda sadar atau tidak telah mengirim pesan tentang pentingnya “ pasar wacana”, atau mungkin dapat disebut dengan “pasar ijtihad” dan bahkan memberi kebebasan kepada publik untuk memilihnya.
Kegiatan perdagangan dan konektivitas maritim global, tidak hanya membawa barang dan orang ke Bandar Aceh.
Sebagai salah satu tempat penting di pintu masuk Selat Malaka, pertemuan berbagai bangsa di Aceh juga melahirkan dinamika tersendiri.
Pengaruh konektivitas terhadap kemajuan ekonomi memang sesuatu yang tak dapat disangkal.
Hal itu kemudian menularkan pemikiran, ilmu pengetahuan, seni, makanan, bahkan budaya keseluruhan.
Sangat sulit untuk mengklaim bahwa Aceh dalam perjalanan sejarahnya sampai hari ini secara kultural adalah sebuah entitas independen yang tidak berurusan dengan berbagai budaya lain.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (IX) - Iskandar Muda: Angkatan Perang, “Mercineries”, dan “Raja Toke”