Breaking News

Sudah Dilarang Kemenkes, Apotek Masih Jual Obat Jenis Sirup

Kementerian Kesehatan bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia melaporkan lonjakan peningkatan kasus gangguan ginjal akut yang tinggi pada anak-anak.

Tribunnews/drugfree.org
Ilustrasi obat batuk sirup. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melarang peredaran obat batuk mengandung dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol (EG) yang diduga memicu gagal ginjal akut seperti di Gambia, Afrika. 

 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Meski sudah ada instruksi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) agar tidak menjual secara bebas obat jenis sirup sejumlah apotek dan toko obat di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, masih tetap menjual.

Seruni, pegawai di apotek yang berada di kawasan Babelan mengatakan apotek di tempatnya bekerja masih menjual obat sirup lantaran belum ada arahan tertulis dari Dinas Kesehatan(Dinkes) setempat.

"Baru sekedar baca berita itu juga baru hari ini ya, kita belum bisa menghentikan produksi, tunggu arahan resminya," kata Seruni kepada Tribun, Rabu (19/10/2022).

Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang membeli obat sirup di apotek tempatnya.

"Masyarakat banyak juga yang butuh kalau diberhentikan secara dadakan bagaimana, jadi tunggu resminya saja," tuturnya lagi.

Tak hanya apotek, toko obat dan beberapa warung di kawasan Babelan juga masih banyak yang menjual obat sirup. Bahkan ada yang belum mengetahui pemberitaan bahwa Kemenkes telah mengimbau untuk menghentikan sementara penjualan obat sirup.

"Belum, belum dengar berita, nanti kalau dilarang ya nggak dijual," ujar Akbar penjual obat sirup di warungnya.

Sehubungan dengan terus berkembangnya ginjal akut progresif atipikal yang mayoritas menyerang usia anak di Indonesia, Kementerian Kesehatan(Kemenkes) mengeluarkan surat edaran terkait larangan bagi apotek menjual obat jenis sirup.

Dalam surat bernomor SR.01.05/III/3461/2022 tersebut Kemenkes juga menginstruksikan Tenaga Kesehatan(Nakes) pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/sirup sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk sirup kepada masyarakat sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," tulis Surat Edaran Kemenkes yang ditandatangi oleh Plt Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Murti Utami Selasa(18/10/2022).

Baca juga: Simak Penjelasan BPOM Terkait Sirup yang Terkontaminasi Dietilen Glikol Dan Etilen Glikol

Instruksi dikeluarkan Kemenkes sebagai kewaspadaan atas temuan gangguan ginjal akut progresif atipikal yang mayoritas menyerang usia anak di Indonesia. Kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia terus mengalami perburukan.

Kementerian Kesehatan bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan lonjakan peningkatan kasus gangguan ginjal akut yang tinggi pada anak-anak.


"Hingga saat ini, Rabu (18/10) dilaporkan ada 206 kasus dari 20 provinsi yang melaporkan.

Angka kematian 99 kasus atau 48 persen," ungkap Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr Mohammad Syahril. Lebih lanjut, Syahril mengatakan angka kematian pasien khususnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebagai rujukan nasional ginjal mencapai 65 persen. Ia pun mengatakan jika data tersebut berdasarkan temuan kasus sejak Januari 2022 hingga Rabu (18/10). Syahril juga menjelaskan penyakit gagal ginjal akut pada anak tidak ada kaitannya dengan vaksinasi maupun infeksi COVID-19.

"Sampai saat ini kejadian gagal ginjal akut tidak ada kaitannya dengan vaksin Covid 19 maupun infeksi COVID-19," ujarnya.

Ia pun juga menyebutkan hingga kini masih terus dilakukan pemeriksaan laboratorium dan penyebab pasti gagal ginjal akut pada anak. Meski begitu upaya penelusuran kasus gagal ginjal akut terus dilakukan Kemenkes dengan menggandeng para ahli epidemiologi, Badan POM, IDAI, dan Puslabfor.

Penyelidikan epidemologi dilakukan dengan melakukan pengawasan dan pemeriksaan untuk mengetahui infeksi-infeksi yang menjadi penyebab gagal ginjal akut pada anak. Pemeriksaan mencakup swab tenggorokan, swab anus, pemeriksaan darah dan kemungkinan intoksikasi.


Saat ini Kemenkes bersama tim tengah melakukan penyelidikan epidemologi kepada masyarakat, tim akan menanyakan berbagai jenis obat-obatan yang dikonsumsi maupun penyakit yang pernah di derita 10 hari sebelum masuk rumah sakit atau sakit. "Harapannya hasilnya bisa segera kami dapatkan sebagai informasi untuk penanganan selanjutnya," kata Syahril.
Klarifikasi BPOM

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga mengeluarkan klarifikasi lanjutan, terkait ramainya obat sirup untuk anak yang berisiko mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) dan dikaitkan gangguan ginjal akut.

Keempat jenis obat jenis sirup yang ditarik di Gambia, saat ini tidak terdaftar dan tidak beredar di Indonesia. Selai itu, produk dari produsen Maiden Pharmaceutical Ltd, India tidak ada yang terdaftar di BPOM. Berdasarkan informasi dari WHO, keempat jenis obat yang diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals Limited, terdiri dari Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup.

Lebih lanjut, BPOM melakukan pengawasan secara komprehensif pre- dan post-market terhadap produk obat yang beredar di Indonesia. "Sesuai dengan peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG," tulis BPOM dikutip dari laman resminya.

Namun demikian EG dan DEG dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan. BPOM telah menetapkan batas maksimal EG dan DEG pada kedua bahan tambahan tersebut sesuai standar internasional. Lebih lanjut, kementerian Kesehatan telah menjelaskan bahwa penyebab terjadinya gagal ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) belum diketahui.

Hingga kini masih memerlukan investigasi lebih lanjut bersama BPOM, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan pihak terkait lainnya. Selain itu BPOM mendorong tenaga kesehatan dan industri farmasi untuk aktif melaporkan efek samping obat atau kejadian tidak diinginkan pasca penggunaan obat. Selanjutnya, untuk produk yang melebih ambang batas aman akan segera diberikan sanksi administratif.

Berupa peringatan, peringatan keras, penghentian sementara kegiatan pembuatan obat, pembekuan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), pencabutan sertifikat CPOB, dan penghentian sementara kegiatan iklan, serta pembekuan Izin Edar dan/atau pencabutan Izin Edar. Semua industri farmasi yang memiliki obat sirup yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG, diminta untuk melaporkan hasil pengujian yang dilakukan secara mandiri sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha.

Industri farmasi juga dapat melakukan upaya lain seperti mengganti formula obat dan atau bahan baku jika diperlukan. BPOM juga mengajak masyarakat untuk menggunakan obat secara aman dan selalu memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, menggunakan obat secara sesuai dan tidak melebihi aturan pakai. Kedua, membaca dengan seksama peringatan dalam kemasan;

Ketiga, menghindari penggunaan sisa obat sirup yang sudah terbuka dan disimpan lama. Keempat, melakukan konsultasi kepada dokter, apoteker atau tenaga kesehatan lainnya apabila gejala tidak berkurang setelah 3 (tiga) hari penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas pada upaya pengobatan sendiri (swamedikasi).

Kelima, melaporkan secara lengkap obat yang digunakan pada swamedikasi kepada tenaga kesehatan. Keenam, melaporkan efek samping obat kepada tenaga kesehatan terdekat atau melalui aplikasi layanan BPOM Mobile dan e-MESO Mobile.
"BPOM juga mengimbau masyarakat agar lebih waspada dan menggunakan produk obat yang terdaftar di BPOM yang diperoleh dari fasilitas pelayanan kefarmasian. Atau sumber resmi serta selalu ingat Cek KLIK (cek kemasan, label, izin edar, dan kedaluwarsa) sebelum membeli atau menggunakan obat," tutupnya.

RS Rujukan
Selain melarang penjualan obat jenis sirup bagi apotek dan pemberian resep obat jenis yang sama, Kementerian Kesehatan(Kemenkes) juga menginstruksikan agar fasilitas pelayanan kesehatan atau rumah sakit yang belum memiliki paling sedikit fasilitas ruangan intensif berupa High Care Unit (HCU) dan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) agar bisa memberikan rujukan segara.

Begitu juga apabila ada rumah sakit yang belum memiliki dokter spesialis ginjal anak dan fasilitas hemodialisis agar memberikan rujukan kepada rumah sakit yang sudah ada dokter yang dimaksud tersebut.

"Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang melakukan penatalaksanaan awal Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal/Atypical Progressive Acute Kidney Injury pada anak merupakan rumah sakit yang memiliki paling sedikit fasilitas ruangan intensif berupa High Care Unit (HCU) dan Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

Baca juga: Awas! Anak Rentan Kena Gagal Ginjal Akut, Pemakaian Obat Sirup Dilarang, Dinkes Surati RS dan Apotek

Baca juga: Pemkab Aceh Selatan Serahkan Bantuan Rehab Rumah dan Fasilitas MCK untuk Duafa, Melalui Baitul Mal

Baca juga: Argentina Minta Qatar Tangkap Wakil Presiden Iran, Terlibat Pembantaian Yahudi di Buenos Aires 1994

Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak memiliki fasilitas dimaksud dan/atau sarana prasarana lain sesuai dengan kebutuhan medis pasien harus melakukan rujukan ke Rumah Sakit yang memiliki dokter spesialis ginjal anak dan fasilitas hemodialisis anak.

Baca juga: UIN Ar-Raniry Raih Penghargaan Indikator Kinerja Pelaksana Anggaran dengan Capaian Terbaik Satu

Baca juga: Presiden Rusia Minta Drone Canggih Arash 2, Iran Menolak Dengan Alasan Teknis

Baca juga: Ukraina Sampaikan Terima Kasih ke Arab Saudi, Kerajaan Beri Bantuan Kemanusiaan Rp 6,2 Triliun

Penatalaksanaan pasien oleh rumah sakit mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3305/2022 tentang Tata Laksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan," tulis Surat Edaran Kemenkes.

Kemenkes juga meminta anak dengan kasus suspek gangguan ginjal akut progresif atipikal/atypical progressive acute kidney injury agar segera dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk dilakukan pemeriksaan.

Untuk selanjutnya fasilitas pelayanan kesehatan melakukan pemeriksaan laboratorium ureum, kreatinin dan pemeriksaan penunjang lain, serta melakukan observasi. Selanjutnya bila tidak dapat ditangani dalam 1x24 jam, fasilitas pelayanan Kesehatan harus melakukan rujukan ke Rumah Sakit Rujukan Dialisis anak

Ada 14 RS rujukan dengan fasilitas hemodialisis anak dan tersedianya dokter spesialis ginjal. Diantaranya:

1. RSUP Dr. Cipto MangunKusumo
2. RSUD Dr. Soetomo
3. RSUP Dr. Kariadi Semarang
4. RSUP Dr. Sardjito
5. RSUP Prof Ngoerah
6. RSUP H. Adam Malik
7. RSUD Saiful Anwar Malang
8. RSUP Hasan Sadikin
9. RSAB Harapan Kita
10. RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
11. RSUP Dr. M Djamil
12. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
13. RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
14. RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou

DAFTAR LABORATORIUM RUJUKAN TOKSIKOLOGI

1. Bidang Laboratorium Forensik Sumatera Utara
(Kombes Teguh Yuswardi Hp. 08116241995)


2. Bidang Laboratorium Forensik Riau
(Kompol Erik R. Hp. 085609566893)

3. Bidang Laboratorium Forensik Sumatera Selatan
(Kombes Yusuf S. Hp. 081361589288)

4. Bidang Laboratorium Forensik Jawa Tengah
(Kombes Slamet Iswanto Hp.08124161333)

5. Bidang Laboratorium Forensik Jawa Timur
(Kombes Sodiq P. Hp. 087782861110)

6. Bidang Laboratorium Forensik Bali
(Kombes Roedy Aris. Hp. 085238788928)

7. Bidang Laboratorium Forensik Sulawesi Selatan
(Kombes Nyoman Sukena Hp. 082182629099)

8. Bidang Laboratorium Forensik Papua.
(Kombes Maruli Simanjuntak Hp. 082114251984).

Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan Kesehatan lain yang memberikan perawatan
kepada pasien anak dengan Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal/Atypical
Progressive Acute Kidney Injury harus melakukan penyelidikan epidemiologi
berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, meliputi
kegiatan:


a. melakukan anamnesa termasuk anamnesis mengenai penggunaan obat obatan sediaan cair yang digunakan sebelum mengalami gejala Gangguan

Ginjal Akut Progresif Atipikal/Atypical Progressive Acute Kidney Injury pada
anak, baik obat yang dibeli bebas maupun obat yang didapatkan dari fasilitas
pelayanan kesehatan lain.

b. Dalam hal terdapat penggunaan obat-obatan sediaan cair sebelumnya,
Keluarga pasien diminta menyerahkan obat-obatan tersebut ke di rumah
sakit/fasilitas pelayanan Kesehatan lain tempat pasien dirawat, Selanjutnya
Instalasi/unit farmasi pada rumah sakit/fasilitas pelayanan Kesehatan
melakukan pengemasan ulang, penyegelan obat, dan dimasukkan dalam
plastik transparan untuk dilakukan pemeriksaan toksikologi AKI.

c. Rumah sakit membuat surat permohonan pemeriksaan toksikologi ke
laboratorium rujukan (terlampir) disertai dengan sampel darah (whole blood
dengan EDTA) 5-10 ml dan urine 20 ml yang telah dimasukkan dalam boks
pendingin, disertai dengan obat yang telah dikemas dalam plastik transparan
sebagaimana huruf b di atas.

"Setiap fasilitas pelayanan kesehatan baik Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan yang menerima kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal/Atypical Progressive Acute Kidney Injury harus melakukan pelaporan melalui link yang tersedia pada aplikasi RS Online dan Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR)," tulis Surat Edaran tersebut.(Tribun Network/ais/rin/vio/wly)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved