Jurnalisme Warga

Bus, Moda Transportasi Idola Keluarga

Auto  bus yang menjadi idolanya adalah Putra Pelangi, Sempati Star, dan yang terbaru Jasa Rahayu Gumpueng (JRG).

Editor: Zaenal
facebook.com/cbariah
Wakil Rektor II  Universitas Islam Kebangsaan Indonesia, Dosen Fakutas Ekonomi Universitas Almuslim, dan Anggota FAMe Chapter Bireuen 

CHAIRUL BARIAH, Wakil Rektor II  Universitas Islam Kebangsaan Indonesia, Dosen Fakutas Ekonomi Universitas Almuslim, dan Anggota FAMe Chapter Bireuen, melaporkan dari Medan.

SALAH satu moda transportasi yang saat ini sangat digemari adalah bus. 

Bus Aceh terkenal bagus-bagus, mewah, dan nyaman.

Ada berbagai jenis bus yang saat ini beroperasi memenuhi kebutuhan masyarakat.

Perusahaan Otobus (PO) yang paling legendaris adalah Perusahaan Transportasi Ondernemer Hasan (PMTOH).

Masa jayanya antara tahun 1970 sampai dengan 1980 dengan rute terjauh adalah Aceh-Solo.

Adik saya pernah cerita waktu dulu naik bus PMTOH dari Solo pulang ke Aceh, selama dalam perjalanan dalam satu bus itu seperti keluarga besar, bus berhenti pada saat waktu shalat. Aceh Solo ditempuh hampir empat hari sehingga membuat kaki bengkak.

Namun, tali silaturahmi berjalan dengan baik, berbaur dengan beragam karakter penumpang, serta asal daerah masing-masing.

Saya juga pernah melakukan perjalanan dari Aceh ke Jakarta dengan waktu tempuh tiga hari  naik Bus Kurnia.

Maklum, pada masa itu masih jarang orang yang naik pesawat karena terasa sangat mahal.

Seiring dengan prkembangan zaman, bus di Aceh semakin maju dan mewah.

Masing-masing  otobus bersaing untuk menarik pelanggan, baik dengan menambah aksesori ataupun penamaan yang keren-keren.

Anak saya paling suka ‘hunting’ bus dengan memilih lokasi strategis di sisi jalan nasional. Biasanya di hari libur sekolah pagi atau di malam hari.

Auto  bus yang menjadi idolanya adalah Putra Pelangi, Sempati Star, dan yang terbaru Jasa Rahayu Gumpueng (JRG).

Baca juga: PMTOH Bangun KSI, Angkut Tekstil ke Aceh, Alpukat dan Arang ke Jakarta

Baca juga: BPPA Pulangkan Warga Aceh Kurang Mampu dari Jakarta dengan Putra Pelangi, Ini Identitas Ketiganya

Untuk menyalurkan hobinya dia bergabung dengan komunitas Aceh Bus Mania, walaupun memilki poster kecil tetapi tetap semangat join dengan para senior yang bertubuh kekar.

Beberapa waktu lalu, saya menyempatkan diri menikmatai perjalanan bersama keluarga dari Matangglumpang Dua, Bireuen, menuju Medan, Sumatera Utara (Sumut) dalam rangka perjalanan ke negeri seberang.

Kami menggunakan Bus Putra Pelangi. Awalnya sempat kecewa karena bus yang kami pesan tidak sesuai dengan yang berangkat malam itu.

Seharusnya Bus Putra Pelangi, tetapi akhirnya naik yang nonstop.

Pada saat kami naik di depan Raja Pelangi Travel Matangglumpang Dua,  ada juga  penumpang lain dengan tujuan yang sama.

Setelah menyerahkan tiket dan nomor barang kami dipersilakan naik ke bus melalui pintu depan.

Saya menyapa sopir dan kernet yang namanya tak asing dalam komunitas ‘hunting’ bus.

Saya melirik ke beberapa sisi dalam bus, penumpang banyak yang tertidur, maklum seharusnyan bus yang kami tumpangi adalah rute Bireuen-Medan, tetapi yang ada rute Banda Aceh–Medan.

Alunan musik dengan lagu sendu menemani para penumpang  yang tidur.

Karena baru naik ke bus,  belum merasa ngantuk, lagi pula duduk di sisi dekat jendela kaca, saya dapat melihat pemandangan malam di sisi jalan nasional.

Banyak  warung kopi yang masih buka dan lalu lalang kendaraan sesekali menyilaukan mata karena sorotan lampunya.

Duduk di sisi jendela saya dapat merasakan bagaimana sensasi pada saat mobil berbelok di beberapa tikungan yang patah dan tajam.

Saya melawan jantung yang berdetak kencang pada saat ada bus lain yang mendahului ke depan dan  badan bus nyaris beradu dan menyentuh kaca di sisi saya.

Sungguh pengalaman yang tak dapat dilupakan.

Sang sopir bukannya tak mau mengalah, tetapi karena kondisi dalam kecepatan tinggi sulit untuk mengerem maka harus menyesuaikan dengan keadaan.

Perjalanan malam hari lebih nyaman karena jumlah kendaraan yang melintas terbatas.

Bus malam dikenal dengan sebutan “Raja Jalanan”, terkadang kecepatannya di atas rata-rata yang diperbolehkan.

Untuk yang berpenyakit jantung tidak diajurkan naik bus malam.

Sensasi naik bus malam seperti terbang tanpa sayap. He he.

Suasana malam yang sepi diiringi dengan nyanyian yang sendu membuat para penumpang tertidur pulas bahkan ada yang mendengkur.

Saat saya berpaling ke belakang semua sudah menarik selimut yang disediakan untuk penumpang karena malam itu AC-nya sangat dingin, untung saya pakai jaket sehingga tidak sampai menggigil.

Risiko dalam perjalanan bagi seorang sopir pastilah ada.

Namun, kita berserah diri kepada Allah yang selalu melindungi, kita harus siap siaga kalau bus dihentikan tiba-tiba, apalagi kalau ada orang yang melempar kaca bus tentu membutuhkan konsentrasi agar dapat mengendalikan bus dengan baik, pengalaman sang sopir.

Melewati jalan pintas melalui simpang Krueng Mane menuju simpang Alue Awe dan akhirnya ke jalan lintas nasional Lhokseumawe-Medan.

Kecepatan bus antara 90 hingga 100 kilometer per jam, bahkan terkadang lebih membuat kami terasa goyang dan tergeser dari tempat duduk.

Penumpang malam itu hampir 90 persen tertidur, tapi saya ingin menikmati perjalanan dengan santai sambil berbincang dengan putra bungsu saya.

Namun, ketika tiba di perbatasan Aceh-Sumut mata saya tak dapat lagi diajak kompromi, akhirnya kami pun tertidur.

Sejak kecil putra kami sudah menyukai bus.

Waktu masih tinggal di sisi jalan nasional Banda Aceh-Medan berbagai bentuk bus lewat di depan rumah, dia  sangat senang, apalagi ketika sang sopir membunyikan klakson telolet-telolet, hati serasa berbunga-bunga.

Sekarang, model dan penampilan bus terutama di Aceh bagus dan menarik, sudah menjadi hal yang lumrah di Aceh tidak akan ada penumpang yang mau naik bus yang tua dan lusuh, apalagi sering mogok  di jalan.

Hal ini menyebabkan seluruh PO yang beroperasi di Aceh berlomba-lomba untuk membuat busnya menarik dan disukai penumpang.

Pelayanan yang diberikan oleh otobus juga memengaruhi jumlah penumpang.

Sebagai contoh  penempatan barang bawaan penumpang  dipilah yang tidak boleh ditimpa harus  dipisahkan,  memberikan jadwal informasi keberangkatan yang tepat, bila ada keluhan penumpang cepat direspons seperti terkadang ada bus yang AC-nya bocor, respons cepat berkesan bagi penumpang dan menjadi sarana promosi yang baik untuk otobus.

Sebelum pandemi Covid-19 melanda Aceh, saya pernah melakukan perjalanan ke Medan menggunakan Bus Sempati Star.

Otobus ini layaknya di luar Aceh karena sopirnya memakai baju seragam.

Menjadi penumpang bus ini juga menyenangkan karena ada snak dan minum sebagai bonus bagi penumpang.

Karena cintanya putra saya pada bus, dinding kamar penuh dengan gambar-gambar bus, bahkan ada poster besarnya  dengan ‘background’ bus Sempati Star semasa jaya-jayanya.

Namun, saat ini keberadaan bus ini tidak seheboh masa lalu.

Perjalanan yang lalu banyak berhenti di beberapa tempat, terutama rumah makan.

Namun, perjalanan kali ini, bus yang kami tumpangi tidak berhenti di terminal dan di tempat lainnya.

Karena nonstop, hanya berhenti di tempat tujuan, yaitu gudang Putra Pelangi Medan.

Kami tiba pukul 05.45 WIB, setelah menurunkan barang langsung bergegas ke musala yang berada di kompleks gudang Pelangi untuk shalat Subuh.

Setelah selesai kami sarapan pagi kemudian mandi dan bersiap-siap menuju Bandara Kuala Namu menggunakan Grab Car melalui aplikasi.

Hmm, senangnya naik bus yang menjadi moda transportasi idola keluarga dan semua kalangan.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved