Gempa Turkey

Kisah Korban Gempa Turki-Suriah: Tidak Ada yang Keluar Hidup-Hidup, Lebih Buruk dari Pengeboman

“Saya di depan puing-puing bangunan yang runtuh. Sayangnya, tidak ada yang keluar hidup-hidup tadi malam,” laporan jurnalis Resul Serdar.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Amirullah
AFP/Adem ALTAN
Tim penyelamat dan warga sipil Turkiye mencari korban selamat di bawah reruntuhan bangunan yang runtuh di Kahramanmaras, dekat pusat gempa, Selasa (7/2/2023). 

Kisah Korban Gempa Turki-Suriah: Tidak Ada yang Keluar Hidup-Hidup, Lebih Buruk dari Pengeboman

SERAMBINEWS.COM, ANKARA - Dua hari setelah gempa bumi dahsyat yang melanda Turki-Suriah, upaya bantuan penyelamatan belum mencapai beberapa wilayah di negara itu.

Provinsi Hatay, Turki yang menampung sekitar 500.000 pengungsi Suriah, menjadi daerah yang paling terdampak akibat gempa.

Tim penyelamat kewalahan menghadapi tingkat kehancuran bangunan yang runtuh.

Bantuan tertunda karena kerusakan besar yang diakibatkan gempa pada jalan-jalan dan bandara di dekat ibu kota provinsi, Antakya.

Resul Serdar dari Kantor Berita Al Jazeera melaporkan dari Kahramanmaras Turki terkait upaya penyelamatan korban yang tertimpa runtuhan bangunan di hari keempat pasca gempa.

“Saya di depan puing-puing bangunan yang runtuh. Sayangnya, tidak ada yang keluar hidup-hidup tadi malam,” laporannya.

“Anda dapat melihat beberapa mayat yang ditarik keluar dari puing-puing bangunan yang terbakar oleh tim penyelamat, dan alasannya adalah karena ada juga api, ”kata Serdar.

Ia menambahkan bahwa tidak jelas apa yang menyebabkan kobaran api itu muncul.

Iskenderun, salah satu kota yang paling parah diguncang gempa dahsyat di Turkiye.
Iskenderun, salah satu kota yang paling parah diguncang gempa dahsyat di Turkiye. (AFP)

Serdar melaporkan di depan apa yang dulunya adalah hotel Saffron yang memiliki setidaknya 60 orang di dalamnya saat gempa awal terjadi.

“Tempat itu benar-benar runtuh, dan sampai sekarang enam puluh mayat masih terkubur di bawah reruntuhan,” katanya.

Laporan terbaru yang dihimpun Serambinews.com dari Live Update CNN, Kamis (9/2/2023) pukul 14:30 WIB, korban meninggal akibat gempa bumi Turki-Suriah melampaui 16.000 jiwa.

Menurut pihak berwenang, setidaknya 16.035 jiwa telah dilaporkan meninggal akibat gempa tersebut.

Umumnya mereka yang meninggal akibat tidak bisa meyelamatkan diri dan akhirnya tertimpa bangunan yang runtuh.

Di Suriah, jumlah total korban meninggal dilaporkan 3.162 jiwa, termasuk 1.900 jiwa di daerah yang dikuasai pemberontak, menurut kelompok pertahanan sipil "White Helmets". 

Sementara 1.262 jiwa meninggal telah dicatat di wilayah yang dikuasai pemerintah Suriah.

Di Turki, jumlah korban telah meningkat menjadi setidaknya 12.873, menurut Otoritas Manajemen Bencana dan Darurat Turki (AFAD) pada Kamis. 

Badan-badan bantuan telah memperingatkan jumlah korban kemungkinan akan meningkat secara signifikan, terutama di Suriah.

Hal itu terjadi karena tim pencarian dan penyelamatan masih menggali puing-puing ribuan bangunan yang runtuh di tengah kondisi cuaca yang dingin, serta dihadapkan dengan risiko gempa susulan.

Puluhan ribu orang telah dilaporkan terluka di seluruh wilayah, menurut pejabat.

Mesut Hancer memegang tangan putrinya yang berusia 15 tahun, Irmak, yang meninggal dalam gempa dahsyat berkekuatan 7,8 SR guncang Turki pada Senin (6/2/2023) dihi hari WIB.
Mesut Hancer memegang tangan putrinya yang berusia 15 tahun, Irmak, yang meninggal dalam gempa dahsyat berkekuatan 7,8 SR guncang Turki pada Senin (6/2/2023) dihi hari WIB. (ADEM ALTAN / AFP)

Jurnalis dari Al Jazeera berbicara dengan dua wanita pengungsi Suriah, yang tinggal di kota Reyhanli di provinsi Hatay, dekat perbatasan dengan Suriah.

Keduanya merupakan korban dalam perang di Suriah dan telah melarikan diri melintasi perbatasan tujuh tahun lalu, untuk mencari keselamatan bagi anak-anak mereka .

Beginilah cara mereka menggambarkan situasinya saat terjadi gempa.

Um Hadi, ibu empat anak

Saat gempa pertama terjadi, kami mengunjungi Um Khalid.

Kami merasa rumah itu akan menelan kami, kami merasa kami akan mati. Listrik padam, tetapi kami berhasil lari keluar.

Tangisan, ratapan, ketakutan, dingin, dan hujan! Itu lebih buruk dari pengeboman di Suriah, lebih buruk dari jet tempur.

Saat jet datang untuk mengebom, Anda mendengarnya, Anda tahu mereka akan datang, Anda bisa bersembunyi.

Dengan gempa bumi, Anda tidak tahu kapan akan terjadi.

Kami keluar dan berlindung di bawah pohon dalam cuaca dingin, karena bumi terus berguncang.

Kami kedinginan jadi kami menyalakan api kecil agar tetap hangat.

Tidak ada tempat untuk pergi dan kami terlalu takut untuk kembali ke dalam rumah kami yang masih berdiri namun rusak akibat gempa.

Kami telah menghabiskan dua malam seperti ini, duduk di kursi di luar, dalam cuaca dingin, tidak tidur semenit pun. Kami adalah pengungsi tanpa rumah lagi.

Hari ini, pemerintah kota memasang beberapa tenda untuk digunakan orang sebagai tempat berlindung, tetapi tidak ada bantuan yang sampai kepada kami, tidak ada yang datang untuk membantu kami.

Petugas polisi Zekeriya Yildiz memeluk putrinya setelah mereka menyelamatkannya dari puing-puing di Hatay pada 6 Februari 2023, setelah gempa berkekuatan 7,8 melanda tenggara negara itu.
Petugas polisi Zekeriya Yildiz memeluk putrinya setelah mereka menyelamatkannya dari puing-puing di Hatay pada 6 Februari 2023, setelah gempa berkekuatan 7,8 melanda tenggara negara itu. (BULENT KILIC / AFP)

Toko roti tidak buka. Bahkan jika Anda ingin membeli roti, Anda tidak dapat menemukannya.

Saya berkeliling ke seluruh kota mencari makanan untuk anak-anak kami dan tidak dapat menemukan apa pun kecuali biskuit dan samoon [sejenis roti], dan itu juga mahal.

Harga segala sesuatu melonjak dua hingga tiga kali lipat. Saya membeli lilin untuk penerangan di malam hari; sekarang 15 lira [Rp 12 ribu], dulu 4 lira [Rp 3 ribu].

Masih belum ada listrik, belum ada air mengalir, belum ada gas, belum ada bahan bakar.

Rumah sakit semua rusak. Ada juga orang yang tewas akibat gempa tersebut. Kami mendengar menara salah satu masjid jatuh menimpa sebuah mobil tempat sebuah keluarga berlindung dan itu menewaskan mereka.

Ada korban lain juga, tapi tidak sebanyak Antakya. Di sana, banyak sekali yang meninggal, kebanyakan dari mereka adalah warga Suriah.

Dan di Suriah, situasinya bahkan lebih buruk. Begitu banyak yang meninggal. Saya juga kehilangan beberapa kerabat.

Um Khalid, ibu tiga anak

Syukurlah kita masih hidup. Tapi kami sudah duduk di luar dalam cuaca dingin dan hujan sejak Senin pagi sekarang.

Anak-anak saya bersama kami dalam suhu beku ini. Mereka takut, mereka gemetar karena kedinginan di depan mataku, satu sudah sakit. Ya Tuhan kasihanilah kami.

Saya telah kehilangan saudara dalam gempa bumi. Sepupu saya kehilangan istri dan anak-anaknya; saudara saya lainnya kehilangan anak-anaknya di Suriah. Begitu banyak orang meninggal.

Kami tidak berani masuk ke dalam rumah kami. Saya tinggal di lantai pertama dan saya masih takut.

Bangunan itu tidak runtuh tetapi rusak. Dan mereka memberi tahu kami bahwa gedung bertingkat itu tidak aman dan kami tidak boleh masuk.

Tidak ada listrik, tidak ada air mengalir. Kami membeli air untuk diminum. Sebuah truk kecil datang dan menjualnya seharga 15 lira [Rp 12 ribu] per botol. Mereka semua memanfaatkan situasi.

Kemarin malam, pihak berwenang datang dan membagikan satu samoon (rotoi) per keluarga. Bayangkan, satu samoon untuk kita berempat.

Jalan terputus dan kami tidak bisa pergi ke tempat lain. Kami sendirian, tidak ada organisasi bantuan di sini, tidak ada bantuan pemerintah.

Situasinya sudah buruk sebelum ini terjadi. Sewa naik, harga naik. Kami berjuang lebih dari saat kami berada di Suriah. Kami sudah kelaparan. Semoga Tuhan membantu kita. .  (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

 

PERKEMBANGAN LAINNYA TERKAIT GEMPA TURKI

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved