Disebut Bela Irwandi Yusuf usai Kritik KPK, Humam Hamid Singgung soal Peunayah Pascadamai
Humam Hamid menjadi perbincangan publik di Aceh, setelah mengkritik dan Presiden Jokowi terkait kasus Ayah Merin, singgung soal peunayah pascadamai
Penulis: Sara Masroni | Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM – Sosok Prof Dr Ahmad Humam Hamid, menjadi perbincangan publik di Aceh, setelah mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan panglima GAM wilayah Sabang, Izil Azhar alias Ayah Merin.
Pada, Sabtu (18/2/2023), Humam Hamid secara khusus menghubungi Serambi dan memberikan tanggapannya terhadap penangkapan Ayah Merin oleh KPK.
Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh ini, menilai ada upaya mempermalukan Aceh atas aksi penangkapan Ayah Merin dan pemanggilan mantan gubernur Aceh, Irwandi Yusuf oleh KPK beberapa hari lalu.
Padahal, Irwandi Yusuf baru beberapa hari lalu menghirup udara bebas, setelah mendapatkan pembebasan bersyarat dari Lapas Sukamiskin, dalam kasus dugaan korupsi Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) 2018.
Baca juga: Berani Kritik KPK dan Presiden Jokowi Terkait Kasus Ayah Merin dan Irwandi Yusuf, Siapa Humam Hamid?
Humam menilai penanganan kasus gratifikasi yang melibatkan Ayah Merin tidak seharusnya dilihat dari perspektif hukum semata, tapi harus juga dilihat dari perspektif sosial karena saat itu Aceh dalam masa transisi pascadamai, yaitu dari perang ke perdamaian.
Seperti diketahui, Aceh kembali menjadi sorotan setelah KPK menangkap Izil Azhar alias Ayah Merin, mantan petinggi GAM wilayah Sabang yang juga orang kepercayaan Irwandi Yusuf, mantan gubernur Aceh di Banda Aceh pada 25 Januari 2023.
Ayah Merin yang berstatus tersangka ditangkap setelah menjadi buronan KPK sejak 2018 dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi proyek pembangunan dermaga bongkar pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang tahun anggaran 2006-2011 sebesar Rp 32,45 miliar.
“Kasus itu harus dilihat dalam perspektif transisi. Dari ekonomi perang ke ekonomi damai yang belum jelas benar bagaimana bentuk kesejahteraan kepada eks kombatan, anak yatim, janda konflik saat itu,” kata Humam.
Baca juga: KPK Jangan Permalukan Aceh
Pernyataan Humam Hamid yang menjadi headline Harian Serambi Indonesia edisi Minggu (19/2/2023) dengan judul “KPK Jangan Permalukan Aceh” menimbulkan prokontra, terutama warganet yang meninggalkan komentarnya di laman Facebook Serambinews.com.
Sebagian warganet menilai pernyataan Prof Humam ini memberikan pencerahan tentang situasi Aceh yang serba tak menentu pada masa-masa awal pascadamai.
Namun, sebagian netizen menganggap pernyataan Prof Humam Hamid ini sebagai upaya membela para koruptor di Aceh, terutama Ayah Merin dan Irwandi Yusuf.
Lalu benarkah Prof Humam sedang melakukan upaya untuk membela Irwandi Yusuf agar tidak lagi dijerat oleh KPK dalam kasus Izil Azhar alias Ayah Merin yang kini sedang berproses di KPK?
Menanggapi ini, Prof Ahmad Humam Hamid menyampaikan dirinya secara pribadi pernah berteman dengan Irwandi, kemudian bersaing di Pilkada 2006, lalu berteman lagi.
Baca juga: Pernyataan Prof Humam Terkait KPK, Ayah Merin dan Irwandi Yusuf Ditanggapi Pro-Kontra
Ada dua hal yang menjadi filosofi hidupnya.
Pertama, sesuatu yang bisa dikontrol dan kedua, sesuatu yang tidak bisa dikontrol.
"Yang di luar kita kontrol kita terima apa pun, tapi apa yang bisa kita kontrol kita harus hati-hati untuk mengontrolnya," kata Prof Humam kepada Serambinews.com, Minggu (19/2/2023).
"Mau hujan kita tidak bisa kontrol di luar, tapi mengenai pendapat saya bisa kontrol," tambahnya.
Baca juga: Kenapa China tak Bantu Rusia Invasi Ukraina dan Xi Jinping Memilih Diam? Ini Ulasan Prof Humam Hamid
Singgung tentang Peunayah
Sosiolog yang juga Guru Besar USK itu mencontohkan seperti memberi pendapat tentang posisi Irwandi dan Ayah Merin.
Meski Irwandi pernah bersaing dan mengalahkan dirinya pada Pilkada 2006 silam, Humam menyampaikan biarkan itu menjadi urusan pribadi dirinya.
Namun ketika memberi penilaian atau komentar terhadap kasus Irwandi dan Ayah Merin, menurutnya hal-hal yang berurusan dengan pribadi mesti dikesampingkan terlebih dahulu.
"Saya harus melihat dengan jernih dan itulah yang orang katakan sama kayak membelot, bukan membelot," ungkap Prof Humam.
"Itulah pendapat saya yang melihat dengan kejernihan pikiran, kalau itu disebut membelot ya alhamdulillah. Terserah orang," tambahnya sambil tertawa.
Baca juga: Rocky Gerung: Saya Anggota GAM, Mau Ganti KTP dan Jadi Caleg dari Aceh
Ia bercerita, Irwandi sempat mengalami stroke saat menjabat gubernur Aceh, karena cukup kuatnya tekanan pada masa itu.
Irwandi menjadi gubernur pada periode pertama pasca-damai Aceh ketika ribuan orang eks kombatan GAM dan keluarga yang berharap mendapat banyak hal dari buah perdamaian, termasuk Ayah Merin.
"Irwandi itu berkali-kali berkelahi dengan eks kombatan di depan ruang kerjanya, karena mereka memaki-maki dia, mana uang, mana ini, mana itu, diancam pakai senjata, capek itu mengurus pasca-konflik, begitu juga Ayah Merin," tambahnya.
Jadi menurutnya, ini bukan soal bela membela, melainkan melihat perspektif pada masa itu dengan kacamata yang lebih jernih, bukan dengan emosi.
Menurut Prof Humam, sebagai mantan petinggi GAM, Irwandi dan Ayah Merin, serta para panglima GAM lainnya, saat itu sangat kesulitan menghadapi para mantan kombatan dan korban konflik yang menuntut “peunayah” alias uang ganti rugi sebagai implikasi dari perdamaian Aceh.
Peunayah sebuah istilah dalam bahasa Aceh yang kerap diartikan sebagai gaji atau uang atas hasil jerih payah, juga kerap digunakan sebagai uang ganti rugi.
Untuk diketahui, Ahmad Humam Hamid pernah menjadi lawan dan dikalahkan oleh Irwandi Yusuf pada kontestasi Pilkada Gubernur Aceh tahun 2006.
Ini adalah pilkada pertama di Aceh pascadamai, sekaligus pilkada pertama di Indonesia yang calonnya dipilih langsung oleh rakyat alias pilkadasung.
Dalam pilkadasung perdana ini Humam Hamid berpasangan dengan Hasbi Abdullah (adik dari dr Zaini Abdullah, mantan menteri luar negeri GAM).
Pasangan yang didukung oleh elite GAM Swedia ini diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan dikenal dengan akronim H2O (Humam-Hasbi Oke).
Dalam Pilkada itu, pasang Humam Hamid yang didukung elite GAM Swedia, kalah bersaing dengan pasangan Irwandi Yusuf (mantan juru propaganda GAM) dan Muhammad Nazar (Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh/SIRA) yang didukung oleh para panglima dan kombatan GAM.
Seusai Pilkada itu, Prof Humam Hamid menarik diri dari kancah politik dan kembali mengabdikan diri sebagai Guru Besar di Kampus USK dan kerja kerja kemanusiaan.
Sedangkan pasangannya Hasbi Abdullah kemudian maju sebagai caleg DPR Aceh dari Partai Aceh, partai lokal yang dibentuk oleh para mantan kombatan GAM.
Dalam Pemilu 2009 itu, Hasbi Abdullah terpilih menjadi anggota DPRA dan kemudian menjadi Ketua DPRA periode 2009-2014.
Pemilu 2009 yang merupakan pemilu pertama di Aceh pascadamai diikuti oleh 38 partai berbasis nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh, yakni Partai Aceh (PA), Partai Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).
Kritik KPK dan Jokowi
Diberitakan sebelumnya, Sosiolog yang juga Guru Besar USK, Prof Ahmad Humam Hamid meminta KPK tidak mempermalukan Aceh melalui penanganan kasus Ayah Merin.
Ia menilai penanganan kasus gratifikasi yang melibatkan Ayah Merin tidak seharusnya dilihat dari perspektif hukum semata.
Tetapi harus juga dilihat dari perspektif sosial karena saat itu Aceh dalam masa transisi pascadamai, yaitu dari perang ke perdamaian.
"Kasus itu harus dilihat dalam perspektif transisi kata Humam secara langsung kepada Serambi pada Sabtu (18/2/2023) menanggapi penangkapan Ayah Merin oleh KPK.
"Dari ekonomi perang ke ekonomi damai yang belum jelas benar bagaimana bentuk kesejahteraan kepada eks kombatan, anak yatim, janda konflik saat itu," tambahnya.
Humam menegaskan bahwa apa yang disampaikannya tersebut tidak dalam rangka membela Ayah Merin, apalagi mantan gubernur Aceh Irwandi Yusuf.
Sebagai sosiolog, ia hanya melihat dari sisi bagaimana pemerintah pusat memperlakukan Aceh.
"Jadi menurut saya, sebaiknya (kasus) ini dihentikan. Ini sosiologis, saya tidak bicara hukum," ungkap Humam.
"Dan kadang-kadang sosiologis ini lebih penting daripada hukum. Saya juga tahu Izil bukan manusia hebat dan baik sekali. Tetapi ia punya tanggung jawab. Itu yang saya hormati," tambahnya.
Beda SBY dengan Jokowi
Prof Humam Hamid menjelaskan, Presiden Jokowi dan KPK memang tidak ada kaitan dalam penanganan kasus dugaan korupsi di Aceh.
Akan tetapi, terang Humam, publik Aceh akan memiliki dua memori berbeda terhadap pemerintah pusat dalam menjaga harkat dan martabat Aceh.
“Pada masa Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), dia berusaha sekuat tenaga untuk mendamaikan Aceh. Pada masa Pak Jokowi, walaupun ini korupsi disebut atau apapun namanya, ini adalah mempermalukan Aceh,” tegas Humam.
Menurut Humam, apa yang dilakukan Ayah Merin saat itu adalah sebuah upaya menjaga perdamaian yang masih muda.
Bahkan di sisi lain, Ayah Merin juga menjaga agar senjata dan bom sisa konflik tidak meledak karena persoalan kesejahteraan.
"Kalau kasus ini berlanjut dan Izil (Ayah Merin) dihukum, apapun ceritanya uang itu mengalir ke banyak orang. Kecil sekali kalau uang Rp 32 miliar yang terlibat banyak orang itu, dipertaruhkan untuk sebuah perdamaian dan masa depan Indonesia," tambah dia.
"Pada masa itu, GAM sangat beda. (Kasus Ayah Merin) ini narasinya bukan korupsi seperti (yang dilakukan pejabat) saat ini. Kalau pun ada, lebih kepada uang keamanan yang biasa dipraktikkan eks kombatan masa perang," ujar Humam.
"Apalagi pada masa itu ada beberapa eks kombatan ada yang menjadi pejabat, ada Gubernur, Bupati, Wali Kota, DPR. Itu artinya, ada beban besar kepada petinggi GAM untuk mencari cara bagaimana menenangkan eks kombatan walaupun sesaat," katanya.
Karena itu, Humam berharap pegiat anti korupsi di Aceh agar jeli melihat kasus ini dan memahami konstruksi persoalannya.
Baca juga: Kisah Pelarian Wanita Aceh dan 5 Teman di Kamboja, Tulis Surat Dibungkus Nasi Minta Bantuan Haji Uma
"Saya anti juga dengan koruptor. Tangkap aja koruptor. Tapi ini lain, di sini ada konteks perdamaian," ucapnya lagi.
Di samping itu, Humam juga sangat yakin Irwandi Yusuf tidak terlibat.
Namun apabila kasus ini dikaitkan dengan korupsi, maka Irwandi sebagai mantan gubernur Aceh juga harus ditangkap.
"Saya duga Irwandi tidak terlibat. Saya haqqul yakin. Dan untuk menangkap Ayah Merin, itu Irwandi harus ditangkap. Jika ini korupsi, Irwandi harus ditangkap. Ini tidak benar. Saya juga mendengar Irwandi tidak memerintahkan Ayah Merin," tutup Humam.
(Serambinews.com/Sara Masroni)
BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.