Kupi Beungoh

Serambi Demokrasi Awards dan Ikhtiar Menepis Politik Sentimen Aceh

MEDIA terbesar di Aceh Serambi Indonesia akan memberikan Serambi Demokrasi Award kepada 60 sosok inspiratif pada malam apresiasi, Jumat (13/3/2023).

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Risman Rachman, pemerhati politik dan pemerintahan. 

Oleh: Risman Rachman*)
 
MEDIA terbesar di Aceh Serambi Indonesia akan memberikan Serambi Demokrasi Awards kepada 60 sosok inspiratif pada malam apresiasi yang dijadwalkan berlangsung di AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala (USK), Jumat (13/3/2023).

Pemberian Serambi Demokrasi Award untuk person atau orang-orang yang berkiprah di bidang yang bersentuhan dengan politik sebagai kontribusi media menyemarakkan pesta demokrasi Pemilu dan Pilkada tahun 2024.

Harapannya dari kegiatan itu dapat menumbuhkan semangat dan tradisi di kalangan masyarakat Aceh untuk senantiasa menghargai sekecil apapun keunggulan yang dimiliki oleh seseorang.

Dengan begitu Aceh dipenuhi energi positif.

Saya teringat pada pernyataan yang disampaikan Malik Mahmud dalam kapastitasnya sebagai Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka pada perayaan penandatanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005.

Sosok yang kini menjabat sebagai Wali Nanggroe itu, antara lain menegaskan bahwa satu-satunya jalan untuk menjamin perdamaian di Aceh adalah melalui pelaksanaan demokrasi yang sejati.

Dalam pidatonya, Malik Mahmud menjelaskan apa itu demokrasi sejati, antara lain, tidak membatasi ruang pemikiran-pemikiran, justru menggalakkan berkembangnya berbagai pemikiran.

“Dan demokrasi yang sejati tidak berlutut di hadapan kekerasan – ia adalah alat untuk mengakhiri kekerasan dan ketidak-adilan,” tegas Malik Mahmud kala itu.

Menggalakkan berkembangnya berbagai pemikiran dalam timbangan Rocky Gerung yang baru-baru ini mengunjungi Aceh dan menyebut dirinya anggota Gerakan Akal Merdeka (GAM) adalah menghidupkan politik argumen, bukan politik sentimen.

Politik argumen itu sandaran utamanya adalah etikabilitas dan intelektualitas, ketimbang elektabilitas, dan popularitas.

Dengan etikabilitas para elite pemimpin bisa diuji tidak berbohong kepada rakyat, dan dengan intelektualitas dapat diuji kemampuannya mencerna dasar-dasar konstitusi.

Selama ini, Aceh tidak dipenuhi dengan energi positif dikarenakan ukuran yang dikedepankan adalah elektabilitas dan popularitas.
Akibatnya, orang-orang yang memiliki keunggulan, apalagi kecil padahal berkontribusi bagi Aceh, terabaikan.

Padahal, sosok-sosok yang selama ini disebut memiliki elektabilitas dan popularlah yang paling nyata-nyata membuat Aceh tidak menemukan pintu keluar untuk menggapai kemajuan.

Contoh paling nyata dan masih sangat dekat adalah menyeruaknya politik sentimen dalam pemilihan Direktur Utama Bank Aceh.

Legislator asal Aceh yang elektabilitas dan popularitasnya tinggi menyuarakan tuntutan sentimen dengan mengatakan Dirut BAS wajib orang Aceh.

Itu harga mati alias tidak ada negosiasi.

Lebih baik Dirutnya orang Aceh meskipun kompetensinya belum sempurna.

Ada juga elite politik yang juga cukup popular mengatakan kalau posisi Dirut BAS diberikan kepada orang luar, sama saja menampar semua masyarakat Aceh.

Provinsi lain bisa menular menerapkannya kepada putra-putri asal Aceh yang meniti karir - politik di daerah mereka.

Dak meudeh, ata meunan bek ta peugah di media, walau ta pubut lagee na droe laju.

Padahal, sebelumnya sudah muncul argumen dalam Diskusi Publik yang digelar PWI bahwa pemilihan Dirut BAS sebaiknya dilakukan secara terbuka, melibatkan pihak ketiga dan bersifat nasional.

Sebuah usulan yang juga selaras dengan Gubernur Aceh selaku Pemegang Saham Pengendali.

Jalan rekrutmen secara terbuka juga selaras dengan pernyataan pihak OJK Aceh yang mengatakan Bank Aceh butuh sosok yang extraordinary agar dapat berkontibusi bagi mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh.

Jika landasannya adalah Aceh Interest maka cukuplah pemlihan Dirut BAS dilakukan dengan cara atau metode headhunter, sebagaimana awal sudah dilakukan.

Hanya dikoreksi pembatasannya saja, lalu hasil penjaringan dibawa ke dalam RUPSLB dan hasilnya dikirim ke OJK guna mengikuti fit and proper test.

Dengan begjtu, tidak sampai menyeruak politik sentimen yang kemudian memunculkan rumor bahwa Pj Gubernur Aceh punya agenda setting untuk hanya memilih calon dari luar Aceh.

Atau, muncul teori konspirasi bahwa Pj Gubernur Aceh sudah dikelabui oleh Dewan Komisaris yang mengatur irama pemilihan agar yang muncul sebagai pemenang adalah orang Aceh.

Dua calon lainnya dari luar Aceh hanya sebagai calon intat linto karena sudah pasti akan menimbulkan penolakan.

Itulah bahaya dari politik yang tidak didasarkan pada argumen.

Politik sentimen cenderung abai pada kontribusi positif dari orang lain apalagi jika orang itu dinilai tidak cukup kuat secara elektabilitas dan popularitas, serta tidak punya backingan secara politik.

Jika narasi-narasi sentimen dibiarkan memenuhi ruang atmosfir demokrasi Aceh pada waktunya akan berlaku brutalitas politik.

Siapapun yang lemah, tidak punya baking politik, tidak populer, apalagi tidak punya buzzer politik untuk melawan pasti akan terpinggirkan, sekalipun secara nasional sudah punya rekam jejak yang diakui.

Namun begitu, apapun yang telah dan sedang terjadi dalam ruang demokrasi Aceh saat ini kita harapkan akan terus memantik renungan yang berkontribusi bagi membaiknya iklim demokrasi.

Argumen-argumen yang sehat makin bertumbuh sehingga menghasilkan solusi yang benar-benar mengakhiri masalah, bukan malah memperburuk situasi.

Jika tidak maka Aceh terjebak dalam perangkap The Cobra Effect, yaitu narasi yang dipandang menjadi solusi dalam perkembangannya malah memperburuk situasi.

Baca juga: Mualem dan Nasir Djamil Bersaing Ketat, Bakal Calon Gubernur Aceh versi ‘Mata Lokal Memilih’

Ada anekdot di India yang melahirkan terminologi efek kobra.

Pemerintah Inggris yang ingin mengatasi kematian warga karena gigitan ular kobra memberi hadiah kepada warga yang berhasil menangkap kobra.

Solusi ini memang berhasil menurunkan populasi ular kobra sekaligus menurunkan angka kematian warga karena gigitan ular kobra.

Tapi, solusi ini dimanfaatkan pihak-pihak untuk meraup uang banyak dengan berternak ular kobra.

Populasi ular kobra bertambah lagi dan Pemerintah Inggris saat itu harus mengeluarkan uang yang makin banyak.

Akhirnya, solusi ini dihentikan, dan ular-ular kobra dilepas karena sudah tidak ditampung lagi. Akhirnya, ancaman gigitan ular malah makin menjadi-jadi.

Saya berharap kegiatan Serambi Demokrasi Award dapat menjadi momentum perbaikan kualitas demokrasi Aceh, dari sekedar politik sentimen bertransformasi menjadi politik argumen yang menghidupkan budaya penghargaan kepada keunggulan yang dimiliki oleh seseorang, terutama sisi etikabilitas dan intelektualitasnya.(*)

*) PENULIS adalah penikmat kupi pancong Ulee Kareng, Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI. 
 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved