Opini

Perdebatan Otak dengan Hati

DALAM kehidupan manusia di dunia ini umumnya lebih banyak mencari kebahagian duniawi yang bersifat materialistis

Editor: mufti
Serambi Indonesia
M Zubair SH MH, Aparatur Sipil Negara Pemkab Bireuen 

M Zubair SH MH, Aparatur Sipil Negara Pemkab Bireuen

DALAM kehidupan manusia di dunia ini umumnya lebih banyak mencari kebahagian duniawi yang bersifat materialistis. Untuk mencapai maksud tersebut, maka manusia yang diberi kelebihan pikiran terletak dalam otak bekerja siang malam guna memperoleh kekayaan duniawi yang terkadang lupa untuk menafkahkan sedikit hartanya itu kepada jalan agama.

Otak pun sebagai pusat berpikir yang hanya dipunyai manusia sebagai kelebihan yang diberikan oleh Allah swt diputar untuk mendapatkan jalan bagaimana memperoleh kekayaan/harta benda yang banyak. Saat menggunakan otak sebagai sumber inteligensia terkadang berjalan pada kebenaran atau jalur yang sebenarnya dan terkadang juga berjalan pada jalan kesesatan.

Ketika bekerja otak manusia tampak begitu memesona dengan jutaan kumparan yang berkelip membentuk pola tertentu, yang penuh arti dan tak kunjung diam, terdiri atas perubahan-perubahan yang harmoni dari pola-pola yang lebih kecil, bagai galaksi Bima Sakti memasuki suatu kosmik yang berdansa (Sir Charles Sherrington). Begitulah kerja otak terus menerus berpikir untuk memenuhi maksud hati manusia.

Baca juga: Cara Tepat Mengurangi Kemiskinan di Aceh

Namun sebagaimana kita saksikan selama ini dalam memperoleh materi manusia selalu lebih banyak menggunakan otaknya yang berjalan sebelah kiri atau jalan tidak benar untuk memudahkan meraup berbagai keuntungan demi kenikmatan sesaat. Sementara hatinya yang paling dalam berkata lain karena hati manusia mempunyai penilaian lain terhadap tindak tanduk otak yang berjalan sebelah kiri dalam memperoleh kebahagiaan dunia.

Di saat seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memimpin dan mengelola anggaran suatu organisasi atau apa saja sebutannya untuk yang dipimpinnya di zaman ini terlihat lebih banyak menggunakan otaknya saja, sehingga korupsi, kolusi, dan nepotisme pun merajalela. Hampir setiap hari kita baca di media cetak ataupun online maupun kita saksikan di televisi selalu dihiasi dengan berita utamanya mengenai korupsi yang dilakukan baik oleh anggota legislatif, eksekutif maupun swasta. Tetapi pada waktu yang sama hatinya berkata “jangan lakukan itu” karena perbuatan tersebut merupakan jalan yang salah.

Kesadaran spiritual

Perdebatan antara otak dan hati pun terjadi. Otak selalu mengatakan, lakukan terus karena ini merupakan kesempatan besar, kalau saat ini tidak dilakukan kapan lagi, sebentar lagi jabatan akan berakhir. Namun pada saat itu pula hati membantah, jangan lakukan itu karena hal tersebut adalah perbuatan yang salah dan akan menerima azab di hari akhir nanti. Bantahan hati ini disebabkan hati masih ingat ketika ruh ditiupkan sang Khalik ke jasad manusia sebagaimana dijelaskan dalam surat As Sajadah 9: ”Kemudian Ia memberinya bentuk (dengan perbandingan ukuran yang baik) dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya”.Di sini Allah meniupkan sifat-sifat mulia ke dalam jiwa manusia dan terekam dalam hatinya yang paling dalam sehingga mampu mengeluarkan suara hati yang merupakan kesadaran spiritual (Ary Ginanjar Agustian: 2005). Oleh sebab itu hati manusia selalu berdebat dengan otak bila mereka tidak lagi berjalan beriring bahu dan seayun langkah untuk menuju surga jannatun naim.

Baca juga: Memotret Rasulullah, Privasi dan Humanisme

Sementara itu kita juga heran kenapa perbuatan di jalan kemungkaran kerap terjadi saat ini, dan hati pun sudah tidak mampu lagi berdebat dengan otak. Menurut Ary Ginanjar Agustian, hal itu terjadi karena suara hati manusia yang sudah tertutup atau buta sehingga tidak mampu lagi melawan hawa nafsu angkara murka yang disebabkan telah terbelenggu oleh gemerlapnya kehidupan duniawi.

Untuk itu Ary Ginanjar memberi solusi agar hati manusia yang sudah buta bisa kembali pada fitrahnya yaitu dengan melakukan penjernihan emosi atau zero mind process. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri mengubah keadaan jiwanya (Q.S Ar Ra`d (guruh) 13:11). Dari pengertian ayat tersebut dapat dipahami bahwa untuk mengubah hati manusia yang sudah membatu sehingga tidak dapat melihat lagi kebaikan harus diupayakan oleh person itu sendiri, yaitu dengan melakukan penjernihan emosi.
Manusia itu harus mampu memerdekakan hatinya dari belenggu kesesatan yang dipengaruhi otak, dan apabila seseorang telah memiliki suara hati yang merdeka maka ia akan lebih mampu melindungi pikirannya, serta dapat membantah keinginan kotor pikiran tersebut.

Dengan demikian zero mind process tersebut adalah pembentukan hati dan pikiran yang jernih dan suci. Seseorang akan siap menghadapi berbagai rintangan, karena mampu bersikap positif dan tanggap terhadap peluang serta pemikiran baru tanpa dipengaruhi dogma yang membelenggu. Merdeka dalam berpikir akan melahirkan pribadi-pribadi kreatif, berwawasan luas, terbuka/fleksibel, mampu berpikir jernih dan hati yang kembali bercahaya.

Upaya untuk melakukan zero mind process tersebut bisa dilakukan dengan kembali mendekatkan diri kepada jalan agama, mempelajari ilmu agama yang diajarkan oleh ustaz-ustaz berilmu pengetahuan agama baik. Untuk di Aceh sangat tidak sukar belajar ilmu agama yang benar karena cukup banyak dayah-dayah yang dikelola oleh ulama-ulama. Belajar kembali ilmu agama dikarenakan banyak di antara kita telah terbelenggu dengan keadaan duniawi yang sudah tidak menentu sehingga perlu untuk kembali menjernihkan hati dan pikirannya.

Suara hati

Seseorang yang memiliki suara hati yang merdeka maka orang itu akan lebih mampu melindungi pikirannya. Ia akan mampu menggunakan respons positif di tengah lingkungan paling buruk sekalipun. Ia akan selalu berpikir positif dan selalu berprasangka baik pada orang lain. Selanjutnya orang itu dapat mendorong dan menciptakan kondisi lingkungan untuk saling percaya dan saling mendukung serta sikap yang terbuka dan kooperatif.
Selanjutnya apabila seseorang telah mampu menjernihkan pikirannya, orang tersebut hanya berprinsip selalu kepada Allah yang Maha Abadi karena dia menganggap yang abadilah yang mampu membawa manusia ke arah kebahagiaan dan keamanan yang hakiki. Suara hati yang bebas merdekalah yang mampu memberi informasi maha penting dalam menentukan prioritas masing-masing pribadi, karena mengambil jalan pintas tanpa mengedepankan suara hati yang paling dalam akan kebenaran dapat mengakibatkan kerusakan di muka bumi dan akhirat nantinya.

Apabila manusia di muka bumi ini mampu menjernihkan hatinya maka mereka akan mampu pula mengendalikan otaknya untuk selalu berjalan ke arah kebaikan sehingga otak tidak perlu lagi berdebat dengan hati, dan akan terciptalah masyarakat dan pemerintahan yang baldatun taibatun warrabbulghafur.
Oleh karena itu dalam melaksanakan sesuatu haruslah mengedepankan suara hati yang berpegang pada jalan kebenaran, jalan yang telah digariskan oleh Allah swt yaitu suara hati yang terbebas dari paradigma dan belenggu.

Sehingga akhirnya perdebatan antara hati dengan otak akan mencapai titik temu menuju satu tujuan yaitu berusaha di dunia fana ini dengan jalan kebenaran menuju alam selanjutnya guna memperoleh surga jannatun naim. Amin. <zubair_lia@yahoo.com>

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved