Opini

Perang Aceh: Islam versus Barat?

Perang Aceh di akhir abad 19 hingga awal abad 20 biasanya dijelaskan dalam konteks perang sabil (jihad) melawan kafir Belanda

Editor: mufti
IST
Baiquni, Dosen IAIN Lhokseumawe, Kandidat Doktor di Jurusan Sejarah Internasional University of North Carolina-Chapel Hill Amerika Serikat 

Namun demikian, bukan berarti Perang Aceh tidak mendapat simpatik dan dukungan beragam publik, agama dan etnis. Misalnya, publik dari area pulau Jawa dan Malaysia dan dua anggota dewan Inggris dan Belanda menunjukkan solidaritas, baik moral dan material, untuk Aceh. Henry Stanley, seorang Bangsawan Alderley dan anggota dewan di Inggris, mengecam keras keterlibatan Inggris membantu Belanda untuk menguasai Aceh.

Menurutnya, bantuan Inggris kepada Belanda hanya akan merusak martabat Inggris di mata orang-orang Melayu. J.L. Nierstrasz, seorang anggota dewan Belanda yang konservatif, juga mengutuk keras keputusan tidak berdasar Kerajaan Belanda menyerang Aceh. Pemerintah Belanda menuduh Sultan Aceh tidak berhasil menghilangkan perompakan laut dan praktik penjualan budak di daerah sekitar Aceh. Nierstrasz balik mengecam bahwa Belanda juga masih gagal menghilangkan praktik-praktik itu di daerah jajahannya sendiri di Siak, Deli, Jambi dan Lombok.
Invasi Belanda ke Aceh juga ditantang oleh kelompok perompak dan pedagang dari Samudra Hindia. Eric Tagliacozzo, menceritakan dengan apik bagaimana kelompok perompak dan Orang Laut dengan berbagai macam manuver menantang dominasi Belanda di lautan sekitar Aceh. Tagliacozzo juga bercerita bagaimana kapal-kapal pedagang etnis Cina berperan penting menyelundupkan senjata modern dan kebutuhan peperangan lainnya dari Penang.

Salah satu senjata modern yang dipakai pejuang Aceh adalah senapan model Beaumont. Senjata ini dibuat oleh perusahaan Kynoch di Birmingham, Inggris. Tidak jarang pada senapan yang dipakai pejuang-pejuang Aceh ini dihiasi dengan berbagai macam tulisan dalam Cina dan Melayu.

Kesultanan Aceh, dari awal hingga runtuhnya, memiliki cara pandang yang kosmopolitan dan universal. Perbedaan identitas agama, suku, ras tidak menjadi sumber utama konflik baik dalam keadaan damai ataupun perang. Sejarah Kesultanan Aceh, sebagaimana kerajaan Mughal dan Usmani, tidak bisa dijelaskan sesederhana warna hitam versus putih, Muslim versus non-Muslim, atau Islam versus Barat.

Selayaknya politik praktis sekarang, begitu juga kondisi Aceh di politik internasional akhir abad 19, kawan hari ini bisa jadi lawan esok hari.

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved