Kupi Beungoh
Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh XIV - Skandal Blok B dan Klarifikasi Saham Blok Bireuen-Sigli
Istilah tidak profesional itu digunakan dalam gugatan PT.Medco Energi dalam tuntutannya ke lembaga arbitrase international pada 2006 di Washington DC
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Ada beberapa kejanggalan yang tidak biasa dengan pemilihan PT EMP Aceh Energi itu untuk menjadi mitra PGE, yang diketahui oleh banyak pihak.
Ketika Presiden SBY memerintah PT Lapindo Brantas- saham 100 persen dimiliki oleh PT Energi Persada melalui PT Kalila Energy Ltd (84,24 persen) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen), mengalami semburan lumpur dari pengeboran minyak yang tidak profesional.
Istilah tidak profesional itu digunakan dalam gugatan PT.Medco Energi dalam tuntutannya ke lembaga arbitrase international pada 2006 di Washington DC.
PT Medco Energi mengingatkan untuk pemasangan casing 9-5/8 inci pada kedalaman 8.500 kaki untuk mengantisipasi kebocoran, yang tak didengarkan oleh PT Lapindo Brantas.
PT Medco Energi adalah pemegang participasi interest 32 persen PT Lapindo Brantas.
Kasus semburan lumpur Lapindo 15 tahun yang lalu, yang merendam belasan desa di kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur yang sampai hari ini masih gelap dan bermasalah.
Tidak kurang dari 1.143,3 hektar terendam lumpur, yang mengakibatkan 20.000 keluarga terpaksa pindah ke tempat lain, sekaligus hilang mata pencahariannya.
Uniknya Perpres 2007 hanya membebankan 634,5 hektare sebagai tunggung jawab PT Lapindo Brantas.
Untuk melihat “taji’ dan “track record” PT. Energi Mega Persada sebenarnya tidak sangat sulit.
Lihat saja kekalahan gugatan Walhi pada 2007, penerbitan SP3 Lapindo, dan bahkan fenomena “hadirnya” negara dalam peristiwa itu dengan peran kontradiktif dari yang seharusnya dilakukan.
Lebih dari itu, utang Lapindo sebesar 800 miliar kepada Pemerintah dalam kaitan setelah tertunggak belasan tahun baru dibayar hanya 5 miliar rupiah pada 2019.
Per 31 Desember 2020, jumlah utang Lapindo kepada pemerintah mencapai 2 triliun rupiah lebih, yang di dalamnya termasuk pokok, bunga, dan denda yang harus dibayar.
Prasangka kelindan oligarki dalam pengamanan kasus Lapindo, sampai dengan hari ini masih saja membayangi perbincangan tentang temali korporasi, negara, dan sumber daya alam yang tak pernah selesai.
Kasus Lapindo bahkan ditengarai telah menyeret negara menjadi aktor kunci, bahkan sebelum semburan lumpur, melalui pemberian izin kegiatan industri berbahaya di kawasan padat huni (Novenanto 2023).
Ini adalah pengakuan tak langsung betapa penetrasi Bakrie Group dalam pengambilan kebijakan nasional, bukanlah perkara yang terlalu berat.
Hal lain yang juga cukup menjadi tanda tanya adalah jumlah uang yang diterima oleh PGE sebagai akibat pengalihan saham kepada PT EMP Aceh Energi.
Seperti diketahui, PT EMP Aceh Energi pada tahun 2021 membayar 1,6 juta dolar AS - sekitar 22 milyar rupiah kepada PT PGE.
Sebagai perbadingan, ladang gas di sebelah blok B, yakni blok Pase yang dikelola oleh Triangle Pase Inc- TPI, perusahaan Australia yang bermitra dengan PDPA/PEMA-BUMD Aceh dihargai dengan harga yang berkali lipat.
Blok Pase dikelola dengan partisipasi interest TPI-75 persen, dan PDPA/PEMA-25 persen.
Ketika PT Enso Asia membeli 75 persen partsipasi interest dari TPI, kepemilikan TPI di blok Pase itu dihargai 39.5 juta dolar AS-sekitar 573 miliar.
Padahal produksi gas yang dimiliki oleh blok Pase ketika pembelian oleh PT Enso Asia pada saat itu 3 MMSCFD- juta kaki kubik per hari.
Itupun hanya 75 persen partisipasi interest.
Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh XIII - Skandal Blok B, Gratifikasi vs Klarifikasi
Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh X - Tampok, Tumpok, dan Ca…
Bandingkan dengan blok B, dengan produksi 55 juta MMSCFD- juta kaki kubik per hari plus 800 ribu barel kondensat dengan pengalihan saham 48 persen, dengan nilai 22 miliar rupiah.
Dari berbagai catatan yang telah dikemukakan, tampak jelas induk perusahaan PT EMP Energi Aceh- PT Energi Mega Persada yang mengikat perjanjian dengan PT PGE itu dalam dunia persialatan bisnis migas sangat “notorious”- jithe le kaphe.
Terlihat pula perjalanan ekspolitasi blok B, yang kabarnya juga telah dimulai dengan eksplorasi, dengan berbagai klausul “perjanjian illegal” itu bukanlah sesuatu yang sederhana.
Apalagi sesuai dengan rencana dari butir-butir perjanjian yang tertulis dan disetujui oleh kedua pihak, pada pertengahan tahun 2024 komposisi saham akan berobah secara diametral PT EMP Aceh Energi 80 persen, sementara PT PGE dan mungkin dua BUMD-Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, 20 persen.
Ketika gubernur Marzuki mendapat gratifikasi layanan tumpangan pesawat dari Indra Usmansyah Bakrie dari Banda Aceh ke Jakarta pada 31 Desember 2022, kecurigaan di balik pelayanan gratis itu segera mengemuka.
Dalam kasus blok B saja, dengan persoalan yang masih penuh dengan kabut gelap seperti yang telah dikemukan sebelumnya, sudah cukup alasan publik Aceh perlu klarifikasi dari sang gubernur.
Klarifikasi juga perlu diberikan oleh gubernur tentang rencananya untuk “melepas” 20 persen saham milik Pemerintah Aceh pada blok Bireuen Sigli di bawah bendera perusahaan Malaysia- PT Aceh Energi.
PT EMP Aceh Energi yang mengoperasikan blok B kini sedang bernegosiasi dengan PT Aceh Energi untuk pengalihan kepemilikan.
Dari sejumlah pihak yang layak dipercaya, gubernur Marzuki dan Ketua DPRA, Pon Yahya sedang memberikan “perhatian serius” untuk melepas kepemilikan saham 20 persen itu kepada PT EMP Aceh Energi, jika pengalihan kepemilikan blok Bireuen-Sigli itu terjadi.
Gubernur Marzuki memang sama sekali tidak terlibat dalam proses awal pengalihan blok B, termasuk kemitraan PT PGE dengan PT EMP Aceh Energi.
Namun ketika ia mendapatkan layanan terbang gratis dari individu menonjol dari korporasi yang terkait blok B, apalagi dengan pusaran persoalan blok B yang sangat krusial, sangat layak publik tahu tentang hal itu.
Apalagi jika benar ia sedang terlibat aktif untuk pelepasan saham 20 persen milik Pemerintah Aceh di blok Bireuen-Sigli, PT Aceh Energi kepada PT EMP Aceh Energi.
Marzuki kemungkinan besar tidak melakukan kesalahan.
Namun, karena ia masuk dalam pusaran persoalan, ia harus membuktikan bahwa ia memang tidak melakukan kesalahan.
Jikapun ia masuk ke pusaran persoalan Migas Aceh, itu tak lain karena pesan undang-undang, tepatnya PP Migas Aceh yang mengharuskan gubenur terlibat aktif dalam penentuan arah kebijakan pengelolaan migas Aceh.
Tak ada satu provinsi pun selain Aceh yang memberikan kewenangan sebesar itu kepada gubernur.
Klarifikasi gratifikasi itu kemudian menjadi sangat penting untuk diketahui.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.