Polemik Mahfud MD

Mahfud MD soal Transaksi Mencurigakan: Kalau Sebut Nama, Jangan-jangan Ada Orangnya di Sini

Pernyataan-pernyataan Mahfud MD terkait temuan transaksi Rp 349 triliun di hadapan anggota Komisi III DPR RI, masih menjadi perbincangan publik.

Penulis: Sara Masroni | Editor: Ansari Hasyim
YouTube Serambinews
Pernyataan-pernyataan Mahfud MD terkait temuan transaksi Rp 349 triliun di hadapan anggota Komisi III DPR RI, masih menjadi perbincangan publik. 

Mahfud menantang anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan berani bersuara terkait Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan.

Hal itu dia ucapkan lantaran Arteria menilai tak seharusnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membocorkan informasi intelijen kepada Mahfud MD.

Sebelumnya, Arteria mengatakan laporan PPATK tidak boleh diumumkan ke publik dan berpotensi dihukum pidana bagi yang membocorkan.

"Beranikah Saudara Arteria bilang begitu ke Pak Budi Gunawan. Dia anak buah langsung presiden, bukan Menko Polhukam," ujar Mahfud.

Menurut Mahfud MD, Budi Gunawan memberi laporan informasi intelijen kepada dirinya tiap minggu.

"Coba saudara bilang ke Pak Budi Gunawan, Pak Budi Gunawan menurut UU BIN bisa diancam 10 tahun penjara menurut Pasal 44, (Arteria) berani enggak?" tuturnya.

Ia mengatakan hal tersebut persis seperti apa yang dilakukan PPATK kepada Menko Polhukam yakni membeberkan informasi intelijen.

"Lha, ini BIN menyampaikan ke saya nih enggak ke presiden. Ini bulan Maret ada nih. Kok, terus enggak boleh, gimana?" kata dia.

Mahfud MD lantas mempertanyakan tugasnya sebagai Ketua Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jika tak diperbolehkan menerima informasi dari PPATK.

"Apa gunanya ada Komite, ini penting saudara karena saya bekerja berdasarkan informasi intelijen. Apa dasarnya melapor ke ketua? Lho, saya ketua, jadi dia boleh lapor dan saya boleh minta," ucapnya.

Mahfud juga kembali mengingatkan bahwa Budi Gunawan selalu memberi laporan intelijen meskipun bukan bawahan Menko Polhukam.

"Saya ketua komite, diangkat presiden ada SK-nya. Terus untuk apa ada ketua komite kalau tidak lapor dan saya tidak boleh tahu?" ujar Mahfud MD.

Sementara itu kepada anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Benny Kabur Harman, Mahfud menyindir Benny yang bertanya seperti polisi kepada copet.

Hal itu dia ucapkan untuk menyoroti sikap Benny yang bertanya kepada bawahan Mahfud apakah seorang Menkopolhukam boleh melaporkan soal tindak pidana pencucian uang (TPPU) ke publik.

"Saya katakan juga kepada Pak Benny, pertanyaannya kok seperti polisi. Menko boleh mengumumkan atau tidak, begini pak. Boleh atau tidak, begini pak. Boleh atau tidak jawab iya atau tidak. (Benny) Ndak boleh tanya begitu, harus ada konteksnya dong," ujar Mahfud.

Ia juga menyinggung Benny yang meminta dalil atau pasal terkait Menkopolhukam yang diperbolehkan menyampaikan informasi intelijen kepada publik.

Mahfud mengatakan, pasal akan ada dan berlaku apa bila ada sesuatu yang dilarang. Oleh sebab itu, menurutnya, hal yang diperbolehkan tak perlu pasal apa pun.

"Kalau dilarang baru ada pasalnya. Di mana dalilnya? Tidak ada satu kesalahan, tidak ada sesuatu itu dilarang sampai ada undang-undang yang melarang lebih dulu. Loh ini tidak dilarang kok, lalu ditanya kayak copet aja," ucapnya.

Dalam penjelasannya kepada Komisi III DPR RI, Mahfud mengatakan ada dugaan pencucian uang sebesar Rp 189 triliun yang ditutupi oleh anak buah Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait dugaan penjualan emas batangan impor.

Mahfud menceritakan Sri Mulyani sempat bertanya kepada jajaran eselon I Kemenkeu terkait temuan transaksi mencurigakan Rp 189 triliun pada tanggal 14 Maret 2023 lalu.

Transaksi mencurigakan yang ditanyakan Sri Mulyani itu, kata Mahfud, berdasarkan temuan PPATK pada tahun 2017.

Pejabat eselon I Kemenkeu itu, kata Mahfud, malah membantah adanya temuan tersebut.

Mahfud tak merinci nama pejabat eselon I Kemenkeu mana yang membantah tersebut.

Ketika pejabat eselon I Kemenkeu itu membantah, Mahfud mengatakan Sri Mulyani menunjukkan ada surat dari PPATK sejak tahun 2020 soal transaksi mencurigakan Rp 189 triliun.

Namun, pejabat eselon I Kemenkeu itu membantahnya lagi.

Mahfud menjelaskan temuan Rp 189 triliun itu merupakan dugaan pencucian uang cukai dengan 15 entitas terkait impor emas batangan.

Surat cukai itu, kata Mahfud, diduga dimanipulasi dengan keterangan 'emas mentah'.

Padahal sudah terbentuk emas batangan.

Mahfud menjelaskan temuan laporan transaksi mencurigakan Rp 189 triliun itu diberikan oleh PPATK pada tahun 2017 ke Kementerian Keuangan melalui Dirjen Bea Cukai, Itjen Kemenkeu dan dua orang lainnya.

Namun, ia mengatakan laporan itu tidak berbentuk surat lantaran sensitif.

Kemudian, PPATK baru mengirimkan surat resmi kepada Kemenkeu tahun 2020 lantaran tak ada tindak lanjut sejak laporan tahun 2017 diberikan.

Namun, Mahfud mengatakan surat PPATK tahun 2020 itu tak sampai ke Sri Mulyani.

"Kemudian dua tahun enggak muncul, tahun 2020 dikirim lagi (surat) enggak sampai juga ke bu Sri Mulyani. Sehingga bertanya ketika kami kasih itu. Dan dijelaskan yang salah," kata Mahfud.

(Serambinews.com/Sara Masroni/tribun network/git/igm/frs/den/riz/dod)

BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved