Citizen Reporter
Atmosfer Ramadhan di Hongaria
Sungguh, cuaca yang sangat dingin bagi saya, mahasiswa dari negara beriklim tropis yang setiap harinya terbiasa dengan suhu di atas 30 derajat Celsius
Oleh: Hijjatul Qamariah
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris UBBG Banda Aceh, sedang menempuh pendidikan dotoral di University of Szeged, melaporkan dari Szeged, Hongaria
TAHUN ini bertepatan 23 Maret 2023 (23/3/2023) atau 1 Ramadhan 1444 Hijriah, sangat berbeda saya rasakan dari Ramadhan tahun lalu.
Ya, Ramadhan tahun ini saya menunaikan ibadah puasa di Szeged, salah satu negara bagian Hongaria di Eropa Tengah yang atmosfernya beda sekali dengan yang saya rasakan saat berpuasa di Aceh.
Pada Ramadhan tahun ini, tepat satu semester sudah saya menjalani studi sebagai mahasiswa program doktoral di University of Szeged, salah satu universitas terbaik di Hongaria.
Alhamdulillah, semoga studi ini dimudahkan dan saya bisa memperoleh ilmu yang bermanfaat dan menjadi researcher andal di bidang yang saya geluti. Amin.
Szeged merupakan kota ketiga terbesar di Hongaria, setelah Budapest, si ibu kota negara, dan kota kedua terbesar, yakni Debrecen.
• Buka Puasa Bersama Keluarga Ureung Pidie di Jakarta, Sejumlah Tokoh dari Aceh Hadir
Szeged terletak di bagian selatan Hongaria berbatasan dengan Serbia yang hanya berjarak 55 menit dengan perjalanan darat, lima jam dapat ditempuh dengan bus menuju Austria, Wina.
Szeged dijuluki, “the city of sunshine” karena kota ini lebih banyak mendapatkan sinar matahari daripada kota lainnya di Hongaria.
Artinya, kota ini jauh lebih hangat daripada kota lainnya, terutama pada musim dingin.
Namun, sehangat-hangatnya Szeged, pada musim dingin tahun lalu pada bulan November hingga Desember, suhunya juga masih tidak bergerak dari minus 6 hingga 7 bahkan beberapa hari di musim dingin mencapai minus 10 derajat Celsius.
Sungguh, cuaca yang sangat dingin bagi saya, mahasiswa dari negara beriklim tropis yang setiap harinya terbiasa dengan suhu di atas 30 derajat Celsius.
Berbicara tentang Ramadhan di Szeged, tentunya sangat berbeda dengan Ramadhan di Aceh.
Tidak ada tradisi “mak meugang” yang saya lalui, juga tidak ada hari libur menyambut Ramadhan.
Bahkan kuliah dimulai dari pukul 08.30 pagi hingga pukul 19.00 pada saat itu.
Sungguh hal ini membuat saya rindu suasana Ramadhan di kampung halaman.
Ini merupakan Ramadhan ketiga saya di luar negeri setelah sebelumnya merasakan puasa di Amerika dan Australia.
Semuanya memiliki suasana tersendiri, baik lamanya waktu berpuasa, berbuka di islamic centre atau masjid kampus, ataupun kumpul-kumpul dengan mahasiswa Indonesia lainnya.
• Tips Pilih Pembalut yang Aman untuk Wanita, Seksolog dr Boyke Anjurkan Tidak Mengandung Bahan Ini
Alasan pertama memilih University of Szeged sebagai kampus tujuan adalah karena saya melihat ada masjid di tengah kota yang, menurut saya, merupakan tempat paling penting untuk perjalanan studi saya di sini.
Masjid ini pun berjarak hanya tiga menit saja jalan kaki dari perpustakaan kampus. Dalam pikiran saya masjid ini akan menjadi tempat berkumpulnya orang Islam yang ada di Szeged.
Alhamdulillah, pada saat bulan puasa seperti saat ini, masjid dipenuhi oleh para muslimin dari berbagai negara di benua Asia dan Afrika.
Alhamdulillah, Ramadhan benar-benar mempererat silaturahmi sesama muslim.
Pada saat iftar, masjid menyediakan makanan berbuka secara gratis.
Biasanya makanan khas timur tengah atau Afrika utara.
Lengkap, mulai dari appetizer hingga dessert.
Alhamdulillah, cukup membahagiakan sekali bagi kami, khususnya para mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di negeri ini. Keberadaan masjid seperti oase di tengah gurun bagi kami.
Setelah berbuka, dilanjutkan dengan shalat Magrib berjemaah. Pada hari biasa selain di bulan Ramadhan, masjid hanya dibuka pada saat waktu shalat saja, sekitar 15-20 menit, kemudian akan dikunci dan akan dibuka kembali pada waktu shalat berikutnya.
Namun, pada bulan Ramadan antara shalat Magrib dan Isya masjid tetap dibuka hingga selesai Tarawih.
Namun, berbuka puasa di masjid tidak bisa sering saya lakukan karena jarak antara asrama dengan pusat kota cukup jauh, yakni sekitar 25 menit naik bus.
Kebetulan saya tinggal di asrama kampus. Ada batasan jadwal bus pada malam hari. Bus terakhir hanya sampai pukul 21.55 pada hari kerja dan hanya sampai pada pukul 21.15 malam pada akhir pekan.
Jadi, pada saat musim semi seperti sekarang ini, waktu puasa pertama dimulai pukul 03.47 pagi dan berbuka pada pukul 18.01. Kemudian, waktu Isya pukul 20.30 dan Tarawih akan selesai pada pukul 21.30.
Pada awal-awal hari bulan puasa kami masih bisa berbuka di masjid, tetapi pada puasa hari ke-4 diberlakukan 'daylight saving time' atau waktu musim panas sehingga jam dimajukan satu jam.
Sehingga waktu berbuka menjadi pukul 19.16 dan Isya pun juga maju pada pukul 20.52. Sedangkan jadwal bus tidak berubah, sehingga sulit bagi saya untuk berbuka hingga shalat Tarawih di masjid karena akan ketinggalan bus.
Saat ini secara keseluruhan waktu berpuasa di Hongaria sekitar 15 jam selama musim semi ini.
Waktu perkuliahan yang cukup panjang durasinya, kadang membuat saya harus berlarian ke masjid untuk bisa berbuka puasa dan shalat Magrib.
Namun, tetap saja telat, karena berbuka puasa pada pukul 18.57, sedangkan perkuliahan selesai pukul 19.00 malam.
Sungguh hal yang seperti ini tidak saya rasakan ketika berpuasa di kampung. Namun, bagi saya hal positifnya adalah ketika berpuasa dalam suasana di mana semua orang berpuasa, kedai-kedai makanan tutup, tidak ada aroma kopi pagi hari.
Maka berpuasa menjadi lebih mudah. Namun, di sini melihat orang makan, kedai-kedai roti dengan aroma yang cukup menggugah selera serta aroma kopi pagi hari merupakan suatu tantangan tersendiri dalam menjalani ibadah puasa di perantauan.
Menjadi lebih kuat, lebih mandiri dalam mengelola waktu dan ibadah, serta tentunya menjadi lebih dekat dengan sang Pencipta.
Penduduk muslim di Hongaria umumnya adalah para imigran yang datang untuk belajar dan bekerja, dan di sini mayoritas masyakatnya beragama Kristen Katolik dan Advent, sebagian lagi ada yang beragama Yahudi.
Jadi, pemahaman tentang Islam sangat kurang bahkan tidak ada yang memahaminya sama sekali.
Namun, saat ini dikarenakan banyak mahasiswa internasional yang bersekolah di Hongaria, dan datang dari berbagai negara, seperti Indonesia, dari Timur Tengah, seperti Jordania, Oman, ada juga dari Uzbekistan dan Turki serta dari negara-negara di Afrika Utara seperti Aljazair, Tunisia, Moroko, Sudan, jadi sudah terlihat banyak yang berhijab.
Masyarakat Hongaria pun sudah mulai terbiasa dengan muslim, shalat, dan Ramadhan. Alhamdulillah, walaupun pemahaman itu tumbuh secara pelan-pelan.
Harapan saya, semoga semakin ramai muslim yang datang ke sini memperkenalkan Islam kepada masyarakat Eropa, khususnya Eropa Tengah ini.
• VIDEO Dipecat dari Direktur Penyelidikan, Brigjen Endar Tak Punya Akses Lagi Masuk Ruangan KPK
• Cerita Soimah Dikejar-kejar Oknum Pajak, Diperlakukan Bak Koruptor hingga Bawa Debt Collector
• Tips Pilih Pembalut yang Aman untuk Wanita, Seksolog dr Boyke Anjurkan Tidak Mengandung Bahan Ini
Atmosfer Ramadhan
Hongaria
Ramadhan di Hongaria
Szeged
Citizen Reporter
Serambinews
Serambi Indonesia
IKOeD Peusijuek Alumni Leting Intelegencia Generation 2025 di Pantai Lampu’uk |
![]() |
---|
Dinamika Spiritual dan Teknis dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji Modern |
![]() |
---|
Dari Aceh Menuju Makkah Ibadah Haji yang Mengajarkan Arti Keluarga |
![]() |
---|
Mengintip Geliat Industri Halal di Rusia |
![]() |
---|
Pembelajaran Mendalam di Sydney Ternyata Aceh Sudah Sangat Siap |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.