Opini

SDM Aceh dan Kualitas Pendidikan

Sejalan dengan semboyan ini, tema peringatan Hardiknas tahun 2023 adalah “Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar.”

Editor: mufti
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Dian Rubianty SE Ak MPA, Fulbright Scholar dan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh 

Dian Rubianty SE Ak MPA, Fulbright Scholar dan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh

HARI ini tanggal 2 Mei, Bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang ditetapkan berdasarkan Keppres No. 316 Tahun 1959. Sebagaimana kita ketahui, tanggal 2 Mei merupakan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Salah satu prinsip dasar pendidikan dan pengajaran yang beliau tanamkan adalah Tut Wuri Handayani, yang dimaknai sebagai “di belakang memberi dorongan.” Prinsip dasar ini kemudian menjadi semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia.

Sejalan dengan semboyan ini, tema peringatan Hardiknas tahun 2023 adalah “Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar.” Mengapa dikatakan sejalan? Pertama, “kemerdekaan” dalam belajar adalah salah satu syarat utama, agar peserta didik dapat menumbuhkan potensi dan mengembangkan kompetensi dirinya sesuai dengan fitrah masing-masing. Kedua, program “merdeka belajar” menempatkan guru pada fungsi pendidik dan pengajar yang sesuai dengan semangat Tut Wuri Handayani dan tuntutan zaman.

Saat ini anak-anak kita hidup di masa “semua bisa tanya Google, semua ada di Youtube.” Masa ini bisa saja menempatkan guru pada posisi “bukan satu-satunya sumber pengetahuan dan informasi”. Lantas, apakah pergeseran ini menepikan peran seorang guru sebagai pendidik dan pengajar bagi anak-anak bangsa? Jelas tidak. Justru sebaliknya, peran guru dalam pendidikan era digital-milenial menjadi semakin krusial, karena mereka dituntut untuk tampil sebagai pendidik yang harus betul-betul Tut Wuri Handayani.

Ketika anak-anak kita tumbuh dan berkembang di tengah derasnya arus informasi dan kemudahan mengakses informasi tersebut tanpa batas, pendidikan untuk membentuk karakter mereka menjadi manusia berakhlak karimah (mulia) tidaklah mudah. Mereka membutuhkan orang tua dan guru yang mendukung, memotivasi dan menginspirasi. Di sekolah, tuntutan ini mengharuskan seorang guru tidak saja memiliki kompetensi pedagogi dan profesionalisme yang baik. Kompetensi sosial dan kepribadian setiap guru juga harus diasah, sehingga guru dapat menjalankan perannya sebagai pendidik di era digital-milenial secara optimal. Namun data menunjukkan, salah satu tantangan dunia pendidikan di Aceh adalah tidak meratanya ketersediaan guru yang memiliki keempat kompetensi dasar ini di setiap satuan pendidikan di setiap kabupaten/kota, terutama untuk satuan pendidikan yang terpencil, jauh dari pusat ibukota provinsi/kabupaten/kota.

Statistik Pendidikan Aceh

Seorang sahabat berseloroh, “Hardiknas itu Hari Hardik-Hardik Nasional.” Seloroh ini mungkin ada benarnya, mengingat Hardiknas sering dijadikan momentum untuk berefleksi, tentang kondisi dunia pendidikan kita. Statistik pendidikan biasanya menjadi salah satu ukuran dalam proses refleksi ini.
Bagaimana dengan statistik pendidikan Aceh? Bicara pendidikan tentunya akan berkait langsung dengan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dimana Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu indikator yang lazim digunakan untuk mengukur kualitas SDM suatu bangsa. Jika kita merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2021 angka IPM Aceh adalah 72.18, dimana syarat minimal untuk siap memasuki era industri 4.0 adalah 7.

Betul, Aceh sudah memenuhi syarat minimal ini di tingkat provinsi. Namun angka ini lebih rendah dari IPM Nasional, yaitu 72,29. Selain itu, jika data IPM Provinsi Aceh ditelisik lebih dalam di tingkat kabupaten/kota, kita akan menemukan ketimpangan yang cukup memprihatinkan, dimana masih banyak SDM Aceh yang belum memenuhi persyaratan ini. Padahal IPTEK membuat zaman berubah lebih cepat. Ketidaksiapan menghadapi perubahan akan berimbas pada ketidakmampuan SDM Aceh untuk bersaing di dunia kerja.

Untuk mengatasi hal ini, salah satu tujuan yang ditetapkan dalam Perencanaan Pembangunan Aceh (RPA) untuk periode 2023-2026 adalah “Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia dan derajat kesehatan.” Indikator yang digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dimana diharapkan IPM Aceh dari 72,18 akan meningkat di tahun 2026 menjadi 73,18.

Dalam upaya meningkatkan IPM, fokus perencanaan pembangunan untuk “kesejahteraan sosial” diarahkan pada peningkatan Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS). Karena kita sering membandingkan kondisi Aceh dengan provinsi tetangga, maka jika itu dilakukan, AMH dan RLS di Aceh memang lebih rendah dari Sumatera Utara (Sumut). Tahun 2021, AMH Aceh adalah 98,25 sedangkan AMH Sumut adalah 99,16, sementara rata-rata AMH di Sumatera adalah 96,51. Selanjutnya, RLS Aceh tahun 2021 adalah 9,37 tahun, sedangkan Sumut adalah 9,58 tahun.

Selanjutnya, dalam RPA periode 2023-2026 ditetapkan tujuh indikator untuk membangun SDM. Dua di antaranya adalah (1) Meningkatnya Kualitas Pendidikan Menengah, Vokasional, dan SLB serta Tenaga Pendidik dan Kependidikan; dan (2) Meningkatnya Sekolah yang Terakreditasi. Salah satu program yang dilakukan untuk mencapai kedua indikator ini adalah “pengelolaan pendidikan” dan “peningkatan persentase layanan pendidikan yang merata dan berkualitas.”

Catatan Ombudsman

Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah” (UU No. 37 Tahun 2008, Pasal 1 Angka 1).
Dalam rangka melaksanakan fungsi untuk mencegah terjadinya maladministrasi, setiap tahun Ombudsman RI melaksanakan “Penilaian Kepatuhan” terhadap penyelenggaraan pelayanan publik kepada 24 Kementerian, 15 Lembaga, 34 Provinsi, 416 Kabupaten, dan 98 Kota. Jumlah seluruhnya adalah 587 Instansi. Penilaian kepatuhan secara langsung ini dilaksanakan serentak oleh Ombudsman RI, dengan tujuan untuk mengukur kepatuhan penyelenggaraan pelayanan publik terhadap standar pelayanan sesuai dengan amanat UU 25 tahun 2009. Selain itu, turut dinilai kondisi sarana dan prasarana, kompetensi pimpinan dan petugas pelayanan, serta kinerja unit pengaduan di instansi tersebut.

Hasil Penilaian Kepatuhan tahun 2022 menunjukkan masih lemahnya pemenuhan standar pelayanan publik dan kompetensi pelaksana di Dinas Pendidikan di banyak provinsi, kabupaten maupun kota, termasuk di Provinsi Aceh. Beberapa kabupaten/kota tingkat kepatuhannya dalam penyelenggaraan publik sudah memasuki zona hijau (tingkat kepatuhan baik), namun tata kelola pelayanan publik di dinas pendidikan di kabupaten/kota tersebut masih berada di zona kuning.

Secara lebih luas, hal ini tentu tidak sekedar berdampak pada performa layanan publik di kabupaten/kota tersebut. Salah satu dampak jangka panjang yang perlu menjadi perhatian kita jika kondisi layanan di dinas pendidikan tidak segera diperbaiki adalah pengaruhnya terhadap kualitas pendidikan di Aceh. Contohnya, jika layanan perizinan untuk berusaha terus membaik, tentu akan mendorong tumbuhnya iklim investasi di Aceh. Namun ketika akses terhadap layanan pendidikan dan kompetensi tenaga pendidik tidak merata, tentu upaya peningkatan kualitas SDM di Aceh tidak akan berjalan sesuai harapan. Akibatnya, kualitas SDM yang ada di Aceh bisa saja tidak memenuhi kebutuhan dari berbagai kesempatan kerja yang tersedia karena pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved