Kupi Beungoh
Sofyan Dawood, dari Cot Trieng, Helsinki, Hingga Membidik Senayan
Setelah penandatanganan MoU Helsinki yang menandai berakhirnya konflik Aceh, nama Saofyan Dawood pun kian meredup.
Oleh: Iskandarsyah bin Syarifuddin*)
SYAHDAN, pada tanggal 5 November 2002, jagat raya, terutama Aceh dan Indonesia, dihebohkan dengan aksi pasukan TNI dan Polri melakukan pengepungan di paya (rawa-rawa) Cot Trieng, di Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe.
Pengepungan ini menjadi tajuk utama media cetak baik cetak mahupun elektronik, dalam dan luar negeri.
Kononnya rawa-rawa ini penjadi markas besar para pentolan Gerakan Aceh Merdeka.
Pengepungan dilakukan dengan menggunakan kenderaan perang seperti panser, tank, dan alat berat tempur lainnya.
Ribuan TNI dan polri menyisir semua kawasan dalam rawa-rawa.
Tembakkan meriam dan desingan senjata api terus meraung saban hari tanpa hentinya.
Di sini kita tidak sedang membahas pengepungan ini.
Tapi ada satu sosok yang tidak bisa kita pisahkan dari kejadian ini.
Sosok itu adalah Sofyan Dawood, yang kala itu menjabat sebagai juru bicara militer Gerakan Aceh Merdeka merangkap Panglima Wilayah Pasee.
Pria yang sering disapa "Aduen" atau Bang Yan ini paling diburu oleh awak media.
Tak jarang fotonya terpampang di halaman muka surat kabar lokal dan nasional, dengan ciri khas topi militer, kacamata hitam, dan terkadang dengan rambut palsu (wig).
Pernyataan dari Bang Yan, dalam bentuk tulisan maupun audio, menjadi santapan peminat media.
Pria yang selalu memakai kacamata hitam bermerek Police ini selalu menghiasi halaman depan surat kabar.
Tak jarang fotonya terpampang di layer kaca televisi ketika pemberita menghubunginya secara langsung via telepon satelit.
Berbicara lancar dan nampak cerdik, pria yang kadang-kadang dilakap “Abu” atau “Teungku” di permulaan namanya oleh awak media ini terus menerus bermanuver di sebalik panggilan telepon langsung atau pun press releasenya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.