Jurnalisme Warga
Aksara Aceh Sama Dengan Harah Jawoe
Salah satu hal yang diperbincangkan warganet adalah maksud dari aksara Aceh. Banyak di antara mereka bertanya mana yang disebut aksara Aceh?
T.A. SAKTI, peminat manuskrip dan sastra Aceh, melaporkan dari Rumoh Teungoh, Gampong Ujong Blang, Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya
INSTRUKSI Gubernur Aceh Nomor 05/INSTR/2023 tentang Penggunaan Bahasa Aceh, Aksara Aceh, dan Sastra Aceh disambut masyarakat Aceh dengan antusias. Hal ini terkesan dari banyaknya komentar dan silang pendapat dalam ruang dunia maya alias media sosial (medsos).
Salah satu hal yang diperbincangkan warganet adalah maksud dari aksara Aceh. Banyak di antara mereka bertanya mana yang disebut aksara Aceh? Lalu, sebagian menjawab bahwa aksara Aceh adalah penulisan bahasa Aceh dalam huruf Latin yang menggunakan tanda diakritik atau apostrof seperti yang diajarkan orientalis Belanda, Snouck Hurgronje.
Saya yakin, sebagian peserta yang berdakwa-dakwi tentang aksara Aceh belum membaca Instruksi Gubernur Aceh bertanggal 21 Maret 2023 M/29 Syakban 1444 H itu secara tuntas. Sebab, dalam instruksi butir kelima telah diterangkan bahwa aksara Aceh berhuruf Arab–Jawi alias aksara Aceh sama dengan harah Jawoe (huruf Jawi) atau aksara Arab Melayu, disebut juga Arab pegon (Arab menyimpang) dalam sebutan orang Jawa. Disebut menyimpang karena huruf Arab asli sudah dibuat beberapa penyesuaian.
Bunyi instruksi kelima sebagai berikut: Bupati/Wali Kota, Kepala SKPA, Kakanwil Kementerian/Nonkementerian Provinsi Aceh, Kepala Biro, Pimpinan BUMN dan Perbankan, serta BUMA untuk menerapkan Aksara Aceh berhuruf Arab–Jawi pada penulisan nama kantor pada instansi Saudara sebagai pelengkap dari penulisan nama dalam bahasa Indonesia.”
Bukan hal baru
Pemakaian aksara Aceh yang berhuruf Arab–Jawi sudah amat tepat bila dikaji dari segala sudut pandang, baik dari arus sejarah, agama Islam, maupun budaya dan adat istiadat Aceh. Bahwa huruf Arab Jawi sudah bertapak di Aceh sejak berabad-abad yang lampau, yakni sejak masuknya agama Islam ke daerah ini.
Penggunaan aksara yang bukan berasal dari bumi asli setempat, bukanlah hal baru dalam sejarah beragam aksara yang ada di dunia sampai sekarang. Huruf Palawi lahir dan berkembang di negeri Persia kuno. Ketika huruf ini masuk ke India, setelah mengalami sejumlah modifikasi, maka namanya berubah menjadi aksara Pallawa yang digunakan untuk menulis ajaran-ajaran Hindu dan Buddha.
Pada waktu agama Hindu dan Buddha berkembang di Jawa dan Bali, huruf asal India ini berganti nama menjadi aksara Jawa dan aksara Bali. Seiring dengan berkembangnya di Nusantara, agama Buddha juga masuk ke beberapa negara kawasan Asia Tenggara, seperti ke Negeri Gajah Putih, Thailand, Kamboja, Myanmar, Vietnam, dan Laos.
Di negeri-negeri wilayah Asia Tenggara ini pun, huruf Pallawa menerima seleksi sebagai bentuk “disesuaikan” dan namanya pun berganti menurut kesepakatan masyarakat setempat. Dalam banyak demonstrasi yang disiarkan media massa, warga Thailand membawa spanduk bertuliskan aksara “Pallawa” yang telah dipermak tentunya.
Mari kita berpaling ke wilayah Asia Timur. Huruf induk di wilayah ini adalah aksara Kanji yang lahir dan berkembang di Tiongkok yang dalam bahasa Mandarin disebut Hanzi. Di saat huruf Kanji beranjak ke Jepang untuk kepentingan penulisan ajaran agama Shinto, pada masa awal kehadirannya aksara Kanji yang telah diubah ini diberi nama huruf Hiragana. Pada perkembangan selanjutnya, dengan penyesuaian yang lebih ekstrem, aksara ini bernama Katakana. Tokoh pembaruan huruf Kanji di Jepang adalah pendeta, baik dari agama Shinto maupun agama Buddha.
Aksara yang digunakan di Semenanjung Korea (negara Korea Selatan dan Korea Utara) juga berasal dari huruf Kanji asal Cina. Di Korea huruf asal Tiongkok ini disebut Hanja. Setelah mengalami perubahan di Korea Selatan diberi nama Hangul dan di Korea Utara disebut Joson-gul. Pelopor perubahan aksara Cina ke huruf Korea adalah Raja Sejong Yang Agung pada abad ke-15, tepatnya pada tahun 1443.
Begitulah, dengan segala bentuk modifikasi terhadap huruf induk, maka masing-masing wilayah sudah mengeklaim bahwa mereka memiliki aksara sendiri. Sesuai dengan beberapa contoh di atas, maka muncullah pengakuan nama atau istilah: aksara Jawa, aksara Bali, aksara Thailand, aksara Kamboja, aksara Myanmar, aksara Vietnam, aksara Laos, aksara Jepang, aksara Korea Selatan, dan aksara Korea Utara.
Sehubungan dengan maraknya penjajahan Barat di Asia Tenggara dan Asia Timur, maka sebagian negeri-negeri tersebut di atas sudah beralih ke huruf Latin dan beberapa lagi memakai dwiaksara, baik huruf warisan leluhur maupun aksara Latin. Sementara itu huruf Arab asli juga mengalami modifikasi untuk menulis bahasa Aceh dan bahasa Melayu/Indonesia.
Huruf Arab Melayu
Aceh adalah pelopor aksara Arab Melayu di Asia Tenggara. Hal ini karena Aceh merupakan wilayah pertama berkembangnya agama Islam di wilayah ini. Sebagai umat Islam, pada mula mereka diperkenalkan kepada kitab suci Al-Qur'an dan hadis. Kedua sumber ajaran Islam itu terekam dalam huruf dan bahasa Arab. Sejak itu berkembanglah huruf Arab dan bahasa Arab di Aceh.
Bagi upaya memperluas ajaran Islam dan pengetahuan masyarakat, para ulama Aceh menulis berbagai kitab dalam bahasa Melayu dan Arab dengan menggunakan huruf Arab. Mengapa mereka mengarang dalam bahasa Melayu, bukan dalam bahasa Aceh? Sebab, menulis kitab dalam bahasa Aceh lebih kecil area penyebarannya. Sementara tulisan dalam bahasa Melayu bisa dibaca masyarakat muslim di seluruh Asia Tenggara. Jadi, sejak dulu, para ulama Aceh sudah berwawasan global, mendunia.
Beberapa kisah sejarah Islam dan kitab agama dalam bahasa Melayu warisan para ulama Aceh tempo dulu yang masih dikenal hingga sekarang, misalnya Kisasul Ambia (Kisah Para Nabi), Kisah Nabi Muhammad dan para sahabat, Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Amir Hamzah, Kitab Masailal, Kitab Bidayah, Kitab Delapan, dan lain-lain.
Cukup lama, bisa dikatakan melintasi abad, para ulama Aceh mengayun pena dalam huruf Arab asli tanpa modifikasi atau penyesuaian apa pun. Jangankan buat menulis dalam bahasa Melayu, dalam bahasa Jawa pun para ulama di sana juga menulis dalam huruf Arab asli. Padahal, dalam bahasa Jawa banyak kata-katanya berbunyi (o).
Aksara asli Arab yang berjumlah 29 huruf itu bisa dipakai untuk menulis bahasa apa pun, asal mau dibaca dengan hati-hati pada mulanya, dan kemudian mampu dibaca dengan lancar karena sudah terbiasa.
Barulah kemudian, muncul modifikasi terhadap huruf Arab asli secara bertahap. Huruf-huruf modifikasi bagi tulisan asli aksara Arab adalah ca, nga, nya, ga, dan pa. Kelima ejaan ini tidak ada dalam rangkaian huruf Arab asli, tapi sangat diperlukan bagi memudahkan membaca aksara Arab bagi bahasa Melayu, Aceh, dan bahasa lainnya.
Menurut pengamatan saya, para pemikir ulama Aceh tidak dapat “mencipta” sekaligus kelima huruf tambahan ini. Hal itu berlaku bagi bahasa Melayu mupun bahasa Aceh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.