Opini

Qanun LKS Menjaga Umat dari Penjajahan Ekonomi

Qanun LKS adalah sebuah undang-undang atau aturan agar mempermudah umat Islam menerapkan syariat Islam dari sisi ekonomi.

Editor: mufti
ist
Dr. Ainal Mardhiah, S.Ag, M.Ag adalah Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan UIN Ar Raniry Banda Aceh. 

Dr Ainal Mardhiah SAg MAg, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar Raniry Banda Aceh

JIKA membaca isi Qanun LKS (Lembaga Keuangan Syariah), dapat kita pahami bahwa qanun ini dimaksudkan untuk menjaga ekonomi Umat Islam dari penjajahan di bidang ekonomi, khususnya di Aceh. Sebuah kebanggaan Aceh memiliki keistimewaan dalam pelaksanaan Syariat Islam, mestinya ini terus di pertahankan dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Upaya-upaya penegakan Syariat Islam tentu harus terus diupayakan dalam segala sisi kehidupan di Aceh. Termasuk dalam sisi kehidupan berekonomi, sebagai komitmen, janji, sumpah seorang muslim agar dapat menjalankan Syariat Islam semaksimal mungkin dalam segala sisi kehidupan. “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hannyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al An'am : 162).

Kelebihan LKS

Qanun LKS adalah sebuah undang-undang atau aturan agar mempermudah umat Islam menerapkan syariat Islam dari sisi ekonomi. Qanun LKS mengatur tentang pelaksanaan keuangan agar sesuai dengan syariat Islam. Ini penting agar umat Islam tidak terjerumus dalam hal-hal yang melanggar syariat Islam, dari hal-hal yang dikhawatirkan umat Islam akan terjerumus dalam pelaksanaan ekonomi yang mengandung riba, mendhalimi sesama manusia dan lainnya yang dilarang oleh agama.

Pelaksanaan ekonomi Islam, menggunakan prinsip adil, sebagai contoh jika seseorang meminjam uang kepada pihak lain karena dasar persaudaraan, sehingga dalam pelaksanaannya pihak yang meminjam harus amanah dalam mengelola uang yang dipinjam. Lalu secara transparan mencatat pengeluaran dan pemasukan dari uang tersebut, yang pada akhir tahun dihitung keuntungan, lalu keuntungan tersebut dibagikan dengan pemilik modal sesuai dengan perjanjian.

Misalnya yang punya modal mendapat 30 persen dari keuntungan, dan yang pengelola mendapat 70 persen dari keuntungan. Dengan cara ini terbangun prinsip keadilan, persaudaraan, saling percaya, transparan, adil, bemanfaat tentu dalam menghidupkan ekonomi umat Islam. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia. (HR Ahmad).

Pihak pemilik modal, uangnya terjaga, berkembang, bertambah, yang pengelola mendapatkan manfaat dari uang yang dikelola untuk menghidupkan ekonomi umat, dan ekonomi keluarga. Ini tentu tidak berlaku pada sistem ekonomi di luar Islam. Mereka berprinsip jangan rugi, tidak peduli apakah yang meminjam uang itu mendapat untung atau tidak dari uang yang mereka pinjam, yang penting setiap jatuh tempo, setiap bulan, pihak pemilik modal harus mendapat setoran sekian persen (sesuai perjanjian awal dari jumlah modal yang  mereka pinjam). Tidak ada prinsip kekeluargaan, keadilan, kemudahan dalam sistem keuangan diluar syariat Islam.

Oleh karena itu, jika yang meminjam uang mengalami kebangkrutan, uang yang mereka pinjam tidak berkembang, peminjam uang tetap harus mengembalikan uang sebanyak yang dipinjam ditambah dengan persen bunga dari jumlah uang yang dipinjam, dan itu harus terus dibayarkan kepada pemilik modal sampai akhir masa perjanjian pinjaman.

Apabila pihak peminjam tidak mampu membayar, maka pihak yang meminjamkan uang akan menjual barang jaminan untuk menutupi jumlah uang pinjaman beserta seluruh bunga selama jumlah waktu peminjam. Tidak mengenal kasih sayang, keadilan dalam aturan mereka.

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam, jika uang yang dipinjam tidak bisa berkembang, pihak pemilik modal dapat mengevaluasi penyebabnya. Jika dianggap tidak layak diteruskan, dibuat kesepakatan agar peminjam dapat mengembalikan uang yang dipinjam dalam bentuk tunai atau barang jaminan dijual agar pihak yang meminjam uang dapat mengambil uang sejumlah yang mereka pinjamkan. Jika uang penjualan jaminan itu lebih dari jumlah uang yang dipinjam oleh peminjam, uang tersebut wajib dikembalikan kepada orang yang pinjam uang yang memiliki barang jaminan tersebut.

Ini salah satu, yang membedakan antara  ekonomi syariah dan ekonomi nonsyariat. Namun persoalannya apakah prinsip-prinsip ini sudah diterapkan pada lembaga yang memberikan nama bagi dirinya lembaga "bersyariah". Tentu ini perlu terus diawasi dan dievaluasi secara rutin oleh penguasa negeri, seperti gubernur, anggota dewan, ahli hukum Islam dan ahli hukum non Islam, untuk mendapat manfaat bagi umat Islam,  dan pihak lainnya yang konsisten dalam memperjuangkan Islam di bidang ekonomi.

Pentingnya Qanun LKS

Keberadaan Qanun LKS itu penting bagi seorang muslim, untuk menjaga  ekonomi umat dan menjaga umat dari penjajahan di bidang ekonomi. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan atas Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah bahwa; Pemerintah Aceh bersama Pemerintah Kabupaten/Kota perlu mendirikan  LKS yang berasaskan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Pendirian LKS ini dirasakan mendesak sebagai tindak lanjut pelaksanaan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam.

Dalam perkembangan ekonomi dewasa ini, kehadiran LKS di Aceh dirasakan sudah sangat mendesak karena hal tersebut merupakan salah satu pilar pelaksanaan syariat Islam di bidang muamalah. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan banyaknya modal pihak ketiga yang masuk ke Aceh dimana dalam operasionalnya tidak dilaksanakan berdasarkan prinsip Syariah.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved