Kupi Beungoh

Rumoh Geudong: Janji Pemimpin dan Ingatan Publik - Bagian I

Itulah “asbabun nuzul” penghalang besar bagi sebagian generasi Aceh untuk mencintai Indonesia. Kalimatnya sangat sederhana, bagaimana mencintai

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

BEBERAPA tahun sebelum Perdana Menteri Singapura pertama dan terlama- Lee Kuan Yew- meninggal, Graham Allison, Profesor Universitas Harvad, dan Dekan pendiri Jhon F.Kenendy School of Government, mengajukan banyak pertanyaan menarik kepadanya.

Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah, ketika Lee telah tiada, apa dan bagaimana keinginanya untuk dikenang oleh rakyat Singapura?

Jawaban Lee sangat singkat dan padat.

Ia tak ingin dikenang sebagai negarawan.

Bahkan dengan lugas ia mengatakan, jika ada pemimpin seperti dirinya yang bermimpi, mengharapkan dirinya akan dikenang oleh rakyatnya sebagai negarawan, sebaiknya sang pemimpin itu perlu menemui psikiater.

Pemimpin seperti itu “sakit”, katanya.

Berbeda dengan Lee Kuan Yew, hampir setengah millennium yang lalu, Rustem Pasha, Wazir Agung Kesultanan Ottoman mempunyai pandangan yang berbeda dengan Lee Kuan Yew.

Anak kecil bekas budak tangkapan tentara Ottoman asal Croatia, yang kemudian menjadi suami Mihrimah, anak sang penguasa, Sultan Sulaiman Agung, sangat ambisius.

Ia terbuka mengatakan ingin dikenang sebagai politisi dan penguasa Ottoman yang kuat, pandai, dan sangat berpengaruh.

Rustem memerintahkan Mimar Sinan- kampiun arsitek Ottoman pada masa itu, untuk membangun sebuah masjid besar dan indah.

Ia menggunakan kekayaan pribadinya untuk sebuah bangunan ibadah yang mengambarkan kehebatan dirinya berlanjut melintas zaman melalui keahlian arsitektur Sinan.

Masjid yang terletak di kawasan Fatih, Istanbul itu sampai hari ini masih berdiri tegak, hebat, dan indah.

Lee, Rustem, Sukarno, Jokowi, dan semua pemimpin lainnya boleh saja berharap untuk dikenang atau tak dikenang oleh rakyatnya, apakah itu ingatan baik ataupun ingatan buruk.

“Umur” mereka akan panjang dan tak akan pernah habis dibahas oleh sejarah.

Tak jarang narasi tentang mereka dibelokkan, dan tak kurang pula diluruskan.

Akhirnya, semua yang tercatat dan tak tercatat akan diungkapkan, dan seringkali baik buruknya akan terungkap juga.

Pengadilan sejarah menjadi sesuatu yang tak terelakkan.

Baca juga: Kisah Horor Rumoh Geudong, Penuh Jeritan & Lepotan Darah Manusia Tempat Bersejarah Sejak era Belanda

Baca juga: Sesmenko: Tangga Beton di Rumoh Geudong tak Dihilangkan, Sumur Hanya Ditutup Sementara

Aceh dan Sejarah Panjang

Dibandingkan dengan berbagai provinsi di Indonesia, Aceh mempunyai tempat tersendiri, terutama dikaitkan dengan hampir semua presiden yang pernah berkuasa.

Pasalnya hanya satu, ingatan, tepatnya sejarah.

Yang dimaksud adalah sejarah panjang tentang sebuah kawasan geografis Nusantara yang dengan ikhlas melepaskan nasionalisme, kebanggaan dan harga diri yang telah berlangsung paling kurang 800 tahun lamanya.

Para pemimpin Aceh yang telah berhasil mengusir Belanda, dan Jepang pada masa itu, kemudian bersumpah melepaskan “baju kebangsaan” Aceh.

Entitas ini bergabung dalam sebuah rumpun keluarga besar negara Indonesia.

Pada awalnya, ada perdebatan tentang keputusan itu sesama elite Aceh pada masa itu, akan tetapi akhirnya diputuskan untuk menjadi bagian dari negara kebangsaan baru, Indonesia.

Nasionalisme Aceh dipertahankan, namun dipaduserasikan dengan nasionalisme kebangsaan yang baru- tepatnya “dikecilkan” dengan meminta kepada Soekarno untuk sebuah ruang “ethno nasioslisme” Aceh yang otonom.

Elemen dan substansi yang diterima dan dijanjikan Sukarno adalah pemberian keunikan dan kekhususan Aceh dalam menjalankan syariat Islam, berikut dengan kewenangan dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan.

Ada airmata, kesedihan, dan janji setia antara Sukarno dan Daud Beureueh ketika komitmen itu dibuat.

Ketika sang ulama lugu itu minta janji itu ditulis di secarik kertas, Sukarno menangis terisak-isak.

Ia menyebutkan kesedihannya betapa ia dipercaya banyak orang, hatta orang asing yang bahkan tak seagama sekalipun.

Namun ketika ia berhadapan dengan saudaranya “kakanda ku” - Daud Beureueh, komitmen dan kejujurannya diragukan.

Beureueh terenyuh, keteguhan dan ketegarannya luluh, ia memeluk Sukarno, dan resmilah Aceh menjadi bagian dari Indonesia yang tak terpisahkan sampai hari ini.

Momen itu adalah momen “sakral” integrasi Aceh menjadi bagian dari negara kebangsaan baru, Indonesia.

Namun momen sakral itu pula kemudian menjadi sumber  “energi” perlawanan yang tak pernah habis dan  berjalan panjang, baik oleh Beureueh, maupun sambungan edisi lain versi  Hasan Tiro.

Karena janji itu dipungkiri Sukarno, Indonesia yang melekat dengan namanya, kemudian berasosiasi dengan ingkar janji dan pengkhianatan.

Itulah “asbabun nuzul” penghalang besar bagi sebagian generasi Aceh untuk mencintai Indonesia.

Kalimatnya sangat sederhana, bagaimana mencintai Indonesia, kalau Indonesia tidak mencintai Aceh?

Kekecewaan itu dimulai karena ingkar janji Sukarno terhadap pelaksanaan syariat Islam, dan kemudian menemukan hulu ledaknya, ketika Aceh dilebur menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara.

Pemberontakan DII/TII meletus, dan itulah awal dari sejarah pergumulan antara Aceh dan Jakarta.

Semua orang tahu, setelah beberapa tahun, pemberontakan itu tuntas, tepatnya pada tahun 1962.

Namun itu tak lama, 14 tahun kemudian Aceh bergejolak lagi.

Kali ini bukan Daud Beureueh, akan tetapi Hasan Tiro dengan versi yang lain.

Kali ini tentang kepatutan dan keadilan pembagian sumber daya alam.

Tidak dapat dipungkiri, memori publik Aceh tentang DI/TII, semua dimulai dari Sukarno.

Dialah yang dianggap biang kerok, karena ingkar janji dan penghinaan terhadap Aceh, karena pembubaran provinsi.

Publik Aceh tak mau tahu, betapa Sukarno sebagai seorang pemimpin negara baru “in the making” menghadapi kompleksitas yang luar biasa, karena keragaman Indonesia yang juga sangat luar biasa.

Publik Aceh tidak mau tahu, betapa ia harus memberi konsesi kepada semua pihak, karena Indonesia harus hadir, jadi, dan utuh.

Publik Aceh dan juga banyak pihak tak peduli dengan reaitas perundingan RIS dan akhirnya memunculkan negara kesatuan.

Konsekuensi di antara dua kejadian itu Aceh harus dimasukkan ke Sumatera Utara untuk menjadi bagian dari enam provinsi di Indonesia.

Publik tentu saja mempunyai logika tersendiri, dan karenanya memori publik pun mempunyai logika tersendiri pula.

Tidak mungkin publik diajak untuk menempatkan diri sebagai Sukarno, menggunakan nalar akademik, apalagi melihat ada nilai lain dari sebuah kesalahan yang dipermukaan tampaknya sangat salah secara diametral.

Publik  mempunyai narasi tersendiri yang unik dari memori kolektif yang terwariskan dari generasi ke generasi.

Adilkah kemudian kalau Sukarno dijadikan sebagai satu satunya manusia yang bersalah dan kemudian menjadi penyebab semua kesalahan berikut yang terjadi sesudahnya, yang berhubungan degan petaka Aceh?

Adilkah kalau kemudian kebaikan Sukarno dengan memberikan Aceh status provinsi dengan sejumlah keistimewaannya dibalas dengan vonis buruk terhadapnya?

Jawaban yang jujur, tentu saja tidak.

Bukankah kemarahan Beureueh terhadap Sukarno tidak dibawa ke “hati” ketika Beureueh dan sedikit pasukannya bertahan di kawasan “baitul a’la” di pedalaman Geudong, Aceh Utara.

Sukarno sama sekali tidak memerintahkan TNI untuk mencari Beureueh “hidup” atau “mati”.

Sebaliknya ia memerintahkan Panglima Kodam Iskandar Muda, Kolonel M Yasin untuk membujuk dengan penuh hormat agar Beureueh turun gunung.

Bukankah kemudian Sukarno memberikan amnesti umum kepada seluruh pengikut Beureueh, dan semua pemberontak yang sebelumnya terikat kedinasannya dengan Pemerintah.

Mereka diampuni dan kembali bertugas seperti sebelum pemberontakan.

Beureueh dan para pengikutnya diampuni, dan diberikan kehormatan yang sepantasnya.

Bukankah itu bentuk lain dari penghormatan terhadap “kakanda” oleh Sukarno?

Kenapa Aceh dikecualikan dalam penanganan pemberontakan seperti yang dialami oleh Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan oleh Sukarno?

Bukankah  terhadap berbagai provinsi yang pernah memberontak terhadap republik diberikan “pelajaran” oleh Sukarno?

Bukankah ia dengan tegar menandatangani lembar “eksekusi “ hukuman mati kepada sahabat baiknya, Kartosuwiryo, pemimpin Darul Islam.

Dibandingakn dengan Beureueh yang hanya bertemu sekitar dua tiga kali, Kartosuwiryo bagi Sukarno adalah sahabat kentalnya ketika ia di Bandung selama bertahun-tahun.

Bagi Sukarno, pemimpin pemberontak terhadap Republik hukumannya hanya satu, hukuman mati.

Tidak dapat dipungkiri hal yang sama juga berlaku untuk Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.

Ia ditembak mati pada tahun 1965 dalam sebuah operasi militer yang dipimpin oleh Jenderal Yusuf.

Itu adalah perintah tegas Sukarno.

Kecuali Aceh hampir semua pemberontakan lain ditumpas.

Tidak berlebihan untuk menyatakan, masyarakat Sumatera Barat menghadapi trauma panjang karena pemberontakan PRRI.

Tak heran, sebagian warga kelahiran Sumatera Barat pasca PRRI, terpaksa mencari nama yang tak berbau minang untuk anaknya pada masa itu akibat trauma yang begitu berbekas.

 
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved