Berita Aceh Besar

Kisah M Jamil yang Selamat dalam Insiden Cot Jeumpa yang Menghebohkan Dunia

M Jamil menjadi saksi sejarah Peristiwa Berdarah di Mukim Cot Jeumpa, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar.

Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Muhammad Hadi
KOLASE SERAMBINEWS.COM
Pemimpin Redaksi Harian Serambi Indonesia, Zainal Arifin M Nur (kiri) dan Muhammad Jamil, satu dari sedikit warga Lhoong, Aceh Besar, yang menjadi saksi sejarah Peristiwa Berdarah pada Februari 1955 di Mukim Cot Jeumpa, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar 

SERAMBINEWS.COM – Namanya Haji Muhammad Jamil, usianya kini telah beranjak 86 tahun.

Muhammad Jamil adalah satu dari sedikit warga Lhoong, Aceh Besar, yang menjadi saksi sejarah Peristiwa Berdarah di Mukim Cot Jeumpa, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar.

Peristiwa yang merenggut 25 nyawa nelayan di Lhoong ini, terjadi pada, Senin, 28 Februari 1955.

Insiden pembantaian 25 nelayan Lhoong ini merupakan ekses dari penyanggongan sebuah truk militer Indonesia oleh Tentara Darul Islam, di sekitar jembatan Krueng Raba, Lhoknga, pada tanggal 25 Februari 1955.

Dua hari sebelumnya, atau pada tanggal 26 Februari 1955, insiden pembantaian yang merenggut nyawa 64 orang petani dan nelayan, terjadi di Gampong Pulot (kini masuk Kecamatan Leupung), yang berjarak sekira 12 kilometer dari Cot Jeumpa.

Kedua peristiwa pembantaian yang menggemparkan dunia ini terjadi di pinggir laut, ketika tentara memerintahkan warga menghadap laut, lalu menembak mereka dari belakang.

Satu persatu bertumbangan dan meninggal di tempat.

“Saat itu saya masih berusia 17 atau 18 tahun. Sudah mulai mencari rezeki sendiri, tapi belum berumah tangga,” kata Muhammad Jamil, warga Lhoong yang secara tidak sengaja ditemui Serambinews.com, di Cot Jeumpa, Minggu (25/6/2023).

Namun, Muhammad Jamil yang merupakan pensiunan PT. Telkom ini tidak melihat langsung peristiwa penembakan warga, termasuk beberapa rekannya, yang terjadi 68 tahun lalu itu.

Ia juga tidak tahu persis apa yang menjadi penyebab terjadinya aksi pembantaian terhadap warga desa itu.

Tapi Haji Jamil masih sangat ingat saat dia dan tiga rekannya, serta beberapa warga lainnya, dikumpulkan oleh tentara dan di bawa ke pinggir laut.

Kakek yang sudah sepuh ini bercerita dengan lancar, sebelum peristiwa itu terjadi ia bersama 3 rekannya pergi ke sawah yang berada di Gampong Krueng Kala untuk memanen padi.

“Saya, Abdul Rani, Muhammad Hasyim, dan satu orang lagi yang saya sudah lupa namanya,” ujar Haji Jamil.

Selain mereka, ada satu rombongan lagi berjumlah 8 orang yang sudah berangkat duluan, tapi Haji Jamil sudah lupa nama-namanya.

“Rombongan yang 8 orang sudah berjalan lebih dulu. Tapi mereka kemudian dibawa kembali dengan truk tentara ke sini (pasar Cot Jeumpa),” kenang Jamil.

Mereka semua yang berjumlah 12 orang dicuriga karena kami membawa makanan.

“Kami dituduh memasok logistik untuk pasukan DI. Padahal makanan itu untuk kepentingan kami yang akan memanen padi di sawah,” ujarnya.

“Saat itu susah mencari makanan, belum banyak kedai yang berjualan seperti sekarang,” lanjut Muhammad Jamil.

Setelah diinterogasi, semua orang itu dikumpulkan dengan beberapa beberapa orang lainnya yang ditangkap secara terpisah.

Lalu kemudian mereka digiring ke pinggir laut.

Muhammad Jamil yang berperawakan kecil ditinggalkan karena dianggap masih anak-anak.

“Saat itu saya pakek celana pendek dan perawakan saya juga kecil, sehingga dianggap masih anak-anak,” kata M Jamil tersenyum kecut.

Baca juga: Melawan Lupa, Tragedi Jambo Keupok, Aceh Selatan

Dalam ketakutan itu, sekira setengah jam kemudian, M Jamil mendengar rentetan tembakan dari arah laut.

“Saya tetap berada di sini, hingga rombongan tentara itu kembali lewat dari pergi dari kampung kami,” ujarnya.

Setelahnya, M Jamil dan warga lainnya yang selamat dari aksi pembantaian itu menuju ke pinggir pantai dan mengevakuasi seluruh korban syahid untuk dikebumikan di pinggir pantai.

Sayangnya, saat ini tidak ada lagi bekas pertapakan atau prasasti yang mengingatkan akan peristiwa pelanggaran HAM pada masa lalu ini.

“Sudah tidak ada lagi kuburannya, sudah hancur diterjang tsunami tahun 2004 lalu. Areal itu pun kini sudah menjadi laut,” kata M Jamil seraya menunjuk jalan masuk ke pinggir pantai tempat peristiwa berdarah itu terjadi.

Tragedi Cot Jeumpa

Dikutip dari berbagai sumber, insiden berdarah di Cot Jeumpa adalah sebuah rangkaian peristiwa pembantaian masyarakat sipil oleh aparat TNI di Desa Pulot, Mukim Leupung dan Desa Cot Jeumpa Mukim Cot Jeumpa, di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar pada bulan Februari dan Maret 1955.

Pada peristiwa ini jumlah korban tewas mencapai 99 jiwa.

Baca juga: Rumoh Geudong dan Masa Depan Kita

Selain 25 korban syahid di Cot Jeumpa, ada 64 syuhada yang dimakamkan di Pulot Leupung, dan 10 syuhada lainnya di Kruengkala, Kecamatan Lhong, Aceh Besar.

Saat ini, Desa Pulot masuk dalam Kecamatan Leupung, Aceh Besar.

Wartawan senior Aceh Murizal Hamzah dalam tulisannya "Tragedi Cot Pulot Jeumpa Februari 1955", peristiwa terbesar pada masa rezim Orde Lama itu diawali dari bentakan militer Indonesia yang menyeret warga berdiri berjejer di pantai.

Dalam amuk kemarahan yang membara-bara, prajurit TNI menggiring anak-anak, pemuda dan orangtua ke pantai Samudera Indonesia.

Mereka diperintahkan menghadap lautan lepas.

Beberapa detik kemudian, tanpa ampun, moncong senjata otomatis memuntahkan ratusan peluru.

Puluhan tubuh pria tewas membasahi pasir.

Insiden yang meluluhlantakan nilai-nilai kemanusiaan bermula ketika sehari sebelumnya sebuah truk militer membawa berdrum-drum minyak dan 16 tentara melintasi Pulot.

Mendekat jembatan Krueng Raba Leupung, tentara Darul Islam yang dipimpin oleh Pawang Leman menghadang.

Pawang Leman adalah mantan camat setempat yang pada zaman revolusi Indonesia berpangkat mayor.

Tembakan beruntun menyebabkan truk terbakar.

Semua prajurit Batalyon B anak buah Kolonel Simbolon dan anggota Batalyon 142 dari Sumatera Barat anak buah Mayor Sjuib, berguguran dijilat kobaran api.

Tentara Darul Islam menyebut pasukan Republik Indonesia dengan Tentara Pancasila.

Esoknya, satu peleton (berkekuatan 20-40) Tentara Republik melakukan sweeping dan razia di sekitar lokasi kejadian.

Razia dari rumah ke rumah tidak membawa hasil.

Baca juga: Membaca Serambi di Era DOM ke Damai

Kekesalan tentara sudah di ubun-ubun.

Anak-anak hingga kakek yang ditemukan di jalan atau tempat bekerja digiring ke pantai.

Peristiwa penembakan, banyak yang menyebutnya pembantaian, pertama kali terjadi pada Sabtu, 26 Februari 1955 yang dilakukan oleh Batalyon 142 terhadap 25 petani di Gampong Pulot Leupueng.

Penembakan kedua pada Senin, 28 Februari 1955 oleh Batalyon 142 terhadap 64 nelayan di Mukim Cot Jeumpa.

Sementara penembakan ketiga terjadi pada tanggal 4 Maret 1955 di Gampong Kruengkala.

Total, ada 99 orang yang syahid dalam ketiga peristiwa itu. Dengan rincian di Pulot Leupung 64 jiwa, Cot Jeumpa Lhoong 25 jiwa, dan Kruengkala Lhoong 10 jiwa.

Usia termuda yang meninggal yakni 11 tahun dan paling tua berusia 100 tahun.

Indonesia menutup rapat-rapat pembantaian warga sipil yang pertama dilakukan di Aceh oleh negara, hingga kemudian gempar karena pemberitaan Surat Kabar Peristiwa pada awal Maret 1955.

Terbongkar Berkat Laporan Acha

Achmad Chatib Ali atau sering disingkat menjadi Acha adalah sosok yang paling berjasa dalam mengungkap sebuah peristiwa pembantaian tersebut.

Pemimpin Redaksi Peristiwa Achmad Chatib Aly (sering disingkat menjadi Acha) melakukan investigasi yang luar biasa.

Koran yang terbit di Jalan Merduati Nomor 98 Kutaradja itu menjadi tumpuan warga untuk mengetahui hal-hal yang coba disamar-samarkan oleh aparat.

Kala itu, militer Indonesia memblokir jalan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Tapi Acha tidak kehilangan akal.

Ia menyewa boat nelayan dan melakukan perjalanan ke lokasi kejadian melalui jalur laut.

Acha pun dengan sangat baik menunaikan tugas jurnalistiknya.

Baca juga: Negara Akui Tragedi Simpang KKA Sebagai Pelanggaran HAM Berat, Begini Kisah Kelam Tahun 1999

Seminggu kemudian, Peristiwa edisi 3 Maret 1955 memuat laporan bernas di halaman satu dengan judul “Bandjir Darah di Tanah Rentjong”.

Peristiwa edisi 10 Maret 1955 mencantumkan daftar warga yang ditembak oleh Batalyon 142, Peleton 32 dengan memakai senjata Bren, 2 mobil, 2 jeep, 2 truk.

Laporan investigasinya yang dimuat di Harian Peristiwa yang terbit di Kutaraja (Banda Aceh), membuat dunia heboh.

Laporan tersebut kemudian secepat kilat menjadi santapan dunia internasional.

Beberapa harian yang terbit di Jakarta seperti Indonesia Raya dan media terbitan luar negeri sepeti New York Times, Washington Post yang terbit di Amerika Serikat atau Asahi Simbun yang terbit di Jepang ikut mengutip laporan tersebut.

Warga Aceh di Jakarta melancarkan protes keras kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar mengirim misi menyelidiki kasus itu.

Sosok Acha dengan karya jurnalistiknya yang mumpuni telah membuka mata dunia tentang tragedi pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh dalam peristiwa berdarah di Pulot dan Cot Jeumpa, Aceh Besar.

Laporan investigasi Harian Peristiwa ini membuat Hasan Tiro meradang.

Hasan Tiro yang kala itu berstatus mahasiswa di Amerika Serikat dan bekerja paruh waktu di Misi Indonesia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai eksekusi massa itu adalah genosida.

Hasan Tiro yang dicabut paspor diplomatik Indonesia pada tahun 1954 membuat laporan resmi tentang kasus-kasus kekerasan militer Indonesia di Aceh kepada PBB.(*)

Baca juga: Melawan Lupa Rumoh Geudong

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved