Opini

Ibadah Haji dan Ketahanan Keluarga

Kepulangannya sangat dinantikan, dijemput dengan penuh rasa haru, cerita-cerita indahnya sangat ditunggu bahkan pintu rumah dibuka seluas-luasnya bagi

|
Editor: mufti
IST
Agustin Hanapi 

Dr H Agustin Hanapi Lc, Dosen Hukum Keluarga dan Anggata IKAT-Aceh

TIDAK ada satu pun seremonial ibadah yang begitu spektakuler dan luar biasa perhatian masyarakat Islam melebihi ibadah haji. Semenjak awal mendaftar, sudah banyak yang mengucapkan selamat, mendoakan mudah-mudahan panjang umur, sehat-sehat dan tidak menunggu antrean yang terlalu lama.

Begitu juga setelah ada kepastian berangkat, dengan penuh bahagia mengadakan tasyakuran dan doa bersama dengan mengundang handai taulan dan kerabat, ditepungtawari, bahkan tidak sedikit yang memberikan buah tangan sebagai tanda kasih sayang. Banyak di antara mereka yang menitip doa agar yang bersangkutan juga segera memenuhi panggilan Allah untuk hadir di Tanah Suci.

Begitu juga ketika bertolak ke embarkasi, para tamu Allah ini diantar, dilepas dengan penuh linangan air mata, dipeluk erat dengan perasaan penuh haru serta harap-harap cemas, apakah masih akan bertemu lagi dengan orang tercinta itu. Begitu juga ketika berada di tanah suci, ditelepon, ditanya kabar apakah baik-baik saja, diingatkan agar tetap menjaga kesehatan dengan memperhatikan makanan agar tetap fit sehingga ibadahnya lancar.

Kepulangannya sangat dinantikan, dijemput dengan penuh rasa haru, cerita-cerita indahnya sangat ditunggu bahkan pintu rumah dibuka seluas-luasnya bagi para tamu yang ingin bersilaturahim dan menikmati oleh-oleh air zam zam.

Peduli pasangan

Berangkat ke Tanah Suci merupakan impian semua orang Islam, bahkan berharap dapat berangkat bersama suami atau istri agar perjalanan spiritual itu terasa lebih indah dan mudah karena bisa saling membantu, sebab ibadah haji membutuhkan energi fisik yang luar biasa. Untuk itu ketika usia masih muda dan diberikan kelapangan rezeki jangan lupa sesama pasangan saling mengingatkan untuk segera mendaftar haji. Hingga saat ini waiting list (daftar tunggu) calon jamaah haji untuk wilayah Aceh memakan waktu hingga 30 tahun lebih. Sekiranya menunaikan ibadah haji sebelum lansia tentu lebih nyaman dan lebih lancar karena tidak ada kendala berarti secara fisik.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi suami-istri tatkala menunaikan ibadah haji, yaitu mengutamakan kebersamaan, kepedulian dan perhatian terhadap pasangan hidup. Artinya peka dengan kuantitas dan kualitas ibadah pasangan hidup kita, apakah sama seperti yang kita lakukan, alias lancar tanpa hambatan dan sempurna. Atau malahan sebaliknya, pasangan hidup justru tidak berdaya hingga tidak dapat melaksanakan aktivitas ibadah di Tanah Suci karena sedang diuji oleh Allah dengan kondisi fisik yang lemah akibat sakit dan lainnya.

Jika demikian, perlu berdiskusi dan menghiburnya serta menawarkan apakah pasangan hidup juga ingin hadir di Masjidil Haram. Jika ya, pasangan dapat berinisiatif mendorongnya sendiri dengan kursi roda, atau meminta bantuan jasa orang lain, sehingga pasangan merasa dikasihi dan dicintai, tidak merasa diabaikan dan ditelantarkan.

Tidak bersikap egois dengan mementingkan diri sendiri, misalnya ketika di Madinah hanya fokus sendirian mengejar shalat arbain (40 kali shalat berjamaah di masjid Nabawi tanpa terputus) sedangkan pasangan tergeletak di atas kasur lemah tak berdaya. Nasibnya miris tidak dipedulikan bahkan tega dititip ke jamaah lain yang juga sedang fokus merawat pasangan hidupnya yang sedang terbaring lemas.

Tidak bersikap cuek dan masa bodoh, lari-lari mengejar ibadah sendirian, berdoa untuk kepentingan sendiri, seolah-olah hanya ingin masuk surga sendirian sementara pasangan hidup hanya bisa meratapi nasib dan keberadaannya yang tidak dianggap.

Suami-istri hendaknya bersama-sama berjuang untuk menggapai ibadah yang maksimal, yang mungkin hanya mendapat kesempatan satu kali seumur hidup, sama-sama mengingatkan agar tidak menggosip dan berkata laghaw yang dapat mengurangi nilai ibadah dan over selfie serta berfoto lalu membagikannya di banyak media sosial setiap kali beribadah, karena dapat memunculkan rasa riya.

Menggenggam erat tangan pasangan sambil melaksanakan tawaf mengelilingi Kakbah, sama-sama khusyuk bermunajat kepada Allah agar ikatan perkawinannya kekal hingga akhir hayat. Dijadikan keturunan yang saleh yang selalu berada dalam ridha Allah, diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat serta kelak akan disatukan kembali di alam surga.

Jangan merasa risih dan malu untuk menggenggam tangan pasangan hidup, dan bukanlah sesuatu yang tabu tatkala berjalan ke masjid sepayung berdua, berinisiatif menyemprotkan air ke wajah pasangannya di tengah terik matahari yang begitu menyengat, sehingga pasangan merasakan kasih sayang dan perhatian.

Suami-istri juga harus menyadari tatkala melakukan wukuf di Arafah, bahwa kondisi itu merupakan miniatur di padang mahsyar, bahwa cepat atau lambat semuanya akan kembali kepada Allah. Boleh jadi istri cantik yang masih muda tiba-tiba menghadap Allah terlebih dahulu, atau suami yang memiliki materi melimpah secara mendadak harus kembali ke pangkuan Ilahi.

Untuk itu menyiapkan bekal untuk menjaga ketangguhan keluarga dengan banyak belajar, membekali diri dengan ilmu parenting dan pernikahan, atau dengan menempuh pendidikan tinggi dan menguasai skill yang mumpuni sehingga  tak mudah frustrasi dan tidak gampang oleng.

Menyadari bahwa suami-istri akan berpisah, dan apa pun yang kita lakukan terhadap pasangan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Maka perlu bagi kita untuk menjaga jalinan ikatan perkawinan dengan bersikap baik dan berusaha memuliakan pasangan hidup selama pernikahan, maka sudah pasti balasan yang akan diterima Insya Allah yang terbaik sesuai amalannya.

Para suami saleh akan ditemani para bidadari di atas dipan-dipan yang begitu indah, tidak pernah ada rasa bosan. Begitu juga jika suami berperangai buruk dan kasar terhadap pasangan, maka balasan yang setimpal akan diperolehnya dan akan ditempatkan di neraka yang mana kayu bakarnya adalah manusia dan batu.

Jangan superior

Simbol pakaian serba putih para jamaah haji menandakan bahwa manusia di hadapan Allah kedudukannya sederajat. Untuk itu seorang suami jangan merasa superior dan menganggap dirinya sebagai penguasa terhadap istri sehingga memperlakukannya bagaikan budak. Jangan juga beranggapan bahwa perempuanlah yang paling banyak menghuni neraka, dan menganggap amalannya lebih sedikit dari laki-laki karena mereka memiliki masa nifas dan haid.

Padahal semua itu merupakan keistimewaan dan dispensasi dari Allah. Justru jika beribadah dalam kondisi tersebut dianggap berdosa besar. Beribadah haji di tempat yang panas dan penuhnya manusia membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Sedikit saja rasa lelah bisa frustrasi membuat orang meledak dan marah-marah, bahkan kepada pasangan hidup sendiri.

Berusahalah menahan diri dan bersikap dewasa menanggapi kekeliruan dan kekhilafan pasangan yang boleh jadi dilakukannya tanpa sengaja, tidak reaktif dan tidak mudah tersulut emosi tatkala sikap dan tingkah laku pasangan jauh dari ekspektasi. Bisa jadi itu adalah cobaan dari Allah untuk kita, masihkah kita tulus menerima kekurangannya, atau tunduk dengan tipu daya syaitan dengan meluapkan emosi negatif. Bersumpah serapah bahkan ingin mengakhiri ikatan pernikahan.

Berusahalah menggapai haji mabrur, yang setelah melaksanakannya makin memiliki perangai yang baik terhadap pasangan dan menjadi contoh teladan bagi anak-anak kita semua. Wallahu A`lam.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved