Opini
Dayah Manyang, Peradaban Aceh untuk Indonesia
agaimana tidak, ada ide yang diadopsi dari Aceh. Sebaliknya, ada gagasan yang didistorsi atau tepatnya dibatasi, dan ada juga kesepakatan yang belum d
Muhibuddin Hanafiah, Tenaga pengajar pada Prodi PAI FTK UIN Ar-Raniry
SEJAK zaman dahulu, sebelum kemerdekaan hingga kini pasca kesepakatan damai, hubungan Aceh dengan pemerintah pusat tergolong aneh. Bagaimana tidak, ada ide yang diadopsi dari Aceh. Sebaliknya, ada gagasan yang didistorsi atau tepatnya dibatasi, dan ada juga kesepakatan yang belum dipenuhi.
Di antara yang diadopsi sebut saja antara lain adalah cikal bakal wahana transportasi udara nasional, Garuda Indonesia Airways (GIA) yang notabene hasil sumbangan emas masyarakat Aceh. Demikian juga lahirnya Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) yang notabene dari model Badan Perencana Pembangunan Daerah Aceh (Bappeda). Begitu juga hadirnya Ma’had Aly di pesantren, cikal bakalnya adalah Dayah Manyang di Aceh.
Sementara itu di antara yang didistorsi (dikerdilkan) wewenangnya oleh pemerintah pusat, sebut saja bidang-bidang keistimewaan Aceh. Kemudian yang diimingi janji-janji akan tetapi sampai sekarang belum juga dipenuhi, sebut saja otoritas Aceh sebagaimana yang termaktub di dalam UUPA. Kendati demikian, Aceh bagai tak pernah henti berkontribusi untuk Indonesia.
Buktinya sejumlah hasil pemikiran strategis masyarakat Aceh sebagaimana disebutkan di atas diadopsi oleh pemerintah pusat. Ma’had Aly merupakan satu dari sekian banyak cikal-bakal dan gagasan hasil olah pikir masyarakat Aceh yang kemudian diadopsi oleh republik, tulisan ini mencoba mengulas tentang Ma’had Aly.
Pesantren dan dayah
Secara bahasa (Arab), Ma’had Aly adalah lembaga pendidikan tingkat tinggi. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Ma’had Aly dalam tulisan ini adalah lembaga pendidikan tinggi (setara universitas) yang berada dalam sistem pendidikan pesantren di Indonesia dewasa ini. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam sebuah lingkungan pesantren yang besar dan telah eksis dalam jangka waktu yang lama, di sana terdapat jenjang pendidikan yang relatif lengkap, yaitu mulai dari jenjang Ula (Ibtidaiyah), Wustha (Tsanawiyah), ‘Ulya (‘Aliyah) dan Ma’had Aly (perguruan tinggi).
Nah, Ma’had Aly berarti perguruan tingginya pesantren atau jenjang pendidikan tertinggi di pesantren. Berbeda dengan sebagian pesantren yang lain, di sini terkadang hanya menerima calon santri yang telah lulus dari pendidikan dasar, dan bahkan hanya diterima lulusan pendidikan menengah. Hal ini sangat tergantung jenjang pendidikan yang dibuka pada sebuah pesantren.
Konon lagi sebelum pesantren menganut sistem pendidikan semi formal sebagai adopsian sistem pendidikan formal, maka saat itu santri pesantren belum diklasifikasi dalam format jenjang ataupun kelas, tetapi lebih pada tingkatan kemampuan dalam menguasai materi atau kitab-kitab tertentu yang telah menjadi pendidikan utama di pesantren.
Di Aceh, penyelenggaraan pendidikan dayah lebih diperuntukkan sebagai jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dayah lebih identik dengan lembaga pendidikan orang dewasa atau minimal remaja akhir. Sebab, dalam lingkup pendidikan dalam masyarakat Aceh terdapat sejumlah lembaga pendidikan pra-dayah yang harus dilalui dan dikuasai ilmu pengetahuannya oleh seorang calon santri dayah.
Sebelum diantar ke dayah, anak-anak di Aceh terlebih dahulu telah belajar agama di rumahnya sendiri atau rumah seorang guru (teungku), kemudian melanjutkan pendidikan ke meunasah, kemudian ke level rangkang (balai pengajian khusus). Dan pada masing-masing institusi ini memiliki kurikulum inti tersendiri dengan jenjangnya yang teratur. Jadi sebelum mengecap pendidikan dayah, calon santri telah menguasai ilmu dasar keagamaan seperti telah dapat membaca Alquran dengan benar, telah mengetahui ketentuan-ketentuan peribadatan (fiqh), telah memahami konsep dasar ketuhanan (aqidah), dan telah mahir beberapa praktik ibadah serta telah diajarkan etika interaksi sosial serta telah terbiasa mengamalkan sikap dan perilaku terpuji tersebut.
Tidak sampai di sini saja, pendidikan pra-dayah bukan hanya membekali calon santri luas dan mahir dalam mendalami ilmu agama. Namun yang paling penting lagi adalah calon santri telah melewati tempaan mental dan spiritual yang memadai selama proses belajar pra-dayah berlangsung. Akibatnya, sesampai di dayah mereka telah benar-benar siap beradaptasi dengan sistem dan lingkungan pendidikan dayah yang unik dan dinamis.
Mencermati gambaran pendidikan pra-dayah di atas, terdapat sejumlah perbedaan yang signifikan antara sistem pendidikan pesantren (dominan di pulau Jawa) dengan sistem pendidikan dayah di Aceh. Paling tidak keunikan sistem pendidikan dayah dapat dicermati pada layanan jenjang pendidikan yang dibuka dan persyaratan tidak tertulis mengenai kualifikasi calon santri yang sudah dinyatakan layak untuk mulai belajar di dayah.
Dikarenakan tidak menganut sistem pendidikan berjenjang ataupun kelas, pendidikan dayah tidak terlalu memperhatikan perihal usia calon santri ataupun tamatan lembaga pendidikan tertentu. Masalah administrasi atau dokumen berbasis data yang tercatat dan tersusun rapi pada beberapa dasawarsa terdahulu belum mulai dikenal dan dipedulikan oleh pengelola dayah.
Fenomena ini sudah berbeda disaat sekarang, dimana sejumlah dayah yang sudah merintis komunikasi (berhubungan) dengan pemerintah atau di Aceh ada Dinas Pendidikan Dayah sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Aceh terhadap pendidikan khas Aceh ini. Maka satu per satu, suka atau tidak suka, wajib memperhatikan masalah administrasi dalam mengelola dayah. Mulai dari administrasi lembaga dayah (legalitas), personalia pengurus, tenaga pendidik, pertanggungjawaban keuangan, administrasi karyawan dan bahkan administrasi para santri.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.