Opini

Dayah Manyang, Peradaban Aceh untuk Indonesia

agaimana tidak, ada ide yang diadopsi dari Aceh. Sebaliknya, ada gagasan yang didistorsi atau tepatnya dibatasi, dan ada juga kesepakatan yang belum d

Editor: mufti
IST
Muhibuddin Hanafiah 

Sedangkan bagi yang tidak melanjutkan pada jenjang Ma’had Aly akan melanjutkan pendidikan pada jenjang salafiyah (kelas 4) dan ketika tamat dan lulus (setelah belajar selama 3 tahun) santri berhak memperoleh ijazah dayah. Dengan demikian total waktu yang harus dilewati seorang santri untuk menamatkan studi adalah selama 6 tahun pada sistem pendidikan salafiyah dan 7 tahun bagi yang melanjutkan pendidikan ke Ma’had Aly. Durasi waktu yang harus dilalui oleh seorang mahasantri di jenjang pendidikan setara sarjana (Marhalatul Ula) pada Ma’had Aly adalah selama 4 tahun atau 8 semester.

Di balik perbedaan antara Dayah Manyang dan Ma’had Aly dalam sistem pendidikan dayah tradisional kekinian masih ditemukan sisi kemiripannya, yaitu pada kurikulum tambahan. Pada Ma’had Aly selain mempelajari kurikulum inti atau utama para mahasantri juga mulai mendapatkan pelajaran pendukung atau disebut ekstrakurikuler seperti keterampilan berbahasa asing (bahasa Arab dan Inggris), hafalan Alquran, mempelajari metode berdakwah dan muhadharah, latihan seni (suara dan lukis), latihan menulis (jurnalistik), kursus menjahit, budidaya tanaman, praktik ekonomi mikro (interpreuner), dan praktik lapangan dengan mengajar di dayah cabang dan TPQ terdekat dengan lingkungan dayah.

Pembelajaran tambahan ini agak mendekati dengan apa yang pernah diberlakukan pada pendidikan Dayah Manyang pada masa dahulu. Dimana seorang Teungku Chiek yang memimpin Dayah Manyang memperkenalkan kepada mahasantrinya pelbagai keterampilan hidup (vocasional), sehingga Dayah Manyang pada saat itu layak disebut sebagai dayah vokasional.

Namun demikian, Ma’had Aly di Aceh hari ini masih belum sampai pada kaliber Dayah Manyang di masa lalu. Ketika itu Teungku Chiek mampu berkontribusi secara lebih nyata kepada masyarakat sekitar dengan membangun sistem irigasi, mencetak sawah baru dan perkebunan lada, tembakau dan kelapa, membuat tambak ikan.

Semua kreasi para ulama dayah di masa dahulu ini berhasil digerakkan karena terjalin kerja sama yang cukup erat dengan masyarakat. Artinya institusi dayah ketika itu tidak eklusif atau tidak elitis serta menjaga jarak dengan masyarakat. Bagaimana dengan model dayah kita sekarang, kita bisa menilainya sendiri.    

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved