Breaking News

Kupi Beungoh

Konsep Unitaris dan Dalang di Balik Pembubaran Provinsi Aceh – Bagian Terakhir

Dalang di Balik Pembubaran Provinsi Aceh - Mosi yang bernada ancaman dari daerah tersebut, membuat pemerintah semakin tak gentar dalam menghadapi Aceh

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Muhmmad Nur, dosen Sejarah Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh 

Oleh: Muhammad Nur*)

Piagam antara RI-RIS yang menetapkan Indonesia dibagi ke dalam 10 provinsi diumumkan pada tanggal 20 Juli 1950 oleh Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Kepala Pemerintahan RIS di Jakarta.

Pengumuman ini dilakukan setelah provinsi paling ujung barat ini berusia selama 7 bulan lamanya (26 Desember 1949), yang usianya baru seumur jagung, tapi oleh elite penguasa sudah merencanakan untuk membubarkannya menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara.

Ibarat seperti kata orang “anak bayi yang baru saja lahir, tapi sudah dikehendaki mati oleh ibunya”.

Maka, mulai saat itu, kegelisahan dan kegusaran tokoh-tokoh di Aceh mulai bermunculan, harga diri dan marwah Aceh dinestapakan.

Meski dipermukaan tampak tenang, tapi riak- riak gejolak sudah mulai muncul di sana sini.

Bara api kemarahan mulai tertimbun dalam sekam, bila angin meniupi, apipun berkobar besar.

Baca juga: Menyoal Dalang di Balik Pembubaran Provinsi Aceh - Bagian 1

Kegusaran ini, misalnya bisa dilihat pada tanggal 12 Agustus 1950, dua bulan setelah piagam RI- RIS ini diumumkan.

Dimana pada waktu itu, seluruh anggota DPRD Aceh mengeluarkan mosi agar Aceh tetap dipertahankan menjadi Provinsi tersendiri, dengan mengemukakan alasan ekonomi, geografi, sejarah, sosiologi, agama, kebudayaan, politik dan keuangan.

Mosi DPR Aceh ini adalah;

(1) mempertahankan provinsi Aceh yang telah dibentuk oleh Wakil Perdana Menteri pada bulan Desember 1949,

(2) dan bila pemerintah pusat tidak mengakuinya, maka pejabat Pemerintah Aceh, akan meletakkan jabatan dan tidak akan bertanggung jawab bila terjadi kekacauan dikemudian hari (Husin Mujahit dan Teungku Zaini Bakri, 85).

Mosi yang bernada ancaman dari daerah tersebut, membuat pemerintah semakin tak gentar dalam menghadapi Aceh.

Sehingga pemerintah mengirimkan utusan silih berganti untuk menjumpai Teungku Muhammad Daod Beuree’eh, seperti misalnya Mendagri Mr. Susanto Tirtoprojo, pada 13 Maret 1950, untuk memantau keadaan di sana.

Susanto Tirtoprojo adalah Mendagri pada masa pemerintahan Mr. Assat.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved