Breaking News

Opini

Impor Beras, No Way

Dikawatirkan negara kita akan sulit memenuhi kecukupan pangan akibat perubahan kebijakan perdagangan luar negeri para negara eksportir beras dunia.

Editor: mufti
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Dr Muhammad Yasar STP MSc, Dosen Teknik Pertanian USK, Ketua Lembaga Kajian Pembangunan, Pertanian, dan Lingkungan (LKPPL), dan MPW Pemuda ICMI Aceh 

Dr Muhammad Yasar STP MSc, Dosen Teknik Pertanian USK, Ketua Lembaga Kajian Pembangunan, Pertanian, dan Lingkungan (LKPPL), dan MPW Pemuda ICMI Aceh

INDIA akan Larang Ekspor Beras, Indonesia Bisa Kelabakan. Demikian sebuah judul pemberitaan yang dilansir koran kebanggaan masyarakat Aceh, Serambi Indonesia, 18 Juli 2023. Yang butuh perhatian bukanlah pada larangan negara yang terkenal dengan film heroik dan tarian eksotik tersebut melainkan pada kenapa Indonesia harus kelabakan karenanya.

Apakah ini tergolong ungkapan yang berlebihan untuk sekadar menakut-nakuti atau secara faktual di lapangan memang dapat dianggukkan. Dikawatirkan negara kita akan sulit memenuhi kecukupan pangan akibat perubahan kebijakan perdagangan luar negeri para negara eksportir beras dunia.

Bagi Indonesia, India merupakan negara asal impor beras terbesar diikuti Pakistan, Vietnam, Thailand, dan Myanmar. Sebelum India, Vietnam juga sudah terlebih dahulu menyatakan pembatasan ekspor beras. Alasan rasionalnya tentu karena mengutamakan  stok “staple food” dalam negeri di tengah kecemasan global terhadap dampak fenomena cuaca El Nino yang mengganggu proses produksi dan diprediksi akan menurunkan hasil pertanian.

Dalam konteks ketahanan pangan, apa yang dilakukan oleh India maupun Vietnam merupakan sebuah kewajaran dan keharusan dalam rangka menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya. Ibarat peringatan pramugari dalam maskapai penerbangan, selamatkan diri Anda terlebih dahulu baru selamatkan orang lain.

Jadi pastikan dulu perut rakyatnya kenyang baru berpikir bagaimana perut rakyat negara lain. Itulah mengapa konsep food security menjadi agenda penting bagi setiap negara. Selain bicara soal hidup mati sebuah bangsa, masalah pangan juga dipandang sebagai marwah kedaulatan suatu negara.

Sebenarnya bangsa Indonesia sudah tidak layak berkutat pada level food security atau ketahanan pangan. Dengan komplitabel dan kompleksitas potensi yang dipunyai, idealnya kita telah berada pada level food Sovereignty atau kedaulatan pangan. Apalagi tahun 2022 lalu oleh International Rice Research Institute (IRRI), kita kembali dianugerahi penghargaan prestisius sebagai negara yang berhasil swasembada pangan setelah jeda panjang pencapaian anugerah yang sama di tahun 1985 dari Food and Agriculture Organization (FAO).

Jika dalam konteks ketahanan menitikberatkan pada unsur pemenuhan kebutuhan yang tersedia secara stabil, terjangkau dan aman dikonsumsi maka kedaulatan pangan berarti kemandirian pangan. Dalam konteks kedaulatan sudah tidak lagi berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan dalam negeri melainkan idealnya menjadi penyuplai kebutuhan global. Dan peranan yang seperti ini tentu bukan isapan jempol belaka jika komitmen bangsa ini serius untuk menjadi raksasa pangan dunia.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah berhenti impor beras dengan dalih apa pun. Walau terdengar sangat ekstrem terutama bagi telinga golongan penikmat syafaat impor, langkah sederhana dalam teori namun berat dalam praktik ini harus berani dilakukan. Bahkan harus lebih berani dari sekadar menghentikan ekspor nikel dan bauksit yang sekarang dilakukan pemerintah.

Tentu secara analogi hukum hidrolika ketika kran pemenuhan pangan lewat jalur impor tertutup maka dapat dipastikan tekanan noozle pada politycal will dan kebijakan akan tersembur semakin kuat. Maka kemudian akan menjadi harga matilah yang namanya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) itu.

Demikian juga dengan upaya penguatan dan perlindungan sumber daya manusia petaninya, peningkatan inovasi dan teknologi pertaniannya serta pembangunan infrastruktur pendukungnya, tentu akan menjadi lebih serius karena semua faktor tersebut merupakan base line bagi pemenuhan kebutuhan pangan.

Selama ini semua faktor-faktor itu hanya terkesan lips service yang senantiasa disampaikan di setiap momen pidato seremoni pejabat birokrasi, dislide show dalam banyak presentasi para akademisi, atau diucapkan dalam setiap orasi para politisi dalam rangka mengumbar janji dan menabur harapan palsu di kala musim pemilu.

Lihat saja bagaimana konsistensi pemerintah dengan larangan konversi lahannya, seakan kebijakan cetak sawah menjadi kamuflase atas legalisasi pembangunan yang mengorbankan lahan-lahan produktif.  Luas cetak baru dengan laju konversi tidak sepadan secara kuantitas dan kualitas sehingga semakin ciut ketika dihadapkan kepada angka pertumbuhan penduduk.

Generasi petani juga mengalami stagnan di usia 50 tahun ke atas. Sarjana pertanian lebih memilih lapangan pekerjaan di luar sektor kepakarannya demi prestise. Penumbuhan wirausaha muda pertanian tanpa disadari lebih menyasar hilirisasi tanpa diimbangi aktivitas di hulu.

Sehingga jangan heran jika melihat penjual tempe lebih menjamur dari pengusaha tempe apalagi dari penanam kedelai sebagai bahan bakunya. Dan ini dipandang normatif sebagai karakter milenial yang memiliki kecenderungan pada dunia serba online. Akhirnya pertumbuhan pengusaha pertanian juga stunting karena yang dikejar hanya program berbasis output bukan outcome.

Riset-riset guna peningkatan inovasi dan teknologi pertanian belum sepenuhnya diterapkan sebagaimana niat mulianya baik dari segi pelaksanaan apalagi implementasinya. Petani tetap saja kukuh dengan kenyamanan teknologi tradisionalnya, sementara ilmuwan sibuk mengirim temuannya ke jurnal asing yang berkualifikasi dan bereputasi. Setelah diadopsi dan diimplementasi sebagai kemajuan di negara luar, baru kita introduksi kembali ke dalam. Sehingga budaya mengekor kemajuan terus meneruskan kita praktikkan dalam siklus kehidupan bangsa kita.

Saatnya bertransformasi

Sebagai bangsa yang sejak dini mengklaim diri sebagai negara agraris terbesar di dunia, sejatinya kita mampu mengembalikan fokus dan lokus kita pada sektor pertanian yang memiliki tupoksi utama dalam penyediaan dan pemenuhan pangan. Pertanian harus kembali menjadi jati diri utama bangsa. Kita harus malu kepada Vietnam dan Myanmar yang di era Orde Baru menumpang makan sekarang justru menjadi di antara pemberi makan bagi negara kita.

Kecuali memang kita sudah tidak memiliki harga diri membiarkan hajat dasar dikuasai orang lain tanpa memiliki alasan uzur sama sekali.

Kebijakan berani stop impor beras harus dipercaya mampu menstimulus peningkatan produksi pertanian pangan dalam negeri. Ibarat sebuah penaklukan perang, kapal-kapal armada pengangkut para tentara harus dibumihanguskan ketika tiba di medan tempur.

Sehingga para pasukan tempur tidak memiliki jalan untuk kembali, mundur atau lari selain bertempur dan memenangkannya. Demikian pula dengan kebijakan impor beras, bedanya petani sebagai tentaranya bukan hanya dijebak dalam tanggung jawab besar melainkan diikuti dukungan penuh dari pemerintah yang pro.

Selama ruang impor masih terbuka dan dijalankan serta dijadikan sebagai strategi alternatif ketahanan pangan dalam negeri, selama itu pula kita tidak akan memiliki stimulan yang efektif dalam memerdekakan diri dari ketergantungan terhadap para importir.

Sudah saatnya petani subsisten yang hanya berorientasi pemenuhan kebutuhan makan keluarga dialihkan menjadi petani pengusaha yang memasarkan hasil produksi secara komersil dengan mengincar pasar potensial dalam dan luar negeri. Dan negara kita pun bertransformasi dari negara pengimpor ke pengekspor beras raksasa penyuplai utama bahan makanan dunia. Mulai sekarang mari kita berazam dengan mengatakan “no way” pada impor beras, semoga!

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved