Breaking News

Opini

Nezar Patria dan Fragmen Sejarah Damai Aceh

Nezar adalah orang pertama yang menjabat wakil menteri sejak kementerian itu berdiri setelah reformasi. Kedua, bagi Aceh, hal itu seperti menuntaskan

|
Editor: mufti
IST
Yuswardi Ali Suud, Wartawan asal Aceh, kini tinggal di Jakarta 

Yuswardi Ali Suud, Wartawan asal Aceh, kini tinggal di Jakarta

PADA 17 Juli lalu, Presiden Joko Widodo melantik Nezar Patria sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika. Dua hal membuat peristiwa itu bersejarah. Pertama, Nezar adalah orang pertama yang menjabat wakil menteri sejak kementerian itu berdiri setelah reformasi. Kedua, bagi Aceh, hal itu seperti menuntaskan dahaga atas hadirnya tokoh Aceh di jajaran kementerian setelah Sofyan Djalil dicopot dari jabatan Menteri Pertanahan.

Entah kebetulan atau tidak, sebulan sebelumnya Nezar meluncurkan buku kumpulan tulisan bertajuk ‘Sejarah Mati di Kampung Kami’. Judul itu berasal dari salah satu tulisan yang mendeskripsikan bagaimana Nezar kehilangan rumah masa kecilnya di Kampung Mulia, Banda Aceh, saat tsunami 26 Desember 2004 meluluhlantakkan kota kelahirannya. Tak ada yang tersisa. Gelombang raya menyapu seluruh sejarah masa kecilnya yang terekam dalam lembaran foto-foto.

Nezar yang lahir di Sigli 52 tahun lalu sejatinya adalah pelaku sejarah itu sendiri. Sudah banyak yang tahu, Nezar adalah salah satu pelaku sejarah dalam rontoknya kekuasaan Orde Baru pada 1998. Dia pernah ditangkap dan disiksa  oleh tentara lantaran turut menggerakkan aksi mahasiswa melawan pemerintahan Soeharto yang otoriter hingga rezim itu runtuh. Setelahnya, sejarah baru terukir: Indonesia menjadi negara demokratis dan menghasilkan pemimpin yang berasal dari rakyat.

Dalam konteks Aceh, pemikiran Nezar juga mewarnai aksi-aksi mahasiswa. Jika kita bertanya kepada para mantan aktivis mahasiswa yang kini jadi politisi semacam Kautsar Muhammad Yus (politisi Partai Aceh dan Demokrat), Thamren Ananda atau Ari Maulana  (Nasdem) tentang siapa guru politik mereka, salah satunya sudah pasti Nezar Patria.

Kautsar, misalnya, ingat benar Nezar adalah penggagas aksi mogok makan oleh aktivis mahasiswa di Darussalam saat Aceh masih bergolak.  Mereka menuntut pencabutan status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) yang diberlakukan sejak 1989. Pada 7 Agustus 1998, Pusat memutuskan mencabut DOM Aceh.

Nezar sendiri saat itu baru setahun tamat dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta  dan bergabung di Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta setelah dibebaskan dari penculikan. Pada 1995-1998, Nezar adalah Sekretaris Jenderal Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

Nezar juga salah satu orang yang membantu Cak Munir -- saat itu memimpin Kontras-- dalam advokasi kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, merujuk pada tindak kekerasan dan penghilangan paksa oleh aparat negara Orde Baru. Meskipun sering diakui sebagai mentor politik, Nezar sendiri tak memilih masuk partai politik seperti kebanyakan aktivis 98 seangkatannya semacam Budiman Sudjatmiko, Andi Arief, Pius Lustrilanang, Desmon Mahesa dan lainnya. Nezar memilih jalan hidup sebagai wartawan.  Sebuah profesi yang menuntut mendengar semua pihak, berdiri di jalan tengah.

Ketika perundingan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia yang melahirkan MoU Helsinki pada 2005 berlangsung, orang hanya tahu Nezar hadir di sana sebagai wartawan majalah Tempo yang meliput jalannya perundingan. Namun sesungguhnya, dari Kautsar Muhammad Yus saya tahu, bahwa ternyata Nezar ikut berperan dalam sebuah fragmen sejarah perdamaian itu.

Dalam senyap

Kautsar bercerita, dirinya bersama Nezar dan Irwandi Yusuf sudah terlibat dalam diskusi-diskusi mencari jalan tengah untuk penyelesaian konflik Aceh jauh sebelum perundingan damai terjadi. Penulis mengontak Irwandi untuk mendapatkan cerita lebih detail. Tapi tak banyak detail yang diingat Irwandi. Namun mantan Gubernur Aceh itu membenarkan Nezar turut mendorong proses perdamaian.

Diskusi kian intens setelah bencana tsunami meremukkan sebagian Aceh. Saat itu, Irwandi Yusuf yang sedang menjalani hukuman di Penjara Keudah selamat dari amuk tsunami dan berhasil kabur ke Jakarta. Tiba di Jakarta, Irwandi masih ingat, Nezar adalah orang pertama yang dicarinya. Kecamuk perang di tengah bencana dahsyat yang menewaskan lebih 200 ribu orang itu membuat bantuan kemanusiaan sulit masuk. Penyelesaian damai pun dirintis. GAM dan Pemerintah RI mulai menyusun proposal perdamaian berdasarkan versinya masing-masing.

Di Jakarta, Kautsar bersama Nezar dan Irwandi turut mendiskusikan langkah politik yang bisa mendorong kedua belah pihak kembali berdialog setelah gagalnya Perundingan Tokyo yang berujung pada penangkapan para juru runding GAM dan disusul pemberlakuan Darurat Militer sejak 19 Mei 2003 hingga setahun kemudian.

Dalam perundingan Tokyo yang gagal itu, GAM menolak tiga syarat yang diajukan pemerintah RI: otonomi khusus, menyelesaikan Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan meletakkan senjata. Belajar dari kegagalan itu, Nezar merasionalisasikan kepada pihak GAM bahwa permintaan berpisah atau merdeka dari RI saat itu adalah tuntutan yang menemui jalan buntu. Opsi itu mustahil diterima oleh Pemerintah RI. Yang paling rasional adalah menerima opsi otonomi khusus dan GAM bertransformasi menjadi entitas politik lewat partai lokal, lalu bersama pemerintah pusat membangun kembali Aceh pascatsunami dan konflik bersenjata. Sebagai gantinya, Aceh diberi kewenangan lebih luas dalam mengatur dirinya, termasuk mendapat porsi lebih besar dalam pembagian hasil minyak dan gas bumi.

Nezar tahu, format penyelesaian konflik politik seperti itu pernah dilakukan di sejumlah negara lain. Itu sebabnya, Nezar yakin pemerintah Indonesia akan menerima opsi tersebut seandainya GAM bersedia mengkaji ulang tuntutan untuk merdeka. Diskusi-diskusi itu sudah berlangsung sebelum tsunami dan Aceh masih berstatus Darurat Sipil. Kautsar ingat benar, mereka bertemu saban akhir pekan di sebuah kafe di Plaza Senayan, Jakarta, usai Nezar menyelesaikan tugasnya sebagai redaktur Majalah Tempo.

Usulan itu kemudian digodok lagi dan dibawa Irwandi ke Malaysia, lalu berlanjut ke markas besar pimpinan GAM di Swedia untuk dimatangkan lagi.  Proses itulah yang kemudian menjadi embrio lahirnya perdamaian Aceh. Selanjutnya, sejarah baru Aceh tercipta. MoU Helsinki 2005 membawa Aceh mengakhiri konflik bersenjata, mengubur luka  yang telah berlangsung hampir 30 tahun. Salah satu poin dari MoU Helsinki adalah Pusat setuju GAM menjadi partai lokal, sebuah keistimewaan yang tak dimiliki provinsi lain di Indonesia.

Penulis bertanya kepada Kautsar, kenapa peran Nezar dalam perundingan damai tak pernah muncul dalam berita-berita yang dikonsumsi publik, bahkan tak pula di buku yang ditulisnya sendiri. Kautsar menjawab, “Bang Nezar orang yang low profile, dia tak ingin terlihat menonjol.” Selain itu, penulis menduga, itu karena Nezar terbiasa bergerak di bawah tanah, bekerja dalam senyap sejak memimpin pergerakan mahasiswa di Yogyakarta dan Jakarta. Dia tak ingin menonjolkan diri. Seperti kata sahabat karibnya, Andi Arief di Twitter, ”Nezar selalu ikhlas bekerja.”

Tanpa banyak diketahui orang, Nezar bekerja untuk mendinginkan suasana ketika suhu politik di Aceh memanas. Masih ingat pertemuan Irwandi Yusuf dan Muzakir Manaf (Mualem) usai Pilkada 2017? Saat itu, pendukung keduanya yang sama-sama berasal dari GAM bersitegang. Pendukung Mualem tak terima mantan Panglima GAM itu kalah dalam perhitungan suara sementara. Penembakan dan kekerasan terhadap pendukung Irwandi terjadi di Aceh Timur dan Aceh Utara.

Dalam kondisi kritis itu, Kautsar menghubungi Nezar untuk berkonsultasi mencari jalan agar bentrokan pendukung kedua pihak tidak meluas. Jalan satu-satunya adalah mempertemukan Irwandi dan Mualem, membuat pernyataan bersama bahwa kedua pihak menerima siapa pun yang menang, lalu bahu-membahu membangun Aceh. Keduanya berbagi tugas. Kautsar melobi Mualem. Nezar melobi Irwandi.

Usai pertemuan itu, keesokan harinya koran Serambi Indonesia muncul dengan headline “Mualem-Irwandi Kini Bersatu.” Seperti sudah dirancang, keduanya membuat pernyataan siap saling mendukung siapa pun yang menang. Hasilnya, ketika Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh mengumumkan Irwandi pemenangnya, tak ada gejolak berarti di lapangan. Aceh kembali terselamatkan dari pertumpahan darah.

Begitulah Nezar Patria, memilih bekerja dalam senyap untuk Aceh, jauh dari sorot kamera. Tak juga butuh pengakuan. Ia bak pejuang yang berjalan tanpa pedang, seperti dikutip dari puisinya berjudul ‘Krueng Aceh’. Momentum demi momentum di atas menegaskan bahwa Nezar tak hanya mencatat sejarah (sebagai wartawan), tetapi juga pembuat dan pelaku sejarah bagi Aceh, juga untuk Republik.

Mencintai Aceh

Kini, Nezar membuat sejarah baru setelah dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika. Bagi Pemerintah Aceh, sudah sepatutnya melibatkan Nezar sebagai “jembatan” dalam berhubungan dengan Pemerintah Pusat, terutama terkait hal-hal yang belum selesai dalam  implementasi MoU Helsinki di samping, tentu saja, hal-hal terkait telekomunikasi yang kini menjadi tugas utamanya.

Nezar juga dikenal sebagai sosok yang berintegritas dan punya kapasitas. Sejak mengenalnya sekitar 20 tahun lalu, penulis tak pernah mendengar cerita negatif tentangnya dari orang lain. Pakar komunikasi asal Aceh almarhum Tuwanku Mirza Keumala pernah menulis tentang Nezar di laman Facebook.  Ketika Nezar dipercaya memimpin koran berbahasa Inggris The Jakarta Post, Mirza menyebutnya sebagai “penjaga suluh nalar.”

Meskipun bertugas di Jakarta, Nezar terbukti tak pernah benar-benar menjauh dari Aceh. Ini ditegaskan saat menjawab pertanyaan peserta bedah bukunya di Jakarta beberapa hari lalu yang tampaknya kecewa dengan kondisi Aceh hari ini. "Aceh harus terus kita cintai. Bahwa ada hal-hal yang tidak sesuai harapan, itu harus dimaknai sebagai dinamika perjalanan Aceh. Meskipun sekarang tidak menetap di Aceh, tapi Aceh tetap hidup dalam ingatan dan tindakan saya," kata Nezar.

Dalam puisinya berjudul ‘Krueng Aceh’ Nezar menggambarkan harapannya tentang Aceh yang damai:
 
Di Krueng Aceh, matahari mengambang
Masa lalu mengalir, kita larung dendam
Berjalan tanpa pedang
Mendaki barisan bukit
Mengapung di atas rakit
Kita terkepung di muara
Matahari dan mata air mengerjap
Ada suara rapai
meloncat dari tingkap.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved