Berita Banda Aceh

Balai Bahasa Provinsi Aceh Susun Kamus Bahasa Aceh Pakai Diakritik

Belakangan ini, terutama karena alasan kepraktisan dan khawatir salah menggunakan tanda diakritik, banyak orang Aceh

Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Nur Nihayati
SERAMBINEWS.COM/YARMEN DINAMIKA
Berita acara hasil Lokakarya Kosakata Bahasa Aceh setelah ditandatangani bersama oleh peserta diserahkan kepada Kasubbag Umum Balai Bahasa Provinsi Aceh, Agus Supriatna, S.E.Ak., di akhir acara penutupan Lokakarya Kosakata Bahasa Aceh, 3 Agustus 2023 di Hotel Ayani Banda Aceh. 

Sebelum lokakarya dimulai, sejumlah staf Balai Bahasa Provinsi Aceh sudah menginventarisasi 1.000 lebih kosakata bahasa Aceh dari berbagai kabupaten/kota di Aceh yang ada penutur bahasa Acehnya.

Kemudian, kosakata yang sudah dihimpun dari berbagai penutur bahasa Aceh yang daerah domisilinya berbeda itu, divalidasi.

"Kosakata yang kami himpun ini berdasarkan penuturan langsung pengguna bahasa Aceh di berbagai kabupaten/kota di Aceh. Untuk dimasukkan sebagai entri di kamus harus divalidasi terlebih dahulu. Forum untuk memvalidasinya itulah lokakarya," kata Istika Suri, Staf Balai Bahasa Provinsi Aceh.

Proses memvalidasi kosakata tersebut--mulai dari etimologis, penulisan, pelafalan, morfologi, kelas kata, medan makna, hingga arti dan contohnya dalam kalimat--dilaksanakan dalam Lokakarya Kosakata Bahasa Aceh yang tiga hari itu.

Pada hari pertama, peserta dibahani oleh tiga narasumber yang kompeten di bidang linguistik dan morfologi. Yakni Dr Abdul Gani Asyik MA (peneliti bahasa Aceh dan mantan dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Syiah Kuala (USK).

Narasumber berikutnya, Dr Muhammad Iqbal dari Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP USK dan Prof Dr Zulfadli Abdul Aziz MA dari Balai Bahasa Provinsi Aceh yang juga Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris di FKIP USK.

"Dengan adanya kamus bahasa Aceh yang menggunakan diakritik itu diharapkan tidak ada lagi perselisihan kata dalam penulisan bahasa Aceh di kalangan praktisi dan akademisi," kata Dr Abdul Gani Asyik.

Ia juga menambahkan, kamus yang sedang disusun dan menggunakan diakritik ini sudah benar dan layak menjadi bahan bacaan untuk anak cucu etnis Aceh ke depan.

Abdul Gani Asyik juga mengatakan, di Aceh ada daerah yang tanpa diftong. Sebagai pakar linguistik dan berasal dari Aceh Utara ia berpesan jangan buang diftong karena inilah ciri khas bahasa Aceh.

Ia juga mencontohkan satu kata yang ditulis tanpa diftong dan pakai diftong.
'Sengko lam dada' artinya sakit seperti sesak dalam dada.
Tapi kalau ditulis pakai diftong 'Seungko lam dada' artinya justru ikan lele dalam dada.

Menurut Abdul Gani Asyik, Seminar Bahasa Aceh pernah dilaksanakan di Universitas Syiah Kuala bersamaan dengan Dies Natalis Ke-19 Unsyiah (saat itu akronimnya masih Unsyiah, belum USK) pada 2 September 1980.

Dalam seminar itu disepakati bahwa penulisan bahasa Aceh tetap menggunakan diakritik, sebagaimana yang ditulis oleh Snouck Hurgronje dan Hoesein Djajadiningrat.

Namun, sepuluh tahun kemudian, IAIN (sebelum menjadi UIN) Ar-Raniry Banda Aceh menyelenggarakan pula Seminar Bahasa Aceh. Ending dari seminar itu disimpulkan bahwa penulisan bahasa Aceh untuk alasan kepraktisan dan kebutuhan saat itu dan mendatang tidak mesti menggunakan tanda diakritik.

Pemakaian diakritik justru dikhawatirkan dapat menghambat minat orang menulis dalam bahasa Aceh karena khawatir salah menggunakan tanda diakritik, juga berakibat salah makna.

Kepada awak media ia juga berpesan khusus. "Harapan saya, dalam menulis bahasa Aceh di media cetak dan online para jurnalis hendaknya tetap menggunakan diakritik. Contohnya saja Serambi Indonesia. Apa yang mereka tulis, itulah yang banyak diikuti pembaca. Bayangkan, apa jadinya kalau yang ditulis itu versi yang salah," kata Abdul Gani Asyik.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved