Jurnalisme Warga
Gempa Pasti Datang, Antisipasi atau Ada Korban Dulu?
Pemenuhan terhadap standar baru sehingga demand vs supply juga terpenuhi pada bangunan baru yang akan dibangun relatif mudah. Meskipun masih sering ju
Dr. Ir. ABDULLAH, M.Sc., Dosen Jurusan Teknik Sipil pada Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala dan Ketua Komda HAKI Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
Hari-hari ini, dan juga hari-hari sebelumnya, berita tentang kejadian gempa terus mengisi kolom surat kabar dan media sosial lain di Indonesia maupun di luar negeri.
Banyak penyebab gagalnya konstruksi ketika bangunan tersebut mendapatkan guncangan gempa. Bisa karena: 1) desain kekuatan kurang mencukupi, atau 2) karena rendahnya kualitas mutu bahan dan kekuatan struktur bangunan dari yang direncanakan saat pelaksanaan pekerjaan, ataupun 3) penggunaan/fungsi bangunan berubah tanpa dilakukan penyesuaian kapasitas (memperkuat), dan bisa jadi disebabkan oleh 2 atau ke-3 alasan tersebut.
Sebagaimana hukum ekonomi, pada konstruksi bangunan berlaku juga: demand vs supply. Dalam konteks ilmu konstruksi maksudnya adalah kemampuan suatu konstruksi sangat tergantung pada beban yang bekerja. Ketika melakukan perencanaan seorang insinyur (engineer) akan mendapatkan terlebih dahulu beban yang diperkirakan akan bekerja pada suatu konstruksi. Selanjutnya, berdasarkan perkiraan beban tersebut direncanakan jenis dan mutu bahan, serta ukuran elemen struktur yang sesuai.
Gagal tidaknya suatu konstruksi ditentukan oleh besar kecilnya beban yang bekerja dibandingkan dengan kapasitasnya ketika difungsikan. Kapasitas dapat mengecil karena terjadi pengecilan ukuran besi tulangan dan atau pengecilan ukuran tampang beton terbangun. Pada saat kapasitas suatu konstruksi lebih kecil dari beban yang bekerja maka ia akan rubuh.
Secara ilmu pengetahuan, beberapa Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait dengan beban, bahan/material, pendekatan dalam perencanaan telah tersedia dan terus-menerus secara berkala dilakukan penyesuaian/penyempurnaan. Pendekatan terkait beban yang akan bekerja, termasuk beban gempa, telah diatur dalam beberapa standar terkait.
Pemenuhan terhadap standar baru sehingga demand vs supply juga terpenuhi pada bangunan baru yang akan dibangun relatif mudah. Meskipun masih sering juga dilanggar. Pada bangunan terbangun (existing) penyesuaian terhadap aturan/standar bangunan baru yang selalu lebih ketat dan sangat susah. Terutama dalam meyakinkan pemiliknya.
Tidak saja selalunya penyesuaian terhadap standar baru akan mengharuskan pemilik mengeluarkan biaya yang cukup besar agar bangunannya tetap kuat menghadapi guncangan gempa di masa yang akan datang, metode pekerjaannya, dikenal dengan 'retrofitting' atau 'strengthening' (perkuatan) sering kali juga mengharuskan pemilik/penghuni bangunan pindah selama masa pengerjaan.
Pada banyak kasus, pemilik bangunan berdempetan satu sama lain. Misalnya, pada kasus bangunan toko/ruko. Bisa jadi persepsi masing-masing pemilik terhadap keselamatan bangunan berbeda sehingga upaya untuk memperkuat bangunan menjadi lebih sulit.
Pada daerah/kawasan yang pernah mengalami beban gempa yang besar, apalagi diikuti dengan bencana kedua (secondary disaster) pekerjaan 'retrofitting' menjadi wajib karena bangunan sudah mengalami perlemahan berkali-kali. Contohnya, bangunan yang ada di sepanjang pantai barat dan pantai utara Sumatra, serta Kepulauan Nias. Pascagempa dahsyat 2004 dan diikuti oleh gelombang tsunami banyak bangunan gedung dan rumah di kawasan ini didapati struktur beton bertulangnya mengalami perlemahan yang cukup serius.
Beberapa bangunan, terutama milik pemerintah, ada yang sudah diperkuat struktur kolom bawahnya karena tulangan sudah berkarat. Namun, sepertinya masih banyak, terutama milik masyarakat / publik yang belum dilakukan apa pun sehingga perlu ditangani segera. Meskipun kebanyakan bangunan tersebut milik swasta, tetapi diakses oleh publik.
Berkaratnya tulangan yang terendam tsunami ini dapat diamati dengan jelas karena adanya rentetan kerusakan pada kolom tersebut:
1. terjadi retak dan membesar sejalan dengan bertambahnya waktu;
2. lepasnya selimut beton karena pembesaran dimensi tulangan oleh massa/volume karatan; dan
3. tulangan semakin mengecil bahkan ada yang sudah terputus oleh karatan.
Dalam perencanaan, kekuatan suatu struktur beton bertulang adalah kapasitas menahan beban yang bekerja dipikul bersama oleh beton dan besi tulangan. Porsinya, sangat beragam. Berkurangnya peran besi tulangan karena karatan tentu akan memperlemah struktur tersebut. Apalagi juga bersamaan dengan semakin kecilnya ukuran kolom beton.
Pada beberapa kasus, pemilik sudah coba menangani seadanya dengan menutup kembali tulangan yang sudah terlihat karena lepasnya selimut beton. Namun, penanganan seperti ini tidak sesuai untuk menghentikan proses karatan. Mungkin hanya dalam hitungan 1-2 tahun kemudian retak akan kembali muncul dan selimut beton akan kembali lepas serta tulangan sudah semakin mengecil.
Sayang sekali, pada saat masih tersedianya dana rehab-rekon di tahun 2005-2008 dulu fenomena ini tidak/belum terlihat dengan kasatmata sehingga dana yang begitu banyak hanya digunakan untuk bangun baru dan juga untuk perbaikan bangunan yang mengalami rusak fisik dan masih layak diperkuat.
Namun, bangunan yang rusaknya tidak terdeteksi tidak dilakukan sehingga bangunan yang saat ini kolom bertulang lantai dasarnya sudah mengalami penurunan kekuatan akibat karatan tidak tertangani.
Proses berkaratnya tulangan memang adalah fungsi waktu dan lingkungan. Saat tulangan sudah mulai berkarat maka kecepatannya akan cepat/ eksponensial. Karenanya, penurunan kekuatan struktur beton bertulang akan cepat setelah tulangan mulai berkarat.
Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti: Bunga R. (2022); Samsunan (2017); dan Syahriza F. (2013), dan lain-lain menunjukkan bahwa bangunan yang sudah terbangun sebelum tsunami 2004 dan terendam air gelombang tsunami karena berada di kawasan genangan, tulangan kolom bawahnya sudah mengalami karatan yang cukup parah. Bahkan, ada sebagian bangunan yang tulangan gesernya sudah terputus sehingga kapasitasnya berkurang drastis.
Perlu diingat bahwa sejumlah wilayah di Indonesia, seperti Aceh, Sumatra, dan sejumlah besar wilayah Indonesia, akan terus mengalami gempa, baik intensitas kuat, sedang, apalagi yang kecil karena gempa adalah kejadian alam yang akan berulang pada siklus waktu tertentu.
Perkuatan kolom bangunan yang besi tulangannya sudah mengalami karatan perlu segera dilakukan untuk mencegah kegagalan/runtuh dan kerugian material dan jiwa.
Berbagai metode perkuatan struktur beton bertulang saat ini sudah diperkenalkan dan terbukti cukup ampuh memperbaiki dan mengembalikan kekuatan/kapasitasnya.
Untuk bangunan di pantai barat, utara, dan sebagian pantai timur Aceh yang terdampak tsunami 2004 relatif hanya berlantai dua dan tiga, teknologi dan metode perkuatan yang ada saat ini tersedia sangat banyak. Mulai dari yang mahal hingga yang semua bahannya tersedia di pasar lokal. Seperti, misalnya, dengan memanfaatkan teknologi ferosemen (disertasi penulis, 2001). Apalagi kalau dikombinasi dengan penggunaan bata ringan.
Di negara yang berpotensi mengalami gempa besar, seperti Jepang, pekerjaan 'retrofitting' ini sudah menjadi tuntutan. Singapura dan Malaysia pun, mengambil sikap yang kurang lebih sama. Meskipun potensi terjadinya gempa di kedua negara tetangga ini kecil. Namun, gempa tahun 2004 lalu menjadi pembelajaran karena juga terasa guncangannya di sana.
Prinsipnya adalah memperbaiki dengan memperkuat akan jauh lebih murah dibandingkan dengan membangun baru. Apalagi ada potensi juga kehilangan jiwa akibat runtuhnya bangunan. Bangunan yang dikhawatirkan tidak sesuai lagi, baik karena penurunan kapasitas dan atau tidak sesuai lagi dengan standar/aturan baru serta adanya potensi ancaman gempa, maka langkah antisipasi yang dipilih adalah perkuatan. Kecuali, kalau biaya untuk perkuatan lebih besar dari 1/3 dari biaya membangun baru, maka pilihannya adalah bangun baru.
Cukuplah pengalaman di sejumlah wilayah dan negara lain menjadi pelajaran dan jangan ambil risiko.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.