Kupi Beungoh
MoU Helsinki Menurut Hukum Perjanjian Islam, Refleksi Memperingati 18 Tahun MoU Helsinki
Kendati nomenklatur ini memiliki bobot tertentu, tetapi dari segi hukum perbedaan dalam memilih ”diksi” ini tidak mengurangi hak dan kewajiban para pi
Oleh: M Yusuf Al-Qardhawy Al-Asyi SHI CPM MH*)
TERMINOLOGI perjanjian dalam hukum perdata Islam terdapat hubungan yang bersifat semantik dengan ash-shulhu, al-’aqdu, dan al-’ahdu. Ash-shulhu merupakan proses atau upaya menghilangkan konflik (perang, dan sebagainya) untuk melahirkan al-’aqdu (semacam perikatan), sedangkan al-’ahdu adalah hasil yang disepakati oleh subjek hukum tertentu terhadap suatu objek dalam bentuk perjanjian yang biasanya dilakukan secara tertulis.
Ketiga istilah ini tidak mempengaruhi substansi perjanjian, tetap menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak yang membuat perjanjian selama mereka sebagai subjek hukum yang sah. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyebutkan paling tidak ada 15 (lima belas) nomenklatur yang digunakan untuk suatu perjanjian yang berskala internasional, meliputi: treaty, convention, agreement, memorandum of understanding, protocol, charter, declaration, final act, arrangement, exchange of notes, agreed minutes, summary records, process verbal, modus vivendi, dan letter of intent.
Baca juga: Janganlah Tuan Melupakannya, In Memorial 13 Tahun Teungku Hasan Tiro
Kendati nomenklatur ini memiliki bobot tertentu, tetapi dari segi hukum perbedaan dalam memilih ”diksi” ini tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak.
Pada 15 Agustus 2005 silam, di Gedung Smolna Government Banquet Hall, Distrik Kaartinkaupunki, Helsinki (Filandia) yang dikenal juga dengan ”Yellow Salon” disepakati sebuah perjanjian penentu masa depan Aceh antara Pemerintah Republik Indonesia (PRI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Perjanjian dalam Islam selain memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dilakukan secara tertulis. Hal ini untuk mencegah para pihak agar tidak saling melanggar atau menafsirkan yang berbeda satu sama lain.
Perjanjian untuk mengakhiri suatu pertikaian antar dua kelompok merupakan sikap yang sangat mulia dan terhormat. Alquran dalam Surat Al-Hujurat ayat 10 menegaskan, ”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”.
Agar suatu perjanjian dapat berjalan sesuai harapan para pihak, maka Allah menyuruh kita untuk mematuhinya dengan baik atau tidak wanprestasi satu sama lain. Dalam Surat Al-Maidah ayat 1 Allah Swt tegaskan, ”Hai orang-orang yang beriman, penuhi akad-akad itu.” Rasulullah Saw bersabda, ”Perjanjian perdamaian dibolehkan sesama muslim, kecuali menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” (HR. Tirmizi). Ini artinya MoU Helsinki harus dilaksanakan secara jujur dan tulus oleh PRI dan GAM, tidak ada pihak yang melanggar walau hanya satu klausul.
Syarat-syarat Perjanjian
Sayyid Sabiq (1997:178-179) dalam kitabnya ”Fiqh Sunnah” menyebutkan bahwa secara garis besar paling tidak ada tiga syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: tidak menyalahi hukum agama (syariat), saling rela dan ada pilihan (tidak saling memberi tekanan dan menyepakati seluruh poin yang ada), dan harus jelas dan gamblang (isi perjanjian harus terang jangan sampai terjadi mulititafsir).
Sementara Hasbi Ash-Shiddieqy (1999:28-34) menjelaskan, agar suatu perjanjian mengikat secara hukum (legal and binding), maka harus terpenuhi hal-hal berikut: (1) kedua pihak cakap dalam membuat perjanjian; (2) adanya objek perjanjian; (3) isi perjanjian harus tertulis; (4) tidak bertentangan dengan norma-norm agama; (5) dilakukan oleh yang memiliki otoritas; (6) objek perjanjian harus memiliki manfaat; (7) sebelum seluruh isi perjanjian dilaksanakan para pihak dilarang menghentikannya; dan (8) tempat perjanjian terbuka.
Salim, dkk (2007:12) mengemukakan, suatu perjanjian tidak sah apabila terdapat unsur penipuan, kesalahan, pemaksaan, dan penyalahgunaan keadaan. Memperkuat argumen ini Djazuli (2000:211) menegaskan bahwa agar suatu perjanjian sah dan mengikat para pihak harus memenuhi kualifikasi berikut: (1) pelaku perjanjian memiliki kewenangan atau kekuasaan; (2) saling kerelaan (’an ta’aradhin); (3) isi perjanjian tidak bertentangan dengan norma-norma agama; (4) isi perjanjian harus tertulis; (5) penyebutan batas perjanjian; (6) seluruh isi perjanjian wajib ditaati para pihak.
Berdasarkan stipulasi-stipulasi ini dapat dijelaskan bahwa MoU Helsinki antara PRI dan GAM sudah memenuhi syarat sebagai yang mewakili subjek hukum masing-masing. Kita berharap para pihak mematuhi dan menjalankan/melaksanakan seluruh poin-poin yang sudah disepakati dengan baik agar tidak dimanfaat oleh ”agitator” dan ”provokator” untuk menggiring Aceh kembali bergejolak.
Secara praksis suatu perjanjian biasanya lazim dilanggar oleh yang memiliki kekuatan plus, seperti pemerintah atau mereka yang merasa diri super power. Seluruh isi MoU Helsinki kemudian dia artikulasikan dan diasersikan dalam sebuah norma yuridis (dalam hukum internasional modern dikenal dengan istilah ”ratifikasi”) berupa Undang-Undang 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
MoU Helsinki adalah perjanjian yang sah dan mengikat para pihak menurut hukum perjanjian Islam, oleh karenanya tidak boleh ada anasir atau pihak manapun dapat melanggar apalagi mengkhianatinya. Semua klausul yang belum dilaksanakan dan diterapkan harus menjadi perhatian serius PRI agar damai Aceh tidak terusik, antara lain adalah persoalan bendera, batas Aceh, masalah pertanahan, kewenangan Aceh, dan lain-lain.
Sejarah MoU Helsilnki
Dalam konsideran UU Nomor 11 Tahun 2006 dinyatakan bahwa salah satu faktor antara PRI dan GAM bersedia menyelesaikan konflik Aceh melalui pendekatan soft power adalah karena gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Atas desakan banyak pihak dalam negeri dan dunia internasional mereka bersedia menyelesaikan politik Aceh melalui meja perundingan.
Sebelum ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, proses untuk malahirkan Kesepakatan ini melalui proses yang cukup panjang dan menegangkan. Proses Damai Aceh sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 2000 yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC), sebuah organisasi internasional yang berbasis di Jenewa, Swiss yang kemudian melahirkan Jeda Kemanusiaan I dan II (Joint Understanding of Humanitarian Pause for Aceh), namun hasilnya tidak sesuai harapan.
Di negara dan lembaga yang sama, dua tahun kemudian ditandatangani Cessation of Hostilities Agreement (CoHA), tepatnya 9 Desember 2002 para pihak membentuk Joint Security Council (JSC), lagi-lagi hasilnya tidak jauh beda dengan Jeda Kemanusiaan I dan II. Kegagalan demi kegagalan ini terus menimbulkan simpati dunia internasional sehingga mereka mencoba menggiring PRI dan GAM mengadakan perundingan di Tokyo pada 17 Mei 2003.
Pihak PRI mengajukan tiga syarat sebelum perundingan berlangsung, yakni: GAM harus mengakui NKRI - menerima otonomi khusus sesuai UU Nomor 18 Tahun 2001 - dan meletakkan senjata, namun pihak GAM menolak tawaran tersebut, akhirnya Presiden Megawati Soekarno Putri membatalkan perundingan, dan pada 19 Mei 2003 mengumumkan Darurat Militer untuk Aceh. (Darmansjah Djumala, 2013:134).
Kebijakan Pusat ini tidak mampu meredam gejolak di Aceh kendati dua kali memperpanjang status Darurat Militer (dari 19 Mei – 19 November 2003 dan 19 November – 19 Mei 2004), korban kedua belak pihak dan masyarakat terus berjatuhan. Dilanjutkan Darurat Sipil dari 9 Mei 2004 hingga berakhir ketika gempa tektonik disusul gelombang tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004 yang mengakibatkan lebih 200 ribu orang meninggal dunia.
Melihat kondisi Aceh seperti ini dan atas desakan banyak pihak, akhirnya bersedia berunding di Helsinki yang dimediasi oleh NGO Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia kesepuluh (1994-2000). Semoga damai abadi lestari di Tanah Rencong ini, MoU Helsinki tidak ada yang ingkari. Aamiin.
*) PENULIS adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum USK Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.