Berita Kutaraja

Miris! Makian dan Bahasa Kotor hingga Hoaks Hiasi Medsos di Aceh, Bertentangan dengan Adat Istiadat

“Itu menandakan bahasa ‘teumeunak’ telah dilawan sejak dulu oleh endatu kita,“ sambungnya.

Penulis: Masrizal Bin Zairi | Editor: Saifullah
Tangkap Layar Youtube SERAMBINEWS
Komisoner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh, Teuku Zulkhairi, MA 

Laporan Masrizal | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Banyak pengguna media sosial (medsos) di Aceh, Belakangan ini kerap menggunakan bahasa-bahasa kotor (teumeunak) dan berita hoaks sebagai konten.

Kondisi ini telah membuat masyarakat resah mengingat pengguna medsos tersebut memiliki banyak pengikut yang juga orang Aceh. 

Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh, Dr Teuku Zulkhairi angkat suara soal ini karena dinilai sudah sangat menganggu.

Zulkhairi mengajak netizen Aceh untuk menghindari penggunaan bahasa-bahasa kotor atau ‘teumeunak’ dan hoaks dalam memproduksi konten-konten di medsos, khususnya platfom TikTok yang sangat digemari generasi millenial. 

“Orang tua-orang tua di Aceh dulu sangat marah jika mendengar anak-anaknya menggunakan bahasa-bahasa ‘teumeunak’ dan caci maki di ruang publik," katanya melalui siaran pers kepada Serambinews.com, Sabtu (2/9/2023).

"Bisa-bisa orang-orang tua dulu di kampung akan menghukum anaknya yang ‘teumeunak’ dengan ‘menarok cabe’ di mulut sang anak yang suka ‘teumeunak’ sebagai bentuk hukuman,” urai dia.

“Itu menandakan bahasa ‘teumeunak’ telah dilawan sejak dulu oleh endatu kita,“ sambungnya.

Untuk itu, Zulkhairi mengajak semua pihak, terutama kalangan muda Aceh untuk berjuang melawan berita-berita hoaks karena bertentangan dengan fatwa ulama Aceh, termasuk bahasa ‘teumeunak’.

Karena bahasa yang mengandung unsur caci maki sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai syari’at dan budaya Aceh yang telah lama menjadi mengisi ruang peradaban Aceh.

Dari amatannya, Sekjen Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh ini menilai, selama ini telah terjadi keanehan di dunia media sosial di mana konten-konten ‘teumeunak’ cenderung digandrungi oleh netizen. 

"Padahal itu tidak sejalan dengan budaya Aceh yang luhur dan santun dalam lisan,” tutur dia.

“Kalau kita perhatikan di TikTok, terdapat akun-akun yang sangat eksis memproduksi konten-konten ‘teumeunak’, saling hujat dan pembunuhan karakter pihak lain," ungkapnya.

"Dan anehnya itu sangat digemari. Padahal seharusnya ruang media sosial itu menjadi sarana silaturahmi, diskusi dan hal-hal yang konstruktif oleh sesama anak bangsa," ujar Zulkhairi.

Zulkhairi juga mengatakan, menghindari penggunaan bahasa-bahasa ‘teumeunak’ dan hoaks sangat penting dilakukan untuk menjaga nilai-nilai budaya Aceh yang Islami dan telah sekian lama dirawat dan dipertahankan oleh para endatu. 

Jangan sampai justru rusak sekarang di ruang media sosial seperti TikTok.

Selain itu, Zulkhairi juga mengajak netizen Aceh menjauhi bahasa-bahasa ‘teumeunak’ dan hoaks di media sosial untuk menjaga konsekuensi hukum, karena bisa saja melanggar UU ITE.  

Mengutip fatwa ulama Aceh, Zulkhairi mengajak semua elemen masyarakat Aceh untuk melawan penyebaran berita hoaks, baik di media sosial berdasarkan fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 6 Tahun 2018 yang melarang penyebaran berita hoaks.

Disebutkan dalam fatwa ini bahwa berita hoaks atau bohong adalah informasi/konten yang tidak sesuai dengan kenyataan dan/atau bertujuan untuk hal-hal yang negatif. 

Ciri-cirinya yaitu iInformasi/konten yang tidak jelas sumbernya, informasi/konten yang mengandung unsur fitnah dan tuduhan, informasi/konten yang disampaikan secara tidak proporsional. 

Ciri-ciri berikutnya yaitu informasi/konten yang mendiskreditkan seseorang, informasi/konten yang disampaikan dalam konteks 'penyesatan opini' atau 'ujaran kebencian' dan informasi/konten yang biasanya tidak diperdapatkan di media elektronik dan media cetak.

Dalam fatwa ini, kutip Zulkhairi, disebutkan bahwa hukum menciptakan hoaks dan menyebarkannya adalah haram dan bertentangan dengan hukum positif dan hukum adat. 

"Setiap orang yang mengetahui penyebaran berita bohong wajib melakukan pencegahannya. Dan setiap tindakan yang dapat merusak kehormatan dan kewibawaan orang lain adalah haram," ujarnya.

Zulkhairi juga mengungkapkan keprihatinannya bahwa ruang medsos yang tidak ada aturan.

Ia berharap agar Qanun Penyiaran Aceh yang secara jadwal akan dibahas tahun 2023 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) nantinya dapat memasukkan pembahasan tentang ini.

“Kita berharap aturan-aturan mencegah berita hoaks dan bahasa-bahasa ‘teumeunak’ dapat dibuat,” tukas dia.

“Misalnya dapat masuk melalui Qanun Penyiaran Aceh yang merupakan amanah dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA),“ harap Zulkhairi.(*)

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved