Citizen Reporter
Catatan Perjalanan ke Finlandia: Kampus yang Membahagiakan
Suara kapten di balik pengeras suara di kabin pesawat, membuat bulu kuduk saya berdiri. Sebentar lagi, saya akan tiba di Helsinki dan akan menggali il
ZUBIR, peserta Short Course “Curriculum Development for Climate Change Education” Finlandia dan Direktur Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe, melaporkan dari Helsinki, Finlandia
“This is captain speaking. We will be landing shortly. Welcome to Helsinki."
Suara kapten di balik pengeras suara di kabin pesawat, membuat bulu kuduk saya berdiri. Sebentar lagi, saya akan tiba di Helsinki dan akan menggali ilmu di negera yang memiliki mutu pendidikan terbaik di dunia ini.
Finlandia adalah negara yang juga paling dekat dengan Aceh. Setelah tidak kurang dari 29 tahun Aceh berperang dan bencana tsunami yang mahadahsyat pada 2004, dengan jurus dingin seorang Marti Ahtisaari, mediator dari Finlandia, mampu menyemai harapan untuk Aceh melalui Memorandum of Understanding atau yang paling akrab di telinga kita dengan kata “MoU Helsinki”.
Hujan menyambut kedatangan saya di Vantaa Airport. Saya bergegas ke imigrasi untuk pengecekan administrasi perjalanan. Tidak ada yang terlalu rumit ketika melewati imigrasi. Karena saya diundang oleh Universitas Tampere, saya menunjukkan surat undangan dan dalam waktu singkat saya diperbolehkan masuk negara Finlandia. “Enjoy in Finland,” ucap petugas imigrasi penuh bersahabat dan rasa terbuka.
Saya berada di Finlandia selama sepuluh hari dan akan mengikuti serangkaian kegiatan belajar di sini. Antara lain, berkunjung ke fakultas pendidikan, ke sekolah-sekolah dan berdiskusi dengan guru-guru, presentasi pengalaman Sukma Bangsa dalam hal pendidikan perubahan iklim, serta ikut kelas di kampus. Di luar dari itu, adalah agenda informal untuk menyelam ilmu sosial budaya.
Di edisi kali ini, saya akan berbagi pengalaman ketika berkunjung ke Fakultas Pendidikan Universitas Tampere. Saya tidak sendiri, tapi ada mahasiswa post-doctoral dari Aceh yang juga guru di Sukma Bangsa dan seorang guru dari Malaysia.
Kampus dipenuhi sepeda
Pemandangan pertama yang asing di mata saya adalah ada ratusan sepeda yang terparkir rapi di parkiran universitas. Mahasiswa di sini, pergi ke kampus menggunakan sepeda. Selain itu, umumnya mereka berjalan kaki.
Pertama kami kunjungi adalah ruang kerajinan tangan (kriya). Segala jenis, bentuk, model kerajinan tangan ada di sini. Mulai dari kerajinan tangan dari tanah liat, ragam boneka, keset kaki, gelang, gantungan kunci dari bahan kain, dan masih banyak lagi. Calon guru harus menguasai semua jenis kerajinan tangan.
Di ruangan ini juga ada mesin jahit, ada aktivitas menjahit dan produksi pakaian dari mesin jahit tersebut.
Kemudian, kami diajak ke ruang sebelahnya, yaitu ruang origami. Betapa terkesimanya saya ketika melihat ada ratusan bentuk origami yang sudah dibuat, digantung di dinding, di loteng, dan dipajang di lemari. Sangat indah ruangannya. Calon guru juga harus menguasai seni melipat kertas ala Jepang itu.
Bergerak lagi ke ruang sebelahnya, ada ruang seni lukis. Di sini banyak sekali hasil karya seni rupa dari calon guru. Terpajang di dinding atau tertata di atas meja. Menarik sekali, bukan? Calon guru bukan hanya belajar materi pelajaran, tapi juga karya seni dan ragam kreativitas.
Mereka menempatkan nilai seni dan kreativitas setara dengan matematika, sains, dan sosial humaniora. Di sekolah, anak yang menghasilkan karya seni akan dihargai sama atau setara dengan anak yang memiliki kemampuan (prestasi) matematika yang bagus. Si anak pun akan bangga dengan prestasi dalam bidang apa pun yang ia peroleh.
Lanjut ke ruang sebelahnya lagi, kami diajak ke laboratorium (lab) perkayuan. Ada bor tangan, bor mesin, dan semua peralatan yang berhubungan dengan perkayuan. Calon guru pun harus memiliki keterampilan dalam bidang perkayuan. Ada banyak sekali karya mahasiswa dari bahan kayu yang terpajang di lemari atau tertata di meja.
Di sebelah lab kayu, ada lab logam. Ini lebih ‘aneh’ lagi dalam kacamata kita di Indonesia. Calon guru juga harus menguasai keterampilan dalam hal ‘perbesian’. Harus bisa memotong besi, baik dengan gergaji atau dengan mesin, dan keterampilan lainnya.
Citizen Reporter
Penulis Citizen Reporter
Catatan Perjalanan ke Finlandia Kampus yang Membah
Zubir
Aplikasi 'Too Good To Go' Upaya Belgia Kurangi Limbah Makanan |
![]() |
---|
Kisah Sungai yang Jadi Nadi Kehidupan di Kuala Lumpur |
![]() |
---|
Mengelola Kehidupan Melalui Kematian: Studi Lapangan Manajemen Budaya di Londa, Toraja |
![]() |
---|
Saat Penulis Sastra Wanita 5 Negara Berhimpun di Melaka |
![]() |
---|
Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.