Opini
Disorientasi Pelatihan Guru
MENANTI paradigma baru peningkatan kualitas guru adalah sebuah harapan adanya perubahan paradigma atau katakan saja pola yang ideal, dalam rangka meni
Tabrani Yunis, Pengamat Pendididkan, Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Aceh
MENANTI paradigma baru peningkatan kualitas guru adalah sebuah harapan adanya perubahan paradigma atau katakan saja pola yang ideal, dalam rangka meningkatkan kualitas guru. Artinya, paradigma yang benar-benar mengubah kemampuan guru dari kurang kredibel menjadi kredibel atau bahkan lebih kredibel.
Harapan ini muncul disebabkan selama ini kualitas guru di tanah air bagai benang kusut. Mengapa demikian?
Banyak fakta memilukan tentang kualitas guru kita akibat salah urus. Ya, sistem pembinaan guru dalam meningkatkan kualitas guru di Indonesia belum mampu mengantarkan para guru atau pendidik kita meningkatkan kualitas profesi mereka sebagai guru yang berkualitas prima. Padahal, segala bentuk pelatihan guru telah dilakukan begitu banyak selama ini. Namun, tidak menjawab persoalan guru dalam menjalankan aktivitas pembelajaran di depan kelas.
Maka, layaklah bila banyak yang bertanya, mengapa masalah kualitas guru dari dahulu, hingga kini, belum pernah memberikan tanda-tanda yang progresif? Bayangkan saja, sudah berapa dekade upaya peningkatan kualitas guru diupayakan. Namun hasilnya belum menggembirakan.
SMERU sebuah lembaga riset di Jakarta pun menyebutkan, “Indonesia telah menyelenggarakan berbagai program pengembangan profesionalisme guru selama lebih dari empat dekade. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang diharapkan. Kompetensi profesional dan pedagogik guru masih di bawah standar (World Bank, 2015). Hasil pembelajaran siswa Indonesia masih rendah”.
SMERU menyebutkan bahwa upaya peningkatan kualitas profesional guru dengan ungkapan, “Satu langkah maju, dua langkah mundur”. Menurut Shintia Regina, penulis laporan SMERU itu menyebutkan terdapat kekurangan teknis dalam pengembangan profesionalitas guru serta tidak selarasnya sistem pendidikan Indonesia dengan kualitas guru. Kajian ini memang benar bila kita telusuri sejarah perjalanan program peningkatan kualitas guru di Indonesia.
Ya, program peningkatan kualitas guru yang sudah berlangsung beberapa dekade ini kelihatannya secara konseptual memang belum menemukan bentuk yang sesuai, juga tidak menjawab persoalan dan kebutuhan guru. Sehingga banyak yang tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Bila diidentifikasi lebih jauh, ada banyak persoalan yang terungkap.
Masalah pertama yang lebih mudah kita identifikasi adalah masalah yang menjadi faktor internal guru. Idealnya guru menjadi manusia pembelajar yang selalu bersemangat dan terdorong untuk melakukan upaya peningkatan kualitas diri (self development).
Secara internal, harus diakui bahwa semangat dan keinginan serta kemauan kebanyakan guru untuk melakukan self development, sangat rendah. Padahal, bila guru-guru memiliki kemauan yang kuat untuk melakukan upaya pengembangan diri penataran-penataran yang disediakan pemerintah itu sangat bagus untuk meningkatkan kualitas guru. Namun, sayang sekali karena niat ikut penataran bukan untuk pengembangan diri, tetapi untuk kepentingan lain di luar hal yang pokok ini.
Faktor kedua, berupa faktor eksternal, LPTK penyedia atau yang menyiapkan tenaga kependidikan sebelum diangkat menjadi guru. Pada proses awal penyiapan tenaga guru, kualitas calon guru yang dihasilkan oleh berbagai LPTK merupakan produk yang berkualitas rendah. Idealnya ketika dalam proses penyiapan buruk, bisa diintervensi dengan kegiatan in and on training seperti yang pernah dipraktikkan dengan model PKG.
Faktor ketiga, terkait dengan konsep pelatihan yang dirancang tidak didasarkan pada masalah dan kebutuhan guru menyukseskan pembelajaran mereka di sekolah. Artinya, pada tataran konsep saja sudah bermasalah, apalagi pada tataran pelaksanaan?
Faktor konsep pelatihan misalnya, dapat dikatakan bahwa konsep peningkatan kualitas guru tampak kehilangan bentuk secara konsep. Pada tataran konsep pelatihan, sejalan dengan perubahan kurikulum pada setiap pergantian menteri pendidikan, penataran guru pun ikut berubah, mengikuti perubahan kurikulum. Belum sempat menguasai hasil pelatihan, konsep lain muncul, konsep awal buyar lagi.
Kita yakin bahwa para guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah, baik yang sudah sering mendapat dan mengikuti kegiatan pembinaan guru, memiliki banyak hal yang sebenarnya mengganjal di pikiran. Namun tidak berani berbicara dan memberikan kritik atau saran agar semua program peningkatan kualitas guru benar-benar bisa meningkatkan kualitas guru yang selama ini menjadi masalah besar yang berdampak buruk terhadap wajah pendidikan. Ya, sudah nikmati saja.
Padahal, ketika kualitas input menjadi guru kurang baik, ketika diseleksi menjadi guru bisa ditingkatkan dengan basis kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan atau menyelesaikan masalah yang dihadapi guru dalam mengajar. Jadi harus diakui bahwa buruknya rupa kualitas pendidikan kita tidak terlepas dari buruknya kualitas pembinaan guru di negeri ini. Oleh sebab itu, para guru yang pernah dan sering ikut penataran atau pelatihan guru yang katanya untuk meningkatkan kualitas guru, harus punya kemauan untuk menyampaikan kepada pihak penyelenggara program agar serius dan jujur dalam melakukan kegiatan pembinaan dan peningkatan kapasitas guru di mana saja dan kapan saja.
Para guru yang memiliki banyak catatan atau cerita mengenai hal ini tidak boleh diam dan menikmati saja. Semua harus mau atau berani mengutarakan hal ini kepada orang lain, termasuk menulis di media. Tidak perlu terlalu banyak takut untuk kebaikan. Juga tidak perlu bermacam alasan. Apalagi saat ini Mendikbudristek sudah memproklamasikan kurikulum merdeka dan merdeka belajar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.