Opini
Perceraian, Fenomena Keluarga Modern
PERCERAIAN, dalam istilah fikih juga dikenal dengan talaq dan fasakh, merupakan pemutusan ikatan hubungan suam istri, baik ditetapkan oleh hakim (cera
Abdul Gani Isa, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum/Ketua Prodi Ilmu Agama Islam Pascasarjana UIN Ar-Raniry/Ketua BP4 Provinsi Aceh
PERCERAIAN, dalam istilah fikih juga dikenal dengan talaq dan fasakh, merupakan pemutusan ikatan hubungan suam istri, baik ditetapkan oleh hakim (cerai talaq), maupun karena ditinggal mati oleh salah satu pasangannya (cerai mati). Pada dasarnya, hukum Islam bermaksud membentuk satu unit keluarga yang harmonis, sejahtera dan langgeng, melalui ikatan pernikahan. Keluarga merupakan fondasi bangsa, institusi pertama dan utama pembangunan bangsa.
Untuk itu, Islam mensyariatkan nikah dengan tujuan mulia. Selain untuk mendapatkan keturunan dan menjaga diri dari yang haram, nikah juga bermaksud untuk menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang di antara kedua pasangan. Meski demikian, tidak setiap pasangan suami istri mampu mewujudkan apa yang dicita-citakan bersama.
Bahkan tidak sedikit bahtera rumah tangga mereka yang karam dihantam gelombang kehidupan. Islam tidak memandang persoalan ini sebelah mata, sebagaimana ia menganjurkan pemeluknya untuk menikah, ia juga memberi solusi ketika pernikahan tidak bisa dipertahankan lagi.
Talak dan cerai adalah jalan keluar. meski itu adalah pilihan paling sulit, sebisa mungkin ia dihindari. Namun Islam memberi jalan keluar apabila ia dapat menjadi jalan atau solusi terbaik bagi kemaslahatan keduanya.
Tingginya angka perceraian baik di tingkat nasional maupun daerah, menunjukkan salah satu ciri keluarga modern. Bahkan tidak bisa dinafikan, bahwa kasus istri menggugat suami sangat menonjol, dibandingkan dari pihak suami yang menceraikan istrinya. Seperti yang terjadi di beberapa kabupaten kota di Aceh, misalnya di Aceh Tengah, Aceh Utara, Pidie, Banda Aceh dan lain-lain.
Bila merujuk pada Alquran, seharusnya setiap pasangan yang sudah melangsungkan akad nikah semaksimal mungkin berupaya mempertahankan keutuhan keluarganya: “Wa akhazna minkum mitsaqan ghaliza” (calon istri telah mengambil sebuah perjanjian darimu (calon suaminya), sebuah perjanjian yang sangat kuat dan kokoh)(QS, An-Nisa: 21), artinya setelah terjadi ijab qabul, tidak ada lagi trial and errol, masing-masing pasangan bertekad membangun keluarga untuk seumur hidup.
Penyebab perceraian
Pada prinsipnya, setiap pasangan yang melangsungkan akad nikah, sejak awal sampai akhir hayatnya mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Namun dalam perjalanan tidak semua keluarga bernasib sama, ada keluarga yang bahagia sakinah, mawaddah, warahmah, (Q.s Ar-Rum:21) dan ada pula yang disharmoni, diliputi suasana konflik, bahkan sampai ke Pengadilan/Mahkamah, yang berakhir dengan “perceraian”.
Faktor yang memicu terjadinya konflik dalam sebuah keluarga, secara umum tidak terlepas dari tiga hal, yaitu: (1) Belum optimalnya pemahaman dan pengamalan ajaran agama Islam dari masing-masing calon suami istri. Hal ini bisa karena kurang ilmu sebagai bekal awal berumah tangga, adab dan hukum-hukum yang harus diketahui oleh pasangan calon suami istri; (2) Pola hidup dan tingkat kesejahteraan keluarga muslim cenderung konsumtif. Hal ini bisa dipicu oleh pengaruh keluarga lain, memiliki serba ada tanpa menilai kemampuan diri sendiri, hal ini bisa diperburuk karena ketidaksabaran; serta keringnya nilai qanaah. (3) Dampak globalisasi dan modernisasi menyebabkan keutuhan keluarga menjadi goyah.
Jika merujuk kepada data perceraian yang diterbitkan oleh Mahkamah Syar’iyah Aceh dapat diketahui bahwa angka perceraian di Provinsi Aceh meningkat dari tahun ke tahun. Dari data tersebut diketahui bahwa angka perceraian di Aceh pada tahun 2008 mencapai 2,362 kasus atau 6 persen dari total peristiwa nikah sebanyak 42,758 peristiwa,.
Pada tahun 2009 angka perceraian menjadi 2,555 atau 6
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.