Kupi Beungoh
Orang Papua Anggap Aceh sebagai Saudara Tua
Pembangunan di Pulau Jawa-Bali sangat kontras dibandingkan dengan provinsi di ujung timur (Papua) dan ujung barat (Aceh).
Oleh: Hasan Basri M. Nur*)
Sepertinya, orang Aceh ada tempat khusus di hati orang Papua.
Sambutan orang Papua terhadap tamu yang datang dari Aceh tampak berbeda.
Orang Papua menganggap orang Aceh sebagai saudara tua.
“Selamat datang saudara tua”, kalimat singkat ini terdengar sayup-sayup di antara kerumunan orang ketika delegasi dari Aceh disambut oleh sejumlah muda-mudi Papua memasuki ruang pertemuan di Suni Lake Hotel di Sentani, Kabupaten Jayapura.
Tidak hanya itu, applaus menggelegar dari orang Papua tatkala saya dari Aceh berbicara mengenai agama (iman) sejumlah elite Indonesia yang seakan tidak selaras antara perkataan dan perbuatan.
Aktivitas orang Indonesia dimulai dan diakhiri dengan agama.
Dalam setiap kegiatan, terdapat rangkaian kalimat puja-puji kepada Tuhan, selawat kepada Nabi hingga pembacaan kitab suci.
Mereka pun mengakhiri kegiatan dengan doa atas nama Tuhan.
Terkesan, mereka semua sebagai orang-orang yang taat dan takut akan pelanggaran norma-norma agama.

Tak Takut Langgar Sumpah
Lebih dari itu, saat pelantikan seseorang pada jabatan tertentu, maka aka nada seremoni pengambilan sumpah nama agama dan Tuhan.
Mereka secara suka rela bersedia diambil sumpah oleh hakim agama bahwa mereka akan berbuat adil, amanah dan tidak akan melanggar sumpah yang telah diucap dengan penuh kesadaran.
Lalu, bagaimana dengan perbuatan mereka saat berkuasa?
Apakah mereka mengamalkan ajaran agama, terutama tentang larangan melakukan tindakan korupsi, menipu dan berkhianat pada rakyat yang telah memberi mandat?
Faktanya adalah terjadi kesenjangan pembangunan dalam wilayah Republik Indonesia.
Pembangunan di Pulau Jawa-Bali sangat kontras dibandingkan dengan provinsi di ujung timur (Papua) dan ujung barat (Aceh).
Sangat banyak jalan antarkabupaten/kota dan antarprovinsi di Pulau Papua yang tidak (belum) terhubung.
Untuk menjangkau daerah-daerah di Papua, mereka harus naik boat/feri atau pesawat.
Hanya di era kepemimpinan Presiden Jokowi sebagian jalan penghubung antarkabupaten mulai dirintis.
Konsekuensi tidak tersedia jalan, maka mereka harus mengeluarkan biaya transportasi udara yang sangat mahal (via udara) atau waktu yang lama (via laut).
Tidak tersedia infrastruktur yang memadai ikut memacu tingginya angka kemiskinan di Bumi Cenderawasih.
Angka kemiskinan di Papua berada pada 26,03 persen per Maret 2023 (www.papua.bps.go.id).
Angka tersebut menempatkan Papua pada peringkat pertama provinsi termiskin di Indonesia.
Sebagaimana Papua, Aceh tergolong tertinggal dalam pembangunan nasional.
Sangat sedikit proyek strategis nasional yang bernilai ekonomis di Aceh.
Contohnya, proyek Jalan Tol Trans Sumatera jatah wilayah Aceh hanya dikerjakan secuil dari ruas jalan nasional, yaitu hanya ruas “Sibanceh” dari Aceh Besar ke Pidie serta sebagian Langsa untuk terhubung dengan Sumut.
Sementara ruas jalan tol dari Sigli ke Langsa dipastikan dicoret dari Proyek Strategis Nasional (PSN) alias tidak dilanjutkan.
Pembatalan ruas tol dari Sigli ke Langsa ini diyakini tidak akan memacu pertumbuhan ekonomi Aceh.
Baca juga: Mahasiswa Papua di Unimal Sambangi Mapolres Lhokseumawe, Bincang-bincang Soal Kampus dengan Kapolres
Baca juga: Lukas Enembe Minta Dibebaskan dari Dakwaan: Saya Gubernur Papua yang Bersih dan Jelas
Kesenjangan pembangunan serta sejumlah diskriminasi politik telah menyebabkan Aceh dan Papua bergejolak.
Di Aceh beberapa kali muncul perlawanan terhadap RI, mulai dari Gerakan DI/TII (1953-1962) hingga Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 1976-2005.
Demikian pula di Papua muncul Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mengampanyekan pemisahan Papua dari RI sejak 1963.
Beda dengan GAM yang sudah menerima perdamaian dengan RI melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005, OPM masih tetap bergerilya menuntut kemerdekaan.
Gejolak dan perlawanan di Aceh lebih dahulu (tua) terjadi dibanding gejolak di Papua.
Mungkin atas dasar inilah Aceh dianggap sebagai saudara tua bagi Papua. Na saja.
Disinyalir karena terdapat beberapa persamaan nasib tersebut, orang Papua menganggap Aceh sebagai saudara tua yang harus dimuliakan.
Curhat Saudara Muda
Akan tetapi, pada dasarnya, orang Papua tampak senang menjadi bagian dari RI.
Ini terbukti dari beberapa “curahan hati saudara tua” dari delegasi Papua dalam Konferensi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Sentani, Jayapura, pada 23-26 Oktober 2023.
Selain soal kesenjangan pembangunan ekonomi, beberapa tokoh Papua juga menyoroti tentang mutu pendidikan di Papua yang sulit bersaing di pentas nasional.
Untuk mengatasi masalah tersebut, tokoh Papua meminta Pemerintah Pusat agar membantu pembangunan sekolah unggul berasrama untuk anak-anak Papua yang merata di tiap daerah (kabupaten).
Andai dua kementerian yang mengurusi sektor pendidikan yaitu Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama membangun masing-masing sekolah/madrasah berasrama yang unggul bersandar nasional di tiap kabupaten/kota di Papua, maka daya saing SDM generasi muda Papua akan teratasi dalam waktu yang tidak lama.
Artinya, persoalan ketertinggalan mutu pendidikan di Papua tidak serta merta diserahkan penanganannya pada Pemernitah Daerah Papua semata, sementara Pusat lepas tangan.
Nah, elite negara Indoesia yang semuanya mengaku sebagai orang beragama dan rela disumpah atas nama Tuhan, sejatinya memiliki komitmen untuk membantu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa diskriminatif, manipulatif dan koruptif.
Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kelima yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam Pancasila bukan hanya untuk dihafal dan disampaikan dalam pidato politisi/pejabat sampai berbusa mulut, melainkan dinantikan benar-benar diimplementasikan sehingga terwujud keadilan yang merata dan ikut dirasakan oleh penduduk yang tinggal di pedalaman Papua dan Aceh.
Pengamalan ajaran agama dalam aksi nyata dipandang ampuh dalam mengatasi krisis kepercayaan penduduk Indonesia, terutama yang tinggal berjauhan dari pusat kekuasaan terhadap para elite Indonesia masa mendatang.
Menghadapi momentum Pemilu dan pergantian kepemimpinan nasional pada 2024, orang Papua dan seluruh penduduk Indonesia mengharapkan elite Indonesia bersedia mengamalkan ajaran agama yang melarang manipulatif, diskriminatif dan koruptif.
Sebaliknya, keadilan sosial dan keadilan hukum harus ditegakkan dengan tanpa memandang suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Semoga!
Jayapura, 27 Oktober 2023
*) PENULIS Hasan Basri M. Nur adalah Dosen Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam di UIN Ar-Raniry Banda Aceh, email: hasanbasrimnur@gmail.com.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.