Kajian Kitab Kuning
Pergi dari Sigli ke Banda Aceh untuk Nonton PKA, Bolehkan Jamak Shalat? Pahami Dalilnya
Ada ribuan orang yang datang sebelum Magrib, dan mereka tetap berada di lapangan saat azan magrib berkumandang hingga selesainya acara pembukaan
Habis masa musafir dengan kembalinya kepada tempat tinggal menetap seseorang, meskipun ia hanya melewatinya saja, atau dengan sebab sampai ke tempat lain, dimana dia meniatkan menetap di tempat itu secara mutlaq atau empat hari penuh atau ia memaklumi bahwa ia selesai keperluannya dalam empat hari penuh.(Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in: II/101-102)
Hukum jamak shalat tidak dalam keadaan musafir
Adapun hukum jamak shalat tidak dalam keadaan musafir dapat disimak penjelasan Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab berikut:
(فَرْعٌ) فِي مَذَاهِبِهِمْ فِي الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ بِلَا خَوْفٍ ولا سفر وَلَا مَرَضٍ: مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ وَالْجُمْهُورِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ طَائِفَةٍ جَوَازَهُ بِلَا سَبَبٍ قَالَ وجوزه بن سِيرِينَ لِحَاجَةٍ أَوْ مَا لَمْ يَتَّخِذْهُ عَادَةً
Masalah mazhab ulama tentang jamak shalat pada waktu hazhir (tidak musafir) tanpa faktor ketakutan, musafir dan sakit, yakni mazhab kita (Mazhab Syafi’i), Mazhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan jumhur ulama berpendapat tidak boleh.
Namun Ibnu al-Munzir menceritakan pendapat dari sekelompok ulama yang mengatakan boleh dengan tanpa sebab apapun.
Ibnu Siriin membolehkannya karena kebutuhan atau selama tidak menjadikannya sebagai suatu kebiasaan. (Majmu’ Syarah al-Muhazzab IV/264)
Juga penjelasan Imam al-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin:
وَقَدْ حَكَى الْخَطَّابِيُّ عَنِ الْقَفَّالِ الْكَبِيرِ الشَّاشِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ جَوَازَ الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ اشْتِرَاطِ الْخَوْفِ، وَالْمَطَرِ، وَالْمَرَضِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ مِنْ أَصْحَابِنَا
Al-Khathabiy sungguh telah menceritakan dari al-Qafal al-Kabiir al-Syaasyii dari Abu Ishaq al-Marwaziy boleh jamak pada waktu hazhir (tidak musafir) karena ada kebutuhan tanpa disyaratkan ada ketakutan, hujan, dan sakit.
Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu al-Munzir dari pengikut Syafi’i. (Raudhah al-Thalibin I/401)
Sesuai dengan penjelasan al-Nawawi di atas, bahwa jumhur ulama, termasuk di dalamnya imam mazhab empat berpendapat jamak shalat shalat tanpa faktor musafir, hujan, ketakutan, dan sakit, tidak dibolehkan.
Dengan demikian pendapat yang mengatakan boleh jamak shalat hanya karena hajat (kebutuhan) atau selama tidak menjadi kebiasaan bertentangan dengan mazhab yang empat dan jumhur ulama.
Al-Ruyaaniy telah menyebut pendapat ini sebagai pendapat ghalzun (tersalah) (Bahr al-Mazhab II/350).
Pendapat ini juga bertentangan dengan hadits Nabi SAW berbunyi:
من جمع بين صلاتين من غير عذر فقد أتى بابا من أبواب الكبائر
Barangsiapa yang melakukan jamak antara dua shalat dengan tanpa ‘uzur, maka dia telah mendatangkan pintu dari pintu-pintu dosa besar. (H.R. al-Turmidzi, al-Baihaqi dan lainnya)
Setelah menolak pendapat yang mengatakan boleh jamak shalat hanya karena hajat (kebutuhan) atau selama tidak menjadi kebiasaan dengan mengemukakan dalil-dalilnya, Ismail al-Zain (W. 1382 H), seorang ulama mazhab Syafi’i mutaakhirin, menyimpulkan:
إذا علم هذا فما عليه أئمة المذاهب الأربعة هو المعتمد وهو الذي يدين الله به من يريد الاستبراء للدين وما سوى ذلك لا يعول عليه ولا يجوز اعتماده ولا تقليد قائله
Kajian Kitab Kuning
Tgk Alizar Usman MHum
alizar usman
hukum jamak shalat
syarat jamak shalat
jarak tempuh jamak shalat
Pekan Kebudayaan Aceh (PKA)
Serambi Indonesia
Serambinews
Anak Melawan Ayah Demi Membela Ibu, Apakah Termasuk Durhaka? Ini Hukumnya Menurut Tgk Alizar Usman |
![]() |
---|
Hadiri Resepsi Pernikahan Orang Tanpa Diundang, Bagaimana Hukumnya Dalam Islam? |
![]() |
---|
Memahami Sudut Pandang Takdir |
![]() |
---|
Orang Gila Juga Menikah |
![]() |
---|
Hukum Menggunakan Obat Penunda Haid untuk Ibadah Haji, Umroh hingga Puasa Ramadhan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.