Opini

Jejak Perdagangan Rempah di Aceh

DALAM rangka menyambut Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 yang mengangkat tema ‘Rempahkan Bumi Pulihkan Dunia’, penulis terinspirasi menulis kilas balik perda

Editor: mufti
zoom-inlihat foto Jejak Perdagangan Rempah di Aceh
IST
Sara Rahma Dela, Peneliti di Yayasan Asyraf Aceh Darussalam

Pada umumnya komoditas rempah-rempah tersebut diekspor ke Pulau Pinang.
Daerah Aceh terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak dahulu.

Rempah Aceh mendunia

Aceh pernah mengalami era kejayaan lewat jalur rempah sehingga membuatnya tercatat dalam peta perdagangan global. Kekayaan rempah yang dihasilkan Aceh seperti lada dan rempah lainnya yang mendunia di masa itu, menjadikan wilayah ini tujuan kedatangan banyak bangsa. Aceh yang telah menjalin hubungan dagang dengan berbagai bangsa, mempunyai hubungan timbal balik dengan dunia luar yang telah memberikan pengaruh yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Golongan Arab datang ke Aceh berdasarkan tipologi nisan tertua yang ditemukan di Kesultanan Samudera Pasai sekitar abad ke-8 H, dimana keberadaan koloni arab tersebar baik di pantai utara, timur, selatan dan barat Aceh. Tetapi apabila melihat catatan Sulaiman As Sirafi, para pedagang Arab telah melakukan perdagangan di Nusantara jauh sebelum Islam datang.

Berdasarkan sejumlah referensi, ada beberapa pelabuhan tua di Arab yang telah memiliki koneksi dagang dengan Aceh khususnya pada masa Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam. Sejumlah pelabuhan tua di Arab yang memiliki hubungan dagang dengan wilayah Aceh ialah pelabuhan Mocha dan Aden (Yaman), pelabuhan Masqat (Oman), pelabuhan Baghdad (Irak) dan pelabuhan Jeddah (Saudi Arabia).

Para pedagang Arab melirik keberadaan rempah-rempah Aceh sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu. Mereka mengekspor berbagai macam rempah Aceh terutama lada dan mengimpor beberapa jenis komoditas terutama Jaddam dan Luban (Kemenyan Arab).

Di antara tokoh Aceh keturunan Arab yang dahulu sangat terkenal dalam berdagang lada di Nusantara dan juga perdagangan global ialah Sayid Husein bin Abdurrahman Aidid.

Beliau adalah pedagang Aceh yang berhijrah ke Pulau Pinang dan membangun jaringan bisnisnya serta menjadi saudagar terkaya di sana. Bahkan kerajaan Inggris pernah meminjam ke Sayid Husein sebesar $50.000 spanish dollar ketika mengalami krisis keuangan di Pulau Pinang, sehingga kerajaan Inggris menyebut beliau sebagai Price of Merchant.

Selain Sayid Husein Aidid, Lebai Dapa adalah pedagang keturunan Arab lainnya yang menjadi jutawan berkat usaha perdagangan rempah-rempah di Pantai Barat Selatan Aceh. Selain pedagang Arab, tentunya peranan pedagang lokal dan pedagang bangsa lainnya juga turut menjadikan sejumlah pelabuhan di Aceh menjadi pelabuhan-pelabuhan lada terbesar pada masa itu.

Beranjak dari latar sejarah ini tidak mengherankan apabila pemerintah Indonesia mengusung program strategis nasional bertajuk rekonstruksi dan revitalisasi jalur rempah Nusantara untuk memperkuat posisi diplomasi geoekonomi dan geopolitik Indonesia di kancah internasional.

Rekonstruksi jalur rempah Nusantara ditargetkan pada tahun 2024 mendatang dapat diakui dan ditetapkan sebagai World Heritage Memory oleh UNESCO. Sementara program revitalisasi lebih diarahkan untuk membangkitkan kembali kejayaan perdagangan rempah tempo dulu melalui konsep pengembangan destinasi wisata jalur rempah.

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved