Kebudayaan Aceh Tamiang

Pelintau, Silat Warisan Budaya tak Benda yang Terinspirasi dari Alam Liar

Silat Pelintau merupakan salah satu kebudayaan Aceh Tamiang yang sudah tercatat sebagai Warisan Budaya tak Benda (WBTB)

Penulis: Rahmad Wiguna | Editor: IKL
Dok Probadi
Muntasir Wan Diman memastikan silat Pelintau berbeda dengan silat lainnya karena lebih mengusung konsep tunduk ajar. 

SERAMBINEWS.COM, KUALASIMPANG – Silat Pelintau merupakan salah satu kebudayaan Aceh Tamiang yang sudah tercatat sebagai Warisan Budaya tak Benda (WBTB) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Keunikan silat ini terletak dari asal usulnya yang terinspirasi dari kehidupan alam liar.

Pelintau merupakan gabungan bahasa melayu Tamiang, Pelin yang bermakna semua, tau yang berarti paham atau tahu. Bila digabung, Pelintau memiliki makna semua tahu.


“Artinya walaupun silat ini tidak ada yang mengjarkan, tapi semua bisa tahu kalau didapat atas kehendak alam,” kata pemerhati budaya Aceh Tamiang, Muntasir Wan Diman, Jumat (8/12/2023).

Baca juga: Tiga Kebudayaan Aceh Tamiang Telah Tercatat Sebagai Warisan Budaya tak Benda


Dulu kata dia, kehidupan leluhur sangat dekat dengan alam. Bahkan bentuk bangunan rumah ketika itu bubungnya harus sejalan dengan sungai. Identik rumah pada masa itu tinggi atau rumah panggung.


“Karena semua rumah tinggi, jadi bisa melihat jauh ke alam liar. Di situlah orang kala itu melihat perkelahian antar-hewan buas,” terang Muntasir.


Setiap gerak hewan yang berkelahi itu menjadi pemandangan rutin yang belakangan mengilhami masyarakat untuk dijadikan seni bela diri. “Tentunya tidak semudah itu, karena harus melalui proses semedi, makanya Pelintau ini tidak ada yang mengajarkan, didapat dari alam,” ujarnya mengulangi.

Baca juga: Kebudayaan Aceh Tamiang Berbeda dengan Daerah Lain, Pantun Tamiang ‘Tabu’ Disahuti Cakep


Meski olah gerak didapat dari perkelahian hewan buas, Munstasir menegaskan Pelintau bukan jenis silat perkelahian atau cabang olah raga. Pelintau lebih kepada seni membela diri.


“Pelintau bukan silat laga, tidak pernah menyerang, dia menunggu, lebih cenderung tunduk ajar,” ujarnya.


Saat ini kelestarian Pelintau masih terus terjaga karena selalu dihadirkan dalam setiap kegiatan resmi dan sakral, termasuk pada acara pernikahan. Bahkan gerakan pada acara pernikahan dikatakan Muntasir memiliki makna dan pesan dalam.


Salah satu gerakannya ialah merebas tebang pohon pisang. Maknanya ialah menggambarkan perjuangan orang tua zaman dulu dalam membuka hutan untuk membangun negeri.


“Kaitannya sangat kuat karena pengantin akan membangun rumah tangga, semua laki-laki harus menjadi pendekar dalam rumah tangga, menjaga anak, istri dan harta,” ungkapnya. (mad)

Baca Selanjutnya: Tengku tinggi makam sepanjang tujuh meter diyakini ulama penyebar islam pertama di aceh tamiang

Baca Selanjutnya: Pemerintah pusat harus dukung kelestarian melayu di aceh

Baca Selanjutnya: Cegah alih fungsi aceh tamiang perlu bentuk tim cagar budaya

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved