Kebudayaan Aceh Tamiang
Kebudayaan Aceh Tamiang Berbeda dengan Daerah Lain, Pantun Tamiang ‘Tabu’ Disahuti Cakep
Meski sepintas sama, pantun Tamiang dinilai lebih memiliki cakupan luas yang bermuara menjaga etika dan adab.
Penulis: Rahmad Wiguna | Editor: IKL
Laporan Rahmad Wiguna | Aceh Tamiang
SERAMBINEWS.COM, KUALASIMPANG – Pantun bagian budaya yang tidak terpisahkan dengan masyarakat Aceh Tamiang. Melalui pantun, kritikan dan sindiran bisa disampaikan secara santun tanpa menyinggung pihak lain.
Tingginya kedudukan pantun di kultur masyarakat Aceh Tamiang menjadikan kebudayaan khas melayu ini selalu ditampilkan dalam setiap kegiatan resmi dan sakral. Mulai dari aktivitas di pemerintahan daerah hingga hajatan pernikahan, pantun akan selalu hadir dan menjadi daya tarik.
Baca juga: Musim Kampanye, Pj Bupati Aceh Tamiang Ingatkan tidak Memasang APK di Sembarang Tempat
Pemerhati kebudayaan Aceh Tamiang, Muntasir Wan Diman menegaskan kalau pantun di daerah ini berbeda dengan daerah lain. Meski sepintas sama, pantun Tamiang dinilai lebih memiliki cakupan luas yang bermuara menjaga etika dan adab.
“Pantun Tamiang tidak bisa sembarangan, harus penuh adab dan menjaga etika. Tetap indah didengar dan lembut walau isinya kasar,” kata Muntasir, kepada serambinews.com, Rabu (6/12/2023).
Dalam sejarahnya, para orang tua Tamiang di masa lalu menggunakan pantun sebagai alat komunikasi, informasi hingga sindiran dan kritikan. Namun karena bahasa dan gaya yang disampaikan santun, kritikan dan sindiran ini tidak pernah membuat orang marah.
Baca juga: Laka Maut di Gunung Trans, Warga Aceh Tamiang Meninggal Dunia
Dia menegaskan kalau pantun bukan untuk lelucon, sehingga sangat tabu ketika orang sedang berpantun disela atau disoraki. Sorakan ini mulai tren di kalangan masyarakat ketika menyadur kebiasaan di televisi yang bersorak ‘Cakep’.
“Pantun kita berbeda dengan Betawi, kita pantang menyela apalagi bersorak Cakep. Itu tidak sopan, pantun tidak boleh dipotong” tegasnya.
Maka wajar ketika adab dan etika ini dijaga ketat, pantun Tamiang telah dikenal luas secara nasional. Secara khusus, pria yang berperan membentuk Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Tamiang pada 2002 ini memberi apresiasi kepada dua seniman muda, Syafaruddin (Wak Ngah) dan Armayadi (Wak Alang) yang konsisten menampilkan pantun di setiap kegiatan.
Melalui sanggar seni Rampai Tamiang, keduanya berhasil melestarikan kebudayaan ini dan mulai digemari generasi muda.
Baca juga: Sosok Zam Zam Khalila: Entrepreneur Muda asal Aceh Tamiang, Putri Budaya Indonesia Ekonomi Kreatif
“Anak muda kita, khususnya di hilir sangat bagus, sangat menjaga kebudayaan ini. Harus kita dukung karena warisan budaya kita,” kata Muntasir Wan Diman.
Eksistensi Muntasir Wan Diman dalam menghidupkan seni dan budaya melayu di Aceh Tamiang mengantarkannya menerima penghargaan dalam Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8, beberapa waktu lalu. Di sisi lain, dia pun menilai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tamiang juga sangat serius melestarikan kebudayaan kepada tingkat pelajar. (mad)
Dendang Lebah, Warisan Budaya tak Benda yang Mengisahkan Cinta Terlarang Raja Muda |
![]() |
---|
Pelintau, Silat Warisan Budaya tak Benda yang Terinspirasi dari Alam Liar |
![]() |
---|
Tengku Tinggi, Makam Sepanjang Tujuh Meter Diyakini Ulama Penyebar Islam Pertama di Aceh Tamiang |
![]() |
---|
Pemerintah Pusat Harus Dukung Kelestarian Melayu di Aceh |
![]() |
---|
Cegah Alih Fungsi, Aceh Tamiang Perlu Bentuk Tim Cagar Budaya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.