Kebudayaan Aceh Tamiang
Tengku Tinggi, Makam Sepanjang Tujuh Meter Diyakini Ulama Penyebar Islam Pertama di Aceh Tamiang
Sejarah penyebaran agama Islam di Aceh Tamiang sejauh ini masih menjadi pembahasan yang perlu dikaji mendalam.
Penulis: Rahmad Wiguna | Editor: IKL
SERAMBINEWS.COM, KUALASIMPANG - Sejarah penyebaran agama Islam di Aceh Tamiang sejauh ini masih menjadi pembahasan yang perlu dikaji mendalam. Namun keberadaan makam sepanjang tujuh meter di Kampung Tengkutinggi, Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang mengindikasikan Islam sudah masuk jauh sebelum pendudukan Belanda.
Makam yang terletak di kawasan HGU perusahaan perkebunan kelapa sawit ini diyakini sebagai Muhammad Ali. Sejatinya Muhammad Ali berasal dari Arab, namun karena posturnya yang tinggi dan menetap di Aceh, warga lokal memanggilnya Tengku Tinggi.
“Nama asli beliau Muhammad Ali, kami di Aceh biasa memanggil guru mengaji itu Tengku, makanya dipanggil Tengku Tinggi,” kata Beno, salah satu juru kunci makam keramat Tengku Tinggi, Jumat (8/12/2023).
Baca juga: Kebudayaan Aceh Tamiang Berbeda dengan Daerah Lain, Pantun Tamiang ‘Tabu’ Disahuti Cakep
Belakangan nama Tengku Tinggi ini dijadikan sebagai nama desa atau tepatnya Kampung Tengkutinggi. Keberadaan makam ini sangat mencolok karena ukurannya yang mencapai tujuh meter lebih. Dibutuhkan waktu perjalanan 30 menit untuk mencapai makam ini dari pusat pemerintahan di Karangbaru.
Masyarakat sangat meyakini kalau Tengku Tinggi merupakan ulama yang membawa ajaran Islam di Aceh Tamiang. Meski belum didukung sumber dan data kuat, warga memastikan kalau Tengku Tinggi sudah menginjakkan kaki di Aceh Tamiang sebelum Belanda menjajah Indonesia.
“Riwayat yang diturunkan orang tua kami, memang beliau ini yang membawa Islam ke Aceh Tamiang. Aslinya beliau dari Arab,” ungkap Sadiran, juru kunci lainnya.
Pemkab Aceh Tamiang sendiri sudah mendirikan plang bertuliskan Makam Keramat Tengku Tinggi di jalan masuk pemakaman. Pusara ini berdiri dengan enam tiang beton sebagai penyangga atap. Rumput-rumput liar tumbuh subur di luar bangunan itu.
Baca juga: Tiga Kebudayaan Aceh Tamiang Telah Tercatat Sebagai Warisan Budaya tak Benda
Beberapa meter di sekelingnya, ratusan pohon kelapa sawit tinggi menjuntai. Sebagian kayu ring atap mulai terlihat lapuk akibat dimakan usia. Begitu pula dengan atapnya yang mengunakan seng, nyaris tidak ada yang utuh di setiap lembaran-nya, berkarat, rapuh dan bolong dimana-mana.
“Kami butuh perhatian dari Pemda, kalau Pemerintahan Kampung tidak bisa karena ini HGU,” kata Datok Penghulu Kampung Tengkutinggi, Arianto.
Selama ini perbaikan ataupun perawatan makam dilakukan masyarakat secara swadaya. Anggaran yang digunakan merupakan hasil patungan antara warga yang masih peduli dengan situs sejarah ini.
Baca Selanjutnya: Pemerintah pusat harus dukung kelestarian melayu di aceh
Perawatan ini diakuinya sangat perlu mengingat di bulan-bulan tertentu, makam ini dipenuhi peziarah dari berbagai daerah, termasuk dari Sumatera Utara. Dia pun tidak menampik banyak kisah mistis yang beredar luas mengenai makam tujuh meter itu.
“Banyaklah, dulu katanya warga sini kalau ada hajatan tidak perlu membeli peralatan masak dan makam, tiba-tiba sudah tersedia di makam, tinggal ambil,” ungkapnya. (mad)
Baca Selanjutnya: Cegah alih fungsi aceh tamiang perlu bentuk tim cagar budaya
Dendang Lebah, Warisan Budaya tak Benda yang Mengisahkan Cinta Terlarang Raja Muda |
![]() |
---|
Pelintau, Silat Warisan Budaya tak Benda yang Terinspirasi dari Alam Liar |
![]() |
---|
Pemerintah Pusat Harus Dukung Kelestarian Melayu di Aceh |
![]() |
---|
Cegah Alih Fungsi, Aceh Tamiang Perlu Bentuk Tim Cagar Budaya |
![]() |
---|
Tiga Kebudayaan Aceh Tamiang Telah Tercatat Sebagai Warisan Budaya tak Benda |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.