Jurnalisme Warga
Mengembalikan Padang Tiji sebagai Sentra Kakao
Sebagian daerah Padang Tiji yang bertopografi pegunungan itu dulu merupakan lumbung kakao di kabupaten berjuluk ‘keurupuk mulieng’ itu. Kini, hasil pr
HUSAINI YUSUF, S.P., M.Si., alumnus Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB University dan Pengurus Pemuda ICMI, melaporkan dari Padang Tiji, Pidie
Padang Tiji merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie yang selama ini dikenal sebagai salah satu sentra produksi kakao.
Di kecamatan ini terdapat 64 gampong, enam kemukiman. Luasnya mencapai 358,71 km2.
Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Besar ini mayoritas penduduknya menekuni sektor pertanian. Pertanian adalah penopang ekonomi masyarakat Padang Tiji. Banyak komoditas andalan yang dihasilkan oleh petani di sini. Selain kakao, terdapat juga pisang dan berbagai komoditas lain, di antaranya padi.
Menurut data BPS, Kabupaten Pidie merupakan sentra kakao ketiga di Aceh setelah Aceh Tanggara dan Aceh Timur.
Sebagian daerah Padang Tiji yang bertopografi pegunungan itu dulu merupakan lumbung kakao di kabupaten berjuluk ‘keurupuk mulieng’ itu. Kini, hasil produksi petani kakao menurun drastis dari 500 kg/ha menjadi 300 kg/ha. Luas lahan kakao Pidie riilnya mencapai 10.382 hektare (ha). Kini terus menciut.
Pada Selasa (28/11/2023) pagi, kami rombongan Balai Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP) Aceh melakukan kunjungan dinas ke Pidie yang titik fokusnya ingin mengamati kebun kakao di Kecamatan Padang Tiji. Tujuannya untuk melihat perkembangan kakao di sana.
Kami disambut Baihaqi, anak muda bergelar sarjana pertanian, tetapi enggan bekerja di pemerintahan. Alasannya, dia ingin menjadi petani karena di tempat dia berdomisili sumber ekonomi di sektor pertanian sangat menjanjikan, terutama komoditas kakao.
Dia merupakan tokoh tani muda di Padang Tiji. Banyak pelatihan dan pendampingan terkait kakao sudah dia ikuti. Atas arahan Baihaqi, rombongan melakukan silaturahmi pertama dengan Pengurus Kelompok Tani di Gampong Cut, Kemukiman Paloh.
Lalu, kami mengunjungi kebun kakao milik petani yang disambut dengan hangat oleh Umar, petani yang tidak lagi muda. Prediksi kami umurnya 60-an tahun ke atas.
“Neu piyoh hai (Silahkan mampir),” ujar Umar penuh keramahan di jambo tani miliknya, sambil terus mengupas buah kakao hasil panen pada hari itu.
Banyak informasi kami peroleh dari Umar yang sudah menggeluti komoditas kakao kurang lebih sepuluh tahun.
Menurut Umar, produksi kakao di Padang Tiji kini menurun. Produktivas miliknya hanya berkisar 300-400 kg/ha. Padahal seharusnya berdasarkan deskripsi varietas/klon unggul bisa mencapai 1,5-2,0 ton/ha.
Dalam diskusi singkat kami dengannya, Umar menyampaikan kondisi hasil yang dicapai di kebunnya dengan nada lirih. Menurutnya, harga kakao turun sangat sehingga untuk upah pekerja saja tak cukup.
Umar hanya mengelola lahan milik gampong yang luasnya 15.000 meter dengan variasi klon kakao yang sangat beragam.
Dulu, kata Umar, petani kakao di Padang Tiji makmur dengan hasil panen kakao. Bahkan mampu menyekolah anak-anaknya. “Tapi jinoe ka meukarat/Tapi sekarang sudah payah,” keluh Umar.
Untuk mengantisipasi kurangnya hasil kakao, Umar juga menanam tanaman sela, yakni pinang sebagai produksi sampingan. Itu Dia lakukan untuk menambah penghasilan. Sambil menunggu panen kakao dia bisa memanfaatkan hasil panen pinang, di samping tanaman pisang.
Menurut amatan kami di lapangan, ada beberapa hal yang menyebabkan produksi kakao di Padang Tiji menurun. Pertama, pengelolaan kebun tidak dilakukan sesuai dengan Good Agriculture Practice (GAP). Padahal, konsep ini sangat dianjurkan dalam sistem budi daya tanaman, khususnya komoditas kakao.
Kedua, banyak serangan hama dan penyakit. Terlihat ada beberapa tanaman cokelat sudah mati akibat serangan hama dan penyakit. Beberapa hama endemik yang merusak tanaman petani adalah penggerak batang, penggerek buah kakao (PBK) yang menjadi momok menakutkan bagi petani.
Kendala lain yang dihadapi petani adalah serangan penyakit bunga pentil jatuh. Serangan penyakit ini disebut sebagai serangan Cherelle wilt yang merupakan penyakit fisiologis pada tahap awal perkembangan buah kakao di mana pentil yang terbentuk tidak dapat berkembang ke tahap selanjutnya dan layu.
Menurut Umar, serangan penyakit jatuh pentil kakao ini mencapai 30-40 persen dari total pentil yang terbentuk dan ini akan memengaruhi produksi kakao. Mereka kewalahan mengatasi penyakit. Tidak tahu harus mengadu ke mana dan menyampaikan kepada siapa.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menekan kasus layu pentil ini adalah melalui manajemen pemberian nutrisi boron. Boron dapat meningkatkan transpor air dan nutrisi ke dalam pentil melalui peningkatan hormon endogen dan menjaga stabilitas jaringan pembuluh xilem dan floem.
Dari aspek teknis lain, pemupukan masih tidak sesuai standar GAP misalnya. Pola pengelolaan masih secara tradisional, di samping itu kondisi sanitasi lingkungan sangat tidak layak (kotor) dan tidak paham teknis pemangkasan yang baik.
Sepulang dari kebun Umar, kami berkunjung ke kebun kakao milik Sabri di Desa Siron Tanjong, Padang Tiji. Jarak tempuhnya hanya 5 km. Kami ke kebun Sabri untuk mendapat bandingan. Secara visual, kondisi kebun Sabri tidak jauh berbeda. Namun, lokasi ini kondisinya lebih bagus dan terawat. Umur tanaman relatif sudah tua mencapai 10-15 tahun sehingga petani melakukan pemotongan setengah batang dan muncul tunas baru.
Perlakuan ini terhitung efektif dibanding membiarkan tanaman tua berproduksi. Dari aspek teknis juga belum sesuai anjuran GAP. Menurut mereka, pascatsunami mereka pernah dibekali ilmu teknis budi daya oleh lembaga donor dari Swiss, yakni SwissContact. Selepas itu makin jarang pendamping yang datang ke petani.
Perlu sentuhan teknologi
Sepanjang mata memandang, dalam perjalanan menuju kebun terlihat kiri-kanan kebun kakao. Rata-rata petani memiliki luas lahan 1.500-2.500 meter. Jika produksinya bisa dicapai 1 ton saja per ha dengan harga rata-rata Rp35.000, maka petani akan meraih pendapatan per ha sebesar Rp35 juta per tahun. Itu sudah cukup bagi mereka.
Seharusnya, ini perlu dipikirkan oleh para calon-calon pemimpin di Aceh pada masa depan, terutama calon legislatif (caleg) dan timsesnya yang sedang bergerilya di kampung-kampung, menebar janji manis kepada masyarakat tani.
Petani kita tidak minta macam-macam. Mereka hanya butuh air irigasi saat memasuki musim tanam padi dan perlu pendamping saat ada kendala di kebunnya. Itu saja kok. Tidak menuntut satu juta per KK, juga terbuai oleh janji dana otonomi khusus hingga kiamat.
Untuk mengembalikan Padang Tiji sebagai lumbung kakao, tentu perlu perhatian semua pihak. Pentingnya pendampingan bagi mereka agar hasil panen kembali meningkat sehingga senyum petani kakao kembali merekah.
Menurut amatan kami, beberapa hal teknis perlu segera dilakukan. Pertama, merehabilitasi kebun yang rusak dan dan pola sambung pucuk pada tanaman yang kurang produktif. Ini langkah jitu dan cepat agar produksi meningkat.
Kedua, pemupukan dan pengendalian organisme tanaman harus sesuai standar GAP.
Di samping itu, penting untuk memperhatikan sanitasi lingkungan agar bebas hama dan penyakit dengan membuat urukan tempat pembuangan kulit buah kakao yang dijadikan sebagai bahan baku pupuk kompos.
Terakhir, lakukan pemangkasan sesuai dengan teknis yang dianjurkan. Semoga berhasil!
Jurnalisme Warga
Penulis JW
Mengembalikan Padang Tiji sebagai Sentra Kakao
Padang Tijie
Padang Tiji
kakao
Hari Pendidikan Aceh Ke 66, Saatnya Pejabat dan Guru Merefleksi Diri |
![]() |
---|
Tapak Tilas Perjuangan Teuku Umar di Puncak Mugo, Wisata Sejarah yang Menggetarkan Jiwa |
![]() |
---|
Serunya Lomba Kompetisi Berbasis Revolusi Industri 4.0 hingga Future Skill |
![]() |
---|
Pesona Krueng Teunom, Amazonnya Aceh |
![]() |
---|
KMP Papuyu, Transportasi Harapan Menghubungkan Masa Depan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.