Jurnalisme Warga

Hari Pendidikan Aceh Ke 66, Saatnya Pejabat dan Guru Merefleksi Diri

Peringatan Hardikda harus menjadi momentum bersama untuk merefleksi capaian, tantangan, serta arah masa depan pendidikan Aceh.

Editor: mufti
IST
ABDUL HAMID, S.Pd., M.Pd., Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Bireuen, melaporkan dari Cot Ijue, Bireuen 

ABDUL HAMID, S.Pd., M.Pd., Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Bireuen, melaporkan dari Cot Ijue, Bireuen

Setiap tanggal 2 September, masyarakat Aceh memperingati Hari Pendidikan Daerah (Hardikda). Tahun ini, Hardikda memasuki usia ke-66. Bukan usia yang muda lagi dan tentu bukan pula sekadar seremonial tahunan. Peringatan Hardikda harus menjadi momentum bersama untuk merefleksi capaian, tantangan, serta arah masa depan pendidikan Aceh.

Dalam catatan sejarah, lahirnya Hardikda pada 2 September 1959 tidak terlepas dari kebijakan khusus Pemerintah Aceh kala itu yang menempatkan pendidikan sebagai instrumen utama pembangunan masyarakat setelah berakhirnya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).  Gerakan ini merupakan pemberontakan bersenjata pasca-Indonesia Merdeka yang bertujuan untuk mendidirkan Negara Islam Indonesia (NII) dengan dasar hukum syariat Islam.

Gerakan ini dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat tahun 1948 dan kemudian meluas ke daerah lain seperti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh. Di Aceh, gerakan ini dipimpin oleh Tgk Muhammad Daud Beureueh. Namun, melalui Misi Hardi, pemberontakan yang dimulai 21 September 1953 ini berakhir damai pada tahun 1959 dan Aceh mendapat pengakuan tiga keistimewaan: agama, adat istiadat (budaya), dan pendidikan.

Bagi Aceh, pedidikan diharapkan menjadi jalan keluar dari keterbelakangan dan kemiskinan, serta jembatan menuju peradaban. Oleh karena itu, peringatan tahun ini perlu dimaknai secara serius, khususnya oleh pejabat pemerintah dan para guru sebagai aktor kunci pendidikan di Aceh.

Peran pejabat

Pemerintah, khususnya para pejabat (pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan pendidikan berjalan sesuai harapan rakyat. Peringatan ke-66 Hardikda harus dijadikan momentum untuk:

1. Melakukan refleksi dan evaluasi

Sudah saatnya pemerintah daerah secara jujur menilai, apakah pendidikan Aceh benar-benar bergerak maju? Apakah angka partisipasi sekolah meningkat? Bagaimana mutu pembelajaran di daerah terpencil? Refleksi ini penting agar kebijakan tidak hanya berorientasi pada laporan tahunan, tetapi juga berdampak langsung kepada siswa dan guru.

2. Menguatkan komitmen anggaran

Konstitusi telah menetapkan minimal 20 persen APBD dialokasikan untuk pendidikan. Namun, yang lebih penting adalah memastikan alokasi tersebut tepat sasaran. Jangan hanya habis untuk pembangunan fisik, tetapi harus pula diarahkan pada peningkatan mutu guru, penyediaan buku, teknologi pembelajaran, serta beasiswa bagi anak dari keluarga kurang mampu.

3. Mengangkat kearifan lokal

Aceh memiliki kekayaan budaya dan keislaman yang luar biasa. Pendidikan Aceh harus bisa mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam kurikulum sehingga lahir generasi yang cerdas sekaligus berkarakter islami. Pejabat harus memberi ruang dan dukungan agar sekolah mampu mengembangkan muatan lokal sesuai kebutuhan daerah.

4. Memberikan apresiasi

Guru adalah garda terdepan pendidikan. Momentum Hardikda hari ini sebaiknya diwarnai dengan penghargaan bagi guru yang berdedikasi, sekolah yang berinovasi, dan siswa yang berprestasi. Apresiasi ini bukan sekadar simbol, melainkan energi untuk menyalakan kembali semangat mereka yang setiap hari berjuang di ruang-ruang kelas.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved