Jurnalisme Warga
Restorasi Eks Lahan Sawit Tenggulun, untuk Hajat Hidup yang Lebih Panjang
Sebagai wilayah yang telah dikepung oleh sawit, banjir menjadi langganan di Tenggulun. Bahkan desa mereka pernah dihantam oleh banjir bandang.
Sementara itu, di Sungai Merbau yang ada di kawasan itu, teridentifikasi lebih dari 20 jenis ikan, seperti cucut, keting, lempok, awur-awur, seluang, mata merah, sili, lambenatap, gempual, dan gabus.
Perbedaan mencolok sangat terasa ketika hari mulai senja. Di area kebun sawit, yang terdengar hanya suara-suara yang seragam, yakni suara jangkrik. Sementara di kawasan restorasi yang hanya berjarak 200-an meter dari perkebunan sawit, terdengar aneka suara burung. Bahkan ada burung yang hanya bersuara menjelang hingga sesudah magrib saja.
Di kawasan restorasi ini terdapat pondok yang menjadi markas bagi pengelola kawasan. Pondok ini sering kedatangan tamu-tamu, bahkan yang dari luar negeri. Beberapa mahasiswa juga menjadikan kawasan ini sebagai objek penelitian untuk tugas akhir mereka.
Perubahan positif lainnya adalah berkurangnya pelaku illegal logging di kawasan hutan lindung. Sebelumnya, kata Armia, hutan di sekitar stasiun restorasi ini merupakan target penebangan hutan oleh masyarakat setempat.
“Kalau sekarang mereka sudah sibuk menanam, jadi mereka tidak lagi menebang kayu di hutan. Sebenarnya, lokasi restorasi ini menjadi tameng atau border karena menjadi kawasan paling pinggir hutan lindung. Karena di kawasan ini sudah mulai ditanami kembali, jadi hutan yang di belakangnya terlindungi,” kata Armia.
Pemberdayaan perempuan
Pemberdayaan masyarakat di Tenggulun tidak hanya dilakukan bagi laki-laki melalui pembentukan kelompok tani hutan, tetapi juga untuk ibu-ibu yang membentuk Kelompok Cendana. Adapun pendampingan terhadap kelompok ibu-ibu diambil peran oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).
Melalui pelatihan-pelatihan yang difasilitasi oleh HAkA, ibu-ibu di Kelompok Cendana saat ini mulai bisa mengolah lidi sawit menjadi wadah untuk menaruh buah atau makanan.
Mereka juga mengolah ubi kayu dan pisang menjadi tepung. Tepung ubi dan tepung pisang dipasarkan dengan merek Gulun. Semua produk tersebut juga dipasarkan secara online melalui Instagram @perempuantenggulun. Tak hanya itu, warga di sana juga dibekali dengan edukasi hukum karena mereka sering bergesekan dengan perusahaan perkebunan sawit.
Staf HAkA di lapangan, Ayu Rahmadani, menjelaskan pemberdayaan ibu-ibu dilakukan agar mereka bisa membantu menopang ekonomi keluarga. Dengan begitu, harapannya suami mereka tidak lagi bekerja sebagai penebang kayu di hutan.
Selain berisiko hukum, menebang kayu juga akan berimbas terhadap kelangsungan hidup mereka di Tenggulun.
Sebagai wilayah yang telah dikepung oleh sawit, banjir menjadi langganan di Tenggulun. Bahkan desa mereka pernah dihantam oleh banjir bandang.
“Karena itu, kami juga membekali warga di sini dengan pengetahuan tentang pentingnya menjaga hutan dan lingkungan. Kami mengenalkan mereka pada Kawasan Ekosistem Leuser yang sebagiannya masuk ke desa mereka,” kata Ayu.
Beberapa satwa kunci seperti gajah dan orang utan juga masih terdapat di kawasan ini. Dengan direstorasinya kawasan ini, tidak hanya masyarakat yang kelak menerima manfaatnya, satwa dan lingkungan juga.
< ihansunrise@gmail.com >
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.