Kajian Kitab Kuning

Hukum Sewa Lahan atau Kebun untuk Memiliki Buahnya

Ini jelas manfaatnya jelas dan terukur. Hal yang sama juga berlaku pada kasus menyewa kolam untuk memancing ikan.

Editor: Agus Ramadhan
Tangkap Layar Youtube SERAMBINEWS
Dewan Pembina DPP Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh, Tgk Alizar Usman MHum. 

Dalam fiqh ada kajian tentang hukum musaaqaah. Ibnu Hajar al-Haitami mendevinsikan musaaqaah:

‌)الْمُسَاقَاةِ) هِيَ مُعَامَلَةٌ عَلَى تَعَهُّدِ شَجَرٍ بِجُزْءٍ مِنْ ثَمَرَتِهِ مِنْ السَّقْيِ الَّذِي هُوَ أَهَمُّ أَعْمَالِهَا

Musaaqaah adalah akad muamalah untuk melakukan pengelolaan tumbuh-tumbuhan berupa menyiram yang merupakan unsur yang terpenting dari pada bentuk pengelolaan lainnya dengan imbalan separuh buahnya (Tuhfah al-Muhtaj VI/106)

Dengan kata lain, musaaqaah adalah aqad perjanjian antara dua orang (pemilik kebun dan pengelola kebun) untuk mengelola sebidang kebun dimana pengelola akan mendapatkan sebagian dari hasil yang didapati dari usaha tersebut yang jumlahnya Berdasarkan perjanjian antara keduanya.

Kemudian al-Haitami menjelaskan objek musaaqaah menurut qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i) :

)وَمَوْرِدُهَا النَّخْلُ وَالْعِنَبُ) لِلنَّصِّ فِي النَّخْلِ وَأُلْحِقَ بِهِ الْعِنَبُ بِجَامِعِ وُجُوبِ الزَّكَاةِ وَإِمْكَانِ الْخَرْصِ

Objek musaaqaah adalah kurma dan anggur karena ada nash dalam hal kurma. Adapun anggur disamakan dengan kurma dengan persamaannya sama-sama wajib zakat memungkinkan perkiraannya. (Tuhfah al-Muhtaj VI/107)

Berdasarkan ini, maka musaaqaah ini mirip dengan akad mawah kebun tanaman keras yang sudah menjadi tradisi di Aceh sebagaimana dalam penjelasan Tgk. Abuyazid Al-Yusufie di atas.

Dalam qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i) musaaqah ini dibolehkan pada semua tumbuh-tumbuhan yang ada pohonnya dan berbuah :

)وَجَوَّزَهَا الْقَدِيمُ فِي سَائِرِ الْأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ (لِقَوْلِهِ فِي الْخَبَرِ السَّابِقِ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ وَلِعُمُومِ الْحَاجَةِ وَاخْتِيرَ وَالْجَدِيدُ الْمَنْعُ؛ لِأَنَّهَا رُخْصَةٌ فَتَخْتَصُّ بِمَوْرِدِهَا

Pendapat qadim membolehkan musaaqaah pada semua pohon yang berbuah. Karena hadits sebelumnya, yaitu buah dan zuru’ dan karena umum hajat. Pendapat ini ada yang memilihnya. Pendapat jadid, terlarang, karena musaaqaah rukhsah. Karena itu, hanya berlaku pada yang ada nashnya. (Tuhfah al-Muhtaj VI/107-108)

Penjelasan lebih lanjut terkait makna tumbuh-tumbuhan yang berbuah.dapat diperhatikan pada kutipan di bawah ini;

قَوْلُ الْمَتْنِ (فِي سَائِرِ الْأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ) احْتَرَزَ بِالْأَشْجَارِ عَمَّا لَا سَاقَ لَهُ كَالْبِطِّيخِ وَقَصَبِ السُّكَّرِ وَبِالْمُثْمِرَةِ عَنْ غَيْرِهَا كَالتُّوتِ الذَّكَرِ وَمَا لَا يُقْصَدُ ثَمَرُهُ كَالصَّنَوْبَرِ فَلَا تَجُوزُ الْمُسَاقَاةُ عَلَيْهِمَا عَلَى الْقَوْلَيْنِ اهـ مُغْنِي

Perkataan matan: (pada semua pohon yang berbuah), pada perkataan pohon tidak termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan yang tidak mempunyai pohonnya seperti semangka dan tebu.

Pada perkataan berbuah tidak termasuk di dalamnya yang tidak berbuah seperti murbei jantan dan tumbuhan yang memang tidak diqashad buahnya seperti cemara. Maka tidak boleh musaaqah pada keduanya berdasarkan kedua qaul. Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: VI/107-108)

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved