Kajian Kitab Kuning

Hukum Sewa Lahan atau Kebun untuk Memiliki Buahnya

Ini jelas manfaatnya jelas dan terukur. Hal yang sama juga berlaku pada kasus menyewa kolam untuk memancing ikan.

Editor: Agus Ramadhan
Tangkap Layar Youtube SERAMBINEWS
Dewan Pembina DPP Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh, Tgk Alizar Usman MHum. 

Diasuh oleh Tgk Alizar Usman MHum *)

 

MENYEWA kebun untuk memiliki buahnya, hukumnya tidak sah. Alasannya sebagai berikut :

1.  Dari Abu Hurairah r.a, berbunyi :

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah SAW melarang jual beli al-hashaah dan gharar. (H.R. Muslim)

Berdasarkan hadits ini, sebuah akad tidak boleh mengandung kemungkinan gharar (tipuan). Ketika misalnya, ketika pohon ini disewakan selama dua tahun dan dalam kondisi normal, kita tidak bisa memastikan hasilnya.

Apakah nanti akan berbuah setiap tahun atau sebaliknya, sering gagal panen. Lain halnya ketika ada pohon yang disewakan untuk sesuatu yang manfaat  yang bukan dalam bentuk benda, misalnya untuk hiasan dekorasi walimah pernikahan atau untuk tempat berteduh.

Ini jelas manfaatnya jelas dan terukur. Hal yang sama juga berlaku pada kasus menyewa kolam untuk memancing ikan.

Karena mengambil ikan yang menjadi tujuan dalam akad sewa belum tentu bisa terwujud karena tergantung keadaan, apakah ikan tersebut bisa ditangkap dengan pancing pada saat itu atau tidak.

2. Akad sewa diperuntukan mengambil manfaat yang bukan dalam bentuk benda seperti mendiami rumah yang disewa, tidak dalam bentuk benda seperti mengambil buah dari kebun yang disewa.

Zainuddin al-Malibari mengatakan :

فلا يصح اكتراء بستان لثمرته لأن الأعيان لا تملك بعقد الإجارة قصدا.ونقل التاج السبكي في توشيحه اختيار والده التقي السبكي في آخر عمره صحة إجارة الأشجار لثمرها وصرحوا بصحة استئجار قناة أو بئر للانتفاع بمائها للحاجة.

Maka tidak sah menyewa kebun untuk buahnya, karena benda tidak dapat dimiliki dengan qashad akad sewa. Namun dalam kitab Tausyihnya, al-Taj al-Subki pernah mengutip pilihan bapaknya, al-Taqy al-Subki pada akhir umurnya sah sewa pohon untuk buahnya dan para ulama telah menjelaskan sah sewa terusan air atau sumur untuk mengambil manfaat airnya karena ada kebutuhan. (Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin): III/114)

Namun menurut keterangan pengarang I’anah al-Thalibin, pendapat al-Taqy al-Subki di atas adalah dhaif. (I’anah al-Thalibin: III/114)

2. Imam al-Nawawi mengatakan :

الخامسة: لا يحوز أن يستأجر بركة ليأخذ منها السمك فلو استأجرها ليحبس فيها الماء حتى يجتمع فيها السمك جاز على الصحيح

Yang kelima: Tidak boleh menyewa kolam supaya mengambil ikan darinya. Karena itu, seandainya seseorang menyewa kolam untuk menahan air dalamnya sehingga terkumpul ikan di dalamnya, maka ini boleh berdasarkan pendapat shahih. (Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin: V/256)

 

Mawah kebun sebagai solusi kebutuhan masyarakat

Mawah adalah aqad perjanjian antara dua orang (pemilik harta dan pengelola harta) untuk mengelola terhadap suatu harta dimana pengelola akan mendapatkan sebagian dari hasil yang didapati dari usaha tersebut yang jumlahnya berdasarkan perjanjian antara keduanya.

Mawah yang sering berlaku dalam masyarakat Aceh ada beberapa macam ;

1. Mawah binatang ternak.

2. Mawah kebun palawija.

3. Mawah kebun tanaman keras.

4. Mawah tanah, (memawahkan tanah yang belum sepenuhnya menjadi lahan bercocok tanam, sasarannya untuk menjadi lahan pertanian)

5. Mawah usaha (mawah yang terjadi pada para nelayan dan usaha lainnya)

6.  Mawah kerja, seperti mawah on meria (daun sagu) untuk dijadikan atap rumah, daun atap rumbia biasanya dibagi dua.

(Mawah dalam Masyarakat Aceh oleh Tgk. Abuyazid Al-Yusufie: 1-2)

Dalam tulisan ini, mengkhususkan pembahasan mawah pada tanaman keras dengan harapan menjadi solusi hukum terhadap tradisi carter (sewa) kebun untuk memiliki buahnya.yang dinyatakan tidak sah dalam mazhab Syafi’i.

Dalam fiqh ada kajian tentang hukum musaaqaah. Ibnu Hajar al-Haitami mendevinsikan musaaqaah:

‌)الْمُسَاقَاةِ) هِيَ مُعَامَلَةٌ عَلَى تَعَهُّدِ شَجَرٍ بِجُزْءٍ مِنْ ثَمَرَتِهِ مِنْ السَّقْيِ الَّذِي هُوَ أَهَمُّ أَعْمَالِهَا

Musaaqaah adalah akad muamalah untuk melakukan pengelolaan tumbuh-tumbuhan berupa menyiram yang merupakan unsur yang terpenting dari pada bentuk pengelolaan lainnya dengan imbalan separuh buahnya (Tuhfah al-Muhtaj VI/106)

Dengan kata lain, musaaqaah adalah aqad perjanjian antara dua orang (pemilik kebun dan pengelola kebun) untuk mengelola sebidang kebun dimana pengelola akan mendapatkan sebagian dari hasil yang didapati dari usaha tersebut yang jumlahnya Berdasarkan perjanjian antara keduanya.

Kemudian al-Haitami menjelaskan objek musaaqaah menurut qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i) :

)وَمَوْرِدُهَا النَّخْلُ وَالْعِنَبُ) لِلنَّصِّ فِي النَّخْلِ وَأُلْحِقَ بِهِ الْعِنَبُ بِجَامِعِ وُجُوبِ الزَّكَاةِ وَإِمْكَانِ الْخَرْصِ

Objek musaaqaah adalah kurma dan anggur karena ada nash dalam hal kurma. Adapun anggur disamakan dengan kurma dengan persamaannya sama-sama wajib zakat memungkinkan perkiraannya. (Tuhfah al-Muhtaj VI/107)

Berdasarkan ini, maka musaaqaah ini mirip dengan akad mawah kebun tanaman keras yang sudah menjadi tradisi di Aceh sebagaimana dalam penjelasan Tgk. Abuyazid Al-Yusufie di atas.

Dalam qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i) musaaqah ini dibolehkan pada semua tumbuh-tumbuhan yang ada pohonnya dan berbuah :

)وَجَوَّزَهَا الْقَدِيمُ فِي سَائِرِ الْأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ (لِقَوْلِهِ فِي الْخَبَرِ السَّابِقِ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ وَلِعُمُومِ الْحَاجَةِ وَاخْتِيرَ وَالْجَدِيدُ الْمَنْعُ؛ لِأَنَّهَا رُخْصَةٌ فَتَخْتَصُّ بِمَوْرِدِهَا

Pendapat qadim membolehkan musaaqaah pada semua pohon yang berbuah. Karena hadits sebelumnya, yaitu buah dan zuru’ dan karena umum hajat. Pendapat ini ada yang memilihnya. Pendapat jadid, terlarang, karena musaaqaah rukhsah. Karena itu, hanya berlaku pada yang ada nashnya. (Tuhfah al-Muhtaj VI/107-108)

Penjelasan lebih lanjut terkait makna tumbuh-tumbuhan yang berbuah.dapat diperhatikan pada kutipan di bawah ini;

قَوْلُ الْمَتْنِ (فِي سَائِرِ الْأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ) احْتَرَزَ بِالْأَشْجَارِ عَمَّا لَا سَاقَ لَهُ كَالْبِطِّيخِ وَقَصَبِ السُّكَّرِ وَبِالْمُثْمِرَةِ عَنْ غَيْرِهَا كَالتُّوتِ الذَّكَرِ وَمَا لَا يُقْصَدُ ثَمَرُهُ كَالصَّنَوْبَرِ فَلَا تَجُوزُ الْمُسَاقَاةُ عَلَيْهِمَا عَلَى الْقَوْلَيْنِ اهـ مُغْنِي

Perkataan matan: (pada semua pohon yang berbuah), pada perkataan pohon tidak termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan yang tidak mempunyai pohonnya seperti semangka dan tebu.

Pada perkataan berbuah tidak termasuk di dalamnya yang tidak berbuah seperti murbei jantan dan tumbuhan yang memang tidak diqashad buahnya seperti cemara. Maka tidak boleh musaaqah pada keduanya berdasarkan kedua qaul. Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: VI/107-108)

Pendapat qadim ini meskipun dhaif dalam mazhab sebagaimana penjelasan Tuhfah al-Muhtaj di atas, ada ulama dari pengikut Imam Syafi’i yang memilihnya.

Diantara ulama yang memilih pendapat qadim ini adalah Imam al-Nawawi dalam kitab beliau, Tashih al-Tanbih.

Pendapat qadim ini juga merupakan pendapat Malik dan Ahmad sebagaimana penjelasan di bawah ini.

)وَجَوَّزَهَا الْقَدِيمُ فِي سَائِرِ الْأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ) كَتِينٍ وَتُفَّاحٍ لِوُرُودِهِ فِي الْخَبَرِ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ وَلِعُمُومِ الْحَاجَةِ، وَاخْتَارَهُ الْمُصَنِّفُ فِي تَصْحِيحِ التَّنْبِيهِ

Pendapat qadim membolehkan musaaqaah pada semua tumbuh-tumbuhan yang berbuah.seperti tin, apel karena datang pada hadits yaitu buah dan zuru’ dan juga karena umum hajat. Pendapat qadim ini telah dipilih oleh pengarang (Imam al-Nawawi) dalam tashih al-Tanbih (Nihayah al-Muhtaj: V/246)

Zainuddin al-Malibari mengatakan,

وجوزها القديم في سائر الاشجار، وبه قال مالك وأحمد، واختاره جمع من أصحابنا

Pendapat qadim membolehkan musaaqaah pada semua tumbuh-tumbuhan. Pendapat ini merupakan pendapat Malik dan Ahmad. Sekelompok pengikut Syafi’i telah memilih pendapat ini. (Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Muin : III/125)

Alhasil, menurut hemat kami, carteran kebun untuk memiliki buahnya yang sudah kita nyatakan tidak sah menurut ulama-ulama mazhab Syafi’i karena mengandung gharar dapat diganti akadnya dengan melakukan akad musaaqaah (dalam tradisi di Aceh biasanya disebut dengan mawah) dengan berpegang pada qaul qadim Imam Syafi’i dengan memperhatikan catatan/pertimbangan berikut ini.

1. Qaul qadim ini tidak terlalu dhaif. Buktinya qaul qadim ini juga merupakan pendapat Malik dan Ahmad. Qaul qadim ini telah dipilih dari aspek dalil, tidak dari aspek mazhab oleh sekelompok ulama Syafi’iyah (di dalamnya termasuk Imam al-Nawawi)

2. Qaul qadim ini merupaka solusi untuk ummat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Ini merupakan hajat yang sifatnya umum dalam melakukan aqad musaaqah pada jenis tumbuhan keras selain kurma dan anggur.

3. Karena ini merupakan pendapat dhaif dalam mazhab, maka tidak boleh menjadi fatwa. Akan tetapi boleh di amalkan untuk diri sendiri. Kepada orang alim yang bermazhab Syafi’i dibolehkan menyampaikan cara pengamalan ini dengan jalan irsyad (memberikan bimbingan bahwa pendapat tersebut dhaif dalam mazhab), tidak dengan jalan fatwa.

Syeikh Ahmad al-Khathib mengatakan,

قال في الفوائد وكذا يجوز الأخذ والعمل لنفسه بالأقوال والطرق والوجوه الضعيفة الا بمقابل الصحيح فان الغالب فيه انه فاسد و يجوزالافتاء به للغير بمعنى الارشاد وبه قال الشيخ ابن حجر في الفتاوي

Pengarang al-Fawaid mengatakan, demikian juga boleh mengambil dan beramal untuk diri sendiri qaul, thuruq-thuruq dan wajh dhaif kecuali lawan dari pendapat shahih, karena ghalibnya fasid dan boleh juga berfatwa dengannya untuk orang lain dengan makna irsyad (memberikan bimbingan). Penjelasan ini juga telah dikemukakan oleh Syeikh Ibnu Hajar dalam al-Fatawa. (Hasyiah al-Nufahaat ‘ala Syarah al-Warqaat: 170)

Muhammad bin Sulaiman al-Kurdiy mengatakan dalam al-Fawaid al-Madaniyah sebagai berikut:

واما اذا افتاه بالضعيف على طريق التعريف بحاله وانه يجوز للعامي تقليده بالنسبة للعمل به فغير الممتنع كما سنبينه لك ان شاء الله تعالى

Adapun apabila seseorang berfatwa dengan pendapat dha’if atas jalan memberitahukan keadaan dhaifnya, maka itu tidak terlarang sebagaimana akan kami jelaskan kepadamu Insya Allah Ta’ala dan boleh bagi orang awam taqlidnya dinisbahkan untuk beramal. (al-Fawaid al-Madaniyah: 58)

Wallhua’lam bisshawab

 

----------

*) Salah satu tugas mulia bagi Muslim adalah menjadi penerus risalah kenabian, yakni mensyiarkan Agama Islam dalam berbagai bentuk media.

Serambi Indonesia menyambut baik kerjasama Bidang Dakwah bil Qalam dan Lisan (video) dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh.

Dakwah melalui tulisan diasuh oleh Tgk Alizar Usman, S.Ag, M.Hum, alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Alumni Dayah Istiqamatuddin Darul Muarrif, Lam Ateuk.

Adapun dakwah melalui visual diisi oleh keluarga besar DPP ISAD Aceh.

Dakwah di media besar melalui Serambi Indonesia jangkauannya lebih luas. Dapat dibaca kapan saja dan di mana saja sehingga konten dakwah bisa didapat lebih fleksibel.

Seluruh Isi dan konten menjadi tanggung jawab para narasumber.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved