Kupi Beungoh
Apam Pidie vs Ade Pidie Jaya, Mana Berdampak pada Pertumbuhan Ekonomi Rakyat?
Kadiskop UMKM dan Disdikbud Pidie perlu memikirkan ulang bagaimana kuliner apam bisa dikemas dalam bentuk barang jadi agar bisa masuk pasar dan laku d
Oleh: Muhammad Nur dan Hasan Basri M Nur*)
Terdapat tiga indikator untuk mengukur tingkatan kesejahteraan manusia, yaitu kesejahteraan ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Setiap negara, termasuk Indonesia, setiap tahunnya diukur tiga aspek kesejahteraan yang disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ini.
IPM Indonesia masih sangat rendah dibanding negara-negara lain di dunia.
Pada tahun 2020, IPM Indonesia berada pada peringkat 107 dari 189 negara yang dinilai (Lihat: www.cnbcIndonesia.com, edisi 16 Desember 2020, Duh, Indeks Pembangunan Manusia RI No 107 dari 189 Negara!)
Pemimpin negara mulai dari Pusat (Presiden) hingga Wilayah (Gubernur) dan Daerah (Bupati/Walikota) mesti paham dan memikirkan ketiga indeks tersebut, tak terkecuali pemimpin di Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya.
Kalau tak paham, ada baiknya anda jangan memaksakan diri untuk “nyabub” atau “nyagub”.
Rusak pembangunan daerah saja nantinya. Sebab, jika terpilih gubernur atau bupati yang tak paham soal pembangunan berbasis IPM, maka kerugian akan dirasakan oleh masyarakat setempat dalam durasi sangat lama, 5 tahun.
Baca juga: Tradisi Bulan Rajab, Ratusan Warga Lueng Putu Pijay Gelar Kenduri Apam Massal, Dibagi untuk Umum
Politisi PPP, Gade Salam, yang menjadi Bupati Pidie Jaya (2009-2014) agaknya paham benar tentang pembangunan daerah berbasis kesejahteraan ekonomi bagi rakyat di daerah yang dia pimpin.
Banyak hal untuk mendongkrak ekonomi penduduk Pidie Jaya telah dilakukan Gade Salam guna menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran.
Dalam artikel kali ini hanya diulas satu saja sebagai sampel, yaitu ade.
Ade sebagai Ikon Pijay
Semasa menjabat Bupati Pidie Jaya, Gade Salam menggerakkan usaha mikro yang cikal bakalnya sudah ada di rumah-rumah warga setempat, yaitu ade.
Ade adalah salah satu kue khas di Pidie dan Pidie Jaya. Dia berbentuk bolu tepung dan ubi dengan cita rasa khas dan menggoda lidah.
Awalnya kue ade ini dibuat untuk dipasarkan melalui warung kopi di pagi hari.
Salah satu yang konsisten melestarikan ade di Meureudu adalah Mutia, yang sekarang terkenal dengan Ade Kak Mutia.
Bupati Pijay, Gade Salam melihat usaha rakyat dalam wujud ade ini sebagai potensi pengembangan ekonomi dan menjadi daya tarik wisata.
Gade Salam paham bahwa usaha kuliner ikut mensupport kemajuan pariwisata.
Baca juga: Lestarikan Budaya Leluhur, DWP Disdikbud Pidie Teot Apam Massal, Begini Penjelasan Kadisdik
Dia pun memulai gerakan pembinaan usaha mikro dalam wujud ade di kawasan Meureudu sebagai klusternya, tidak memasukkan daerah lain sebagai kluster.
Ini menunjukkan bahwa Gade Salam sebagai pemimpin yang paham tentang konsep pembangunan berbasis potensi daerah, tidak meucawo-cawo.
Usaha pembinaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di sektor ade pun mulai digerakkan, meliputi pelatihan cara produksi, pengemasan, sertifikasi halal, branding hingga membantu promosi dan pemasaran.
Hasilnya, publik dapat menyaksikan sekarang ini; Pijay identik dengan ade. Ade mejadi ikon Pidie Jaya.
Galeri pemasaran ade sekarang ini berjejer di tepi jalan raya Medan – Banda Aceh, Meureudu.
Pengunjung (wisatawan) dan pelintas jalan nasional yang melewati Pijay sebagian besar akan singgah untuk membeli 1 atau 2 kotak kue ade yang dipasarkan di tepi jalan raya di Meureudu.
Beragam merek ade tersedia, pembeli tinggal memilih sesuai daya tariknya.
UMKM per-ade-an di Pidie Jaya telah ikut membantu mendongkrak ekonomi bagi penduduk Meureudu dan sekitarnya.
Dampak ekonomi dapat dirasakan oleh pelaku usaha, karyawan, penyedia kelapa, daun pandan, daun pisang, sabut kelapa (tapeh) dan lain-lain.
Pengakuan ini diutarakan oleh pemilik Ade, Kak Mutia tatkala saya melakukan liputan jurnalistik di sana tahun 2011 lalu.
Kini, salah satu merek ade di Pijay, yaitu Ade Kak Nah, sudah ekspansi ke Aceh Besar dan Banda Aceh dengan membuka cabangnya.
Salah satunya terdapat di kawasan Lambaro Non-Muslim (Lambaro Kafe) dengan target pasar adalah tamu/penumpang pesawat melalui Airport Blang Bintang.
Bagaimana dengan Apam Pidie?
Pasangan Bupati Pidie Ronny Ahmad SE MM - Fadlullah TM Daud (2017-2022) juga gencar mengampanyekan potensi Apam Pidie.
Bahkan Sang Bupati Ronny juga membuat even tahunan “tot apam” di Pidie semasa ia menjabat.
Lalu bagaimana kontribusi Apam Pidie dan dampak ekonomi bagi penduduk termiskin nomor tiga di Aceh ini?
Jika dilihat dan dihitung dari even-even yang sudah dilakukan oleh Bupati Pidie selama lima tahun menjabat.
Apalagi sang bupati, Ronny Ahmad, menjadikan budaya “tot apam” sebagai program unggulan yang diagung-agungkan tempo hari di bulan Rajab, namun hari ini, kuliner apam sulit ditemui di Pidie.
Pengguna jalan yang melewati Pidie hanya numpang lewat saja, tanpa membeli oleh-oleh apapun.
Kecuali keureupuk mulieng di Beureunuen yang merupakan oleh-oleh peninggalan awal kemerdekaan RI.
Padahal, jika serius, Bupati Pidie juga dapat mendorong pembinaan UMKM per-apam-an sebagaimana yang telah dilakukan Bupati Gade Salam 14 tahun lalu di Pidie Jaya.
Baca juga: Jangan Lewatkan Festival Kuliner Teot Apam IV di Banda Aceh
Tak perlu jauh-jauh, Bupati Pidie dapat melakukan studi banding ke kabupaten baru yang merupakan adik kandungnya, yaitu Pidie Jaya, yang lebih kreatif dan inovatif.
Selanjutnya, jika UMKM sudah hidup, maka bisa ikut mendongkrak ekonomi masyarakat di Pidie dan sekitarnya.
Sudah pasti, penyediaan buah kelapa “pati” di kampung- kampung akan dicari pelaku usaha apam untuk diperas jadi santan.
Begitu juga dengan penyediaan singkong, ubi, pisang, nangka, dan daun pandan akan dijadikan bahan baku untuk pembuatan kuah apam setiap harinya.
Perlu diketahui, hingga masa pemerintahan Abusyik-Dek Fad berakhir, pembinaan UMKM apam di Pidie tidak digerakkan, mulai dari pengemasan, branding hingga aksi promosi pemasaran. Kalah jauh dari Ade Pidie Jaya.
Entah itu disengaja atau memang karena bupati dan para kadisnya yang tidak paham tentang pelaku usaha mikro untuk mengeluarkan Pidie dari “jeretan” kemiskinan di Aceh.
Apa juga hingga koar- koar “Apam Pidie” sampai masuk ke Tiktok, jika endingnya hanya sebatas menghasilkan hiburan warisan masa lalu? Lebih baik mundur saja.
Tapi untung, terdapat satu pelaku usaha mikro yang mampu membaca peluang ini dengan membuka warung apam di pinggir jalan nasional di Lampoh Saka.
Sayangnya, usaha ini tidak didampingi agar menyediakan dalam bentuk “kemasan gaul” sebagai oleh-oleh gaya kota.
Maka itu, ada pendapat yang mengatakan, tot apam di Pidie dilakukan sebatas peringatan “khanduri tahunan” di bulan Rajab, untuk kumpul-kumpul sesama emak-emak agar suntuk dan kantuknya hilang, bahkan guru-guru di sekolah, atau sesama remaja di desa-desa, tanpa tujuan dan memikirkan bagaimana produksi apam ini dikemas agar menjadi oleh-oleh khas Pidie yang dicari wisatawan.
Jika alasan yang digunakan hanya sebatas untuk memuliakan bulan Rajab, lalu mengapa tidak dibuat khanduri sejenisnya di bulan suci Ramadhan yang jauh lebih mulia dari bulan-bulan lainnya?
Alasan-alasan demikian tidak bisa lagi digunakan di zaman sekarang ini dengan persaingan ekonomi yang kian ketat.
Maka wajar jika Pidie terus tertinggal jauh dari pulau- pulau yang ada di Aceh, seperti Pulau Simulue atau Sabang yang jauh lebih kecil.
Di Sabang, misalnya, saat wisatawan berkunjung ke sana, saat mereka pulang ke daerahnya, mereka membawa oleh-oleh “kue afarit” yang sudah dikemas dalam kotak berwarna kuning.
Demikian juga dengan pisang Sale di Lhoknibong, Aceh Timur, dan terasi di Langsa, dendang lebah di Aceh Tamiang dan Ambe-Ambekan di Aceh Singkil.
Maka sudah saatnya, Kadiskop UMKM dan Disdikbud Pidie perlu memikirkan ulang bagaimana kuliner apam bisa dikemas dalam bentuk barang jadi agar bisa masuk pasar dan laku dijual.
Artinya, tot apam tidak hanya sebatas ajang eforia di bulan Rajab.
Jika apam identik dengan budaya Pidie, maka sudah saatnya “wisata kuliner” berbasis lokal wisdom dijual ditepi-tepi jalan di Pidie untuk menggaet wisatawan atau pengguna jalan raya agar berhenti saat melewati daerah penghasil emping melinjo ini.
Baca juga: Festival Teut Apam, Upaya Merawat Keuneubah Indatu
Jangan seperti angin yang lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas apapun.
Kita berharap Cabup Pidie 2024 mampu memetakan potensi yang ada di Pidie untuk dijabarkan dalam program atau rencana aksi jika yang bersangkutan terpilih.
Bupati Pidie ke depan tidak hanya memikirkan protokoler di pendopo untuk dia dan istri/keluarga serta pengadaan mobil mewah yang baru.
Pemimipin mesti memikirkan cara cepat dan tepat untuk mengeluarkan rakyat dari dilema kemiskinan (ekonomi), kebodohan (pendidikan) dan kemampuan berobat ke dokter atau rumah sakit (kesehatan) agar mereka tidak bergantung pengobatan meurajah pada dukun. Semoga!
*) PENULIS adalah Muhammad Nur adalah dosen Universitas Serambi Mekkah (USM) Banda Aceh, email: noormoohammadm@gmail.com dan Hasan Basri M Nur adalah mahasiswa Universiti Utara Malaysia Negeri Kedah, email: hasanbasrimnur@gmail.com
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Refleksi 20 Tahun Damai Aceh: Menanti Peran Anak Syuhada Menjaga Damai Aceh Lewat Ketahanan Pangan |
![]() |
---|
Utang: Membangun Negeri atau Menyandera Masa Depan? |
![]() |
---|
Melihat Peluang dan Tantangan Potensi Migas Lepas Pantai Aceh |
![]() |
---|
Dua Dekade Damai, Rakyat Masih Menanti Keadilan Pengelolaan Sumber Daya Alam |
![]() |
---|
Kampung Haji Indonesia dan Wakaf Baitul Asyi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.