Opini

PDIA dan Riwayat Sebuah Buku

Itu sebabnya, buku tersebut  disembunyikan di kolong tanah. Apalagi saat Presiden Megawati mengumumkan Aceh sebagai daerah Darurat Militer pada 19 Mei

Editor: mufti
SERAMBINEWS/dok facebook
Nab Bahany As, Budayawan, tinggal di Banda Aceh 

Mati suri

Ternyata, setelah bangunan Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh beserta seluruh isi di dalamnya hancur diterjang tsunami 2004, buku yang tidak jadi  dimusnahkan itu menjadi buku penting yang dicari kembali Sekretaris PDIA, untuk dijadikan koleksi kembali di Pusat Dokumentasi Sejarah Aceh.
Hilangnya PDIA dalam peristiwa tsunami Aceh, sama dengan hilangnya data memori dalam sebuah komputer yang dimiliki seseorang. Bagi orang lain, kehilangan data memori seseorang mungkin tidak jadi masalah. Tapi bagi yang memiliki data dokumentasi itu adalah persoalan besar. Karena ia harus memulai lagi dari awal untuk mengumpul kembali semua data informasi yang telah hilang itu.

Begitu juga rasanya kehilangan PDIA, bagi orang-orang yang telah menjiwai Aceh dari awal sejarahnya hingga Aceh hari ini adalah musibah besar, terutama bagi kaum sejarawan dan bagi para ilmuan sosial. Lain halnya dengan mereka yang tidak memiliki latar ilmu sosialnya. PDIA dianggap tidak penting ada di Aceh.

Sehingga, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh yang didirikan atas kerja sama Universitas Syiah Kuala masa Rektor Prof Dr Ibrahim Hasan dan Gubernur Aceh Muzakir Walad tahun 1977, dengan mudahnya mereka alih fungsikan keberadaan tanah dan bangunan PDIA ini jadi Fakultas Kedokteran Gigi, oleh otoritas Universitas Syiah Kuala yang tidak paham peran dan fungsi ilmu sosial dalam membangun Aceh.

Tergusurnya PDIA adalah musibah terbesar kedua bagi Aceh setelah tsunami, terutama bagi ilmuan-ilmuan sosial yang mencintai Aceh. Sama halnya dengan tak diberdayakan lagi Pusat Pelatihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) oleh otoritas yang berkuasa di Unsyiah dalam lebih dari 15 tahun terakhir ini. Padahal, PPISB Unsyiah di tahun-tahun 1980 hingga menjelang tahun 2000-an adalah sebuah lembaga Pusat Pelatihan Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya yang diakui keunggulannya secara nasional di Indonesia.

Sayangnya, nasib PPISB seperti halnya PDIA, dibiarkan mati suri oleh otoritas Unsyiah yang tidak paham pentingnya perang dan kekuatan ilmu sosial di lingkungan sebuah perguruan tinggi. Ini akibat kearogansian otoritas Unsyiah yang tidak paham peran Ilmu Sosial dalam membangun Aceh.

Informasi terakhir yang penulis dapatkan, malah PDIA digusur dan direlokasikan ke Museum Aceh, dengan meminjam satu ruangan di Museum Aceh yang sangat tidak layak untuk dijadikan operasional sebagai sebuah lembaga Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Sekarang malah PDIA yang menempati ruangan pinjaman di Museum Aceh sudah ditutup operasionalnya, kalau tidak dikatakan bahwa PDIA sekarang sudah dibubarkan.

Ini akibat dari cara berpikir terlalu eksakta dengan tidak menghargai kontribusi kantong-kantong Ilmu Sosial yang pernah tumbuh di Aceh, baik oleh Pemerintah Aceh maupun oleh otoritas Unsyiah itu sendiri.  

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved