Breaking News

Jurnalisme Warga

Ketika Bahasa Aceh Beranjak ke Bahasa Tulisan

Setelah waktu berlalu bertahun-tahun, saya tak pernah menjumpai satu pun naskah kitab bahasa Aceh dalam bentuk prosa.

Editor: mufti
SERAMBINEWS/tambeh.wordpress.com
T A SAKTI, penerima Kehati Award 2001 dari Yayasan Keanekaragaman Kehidupan Hayati Indonesia (Kehati) Jakarta, melaporkan dari Dusun Lamnyong, Gampong Rukoh, Darussalam, Banda Aceh 

Hampir semua kita sudah memahami bahwa penulisan bahasa Aceh itu seluruhnya dalam bentuk syair. Hal demikian memang permintaan zaman saat itu. Sesuatu yang ditulis dalam bentuk syair, pasti mudah dipahami dan mudah terhafal oleh pembacanya.

Begitulah format hikayat, nadham, tambeh, dan like/lagu harian; semuanya dalam bentuk syair. Hal demikian berlangsung puluhan tahun, bahkan melintasi abad.

Begitu gemar dan fasihnya para pengarang Aceh masa dahulu mengarang segala hal dalam bentuk syair, sampai-sampai kitab ramuan obat pun ditulis dalam syair hikayat dalam huruf Jawi-Jawoe.

Satu-satunya kitab obat herbal itu berjudul “Kisah Afrahu Tabib”. Informasi ini dapat dijumpai dalam disertasi Prof Imran T Abdullah yang berjudul Hikayat Meukuta Alam. Kitab ini milik Pustaka Universitas Leiden, Belanda.

Dalam kondisi demikianlah, keluar pernyataan Prof Ali Hasjmy, bahwa tulisan bahasa Aceh seluruhnya tertulis dalam bentuk syair-bersanjak, nyaris tidak ada dalam bentuk prosa.

Sebagai pengagum Prof Ali Hasjmy saya coba menelusuri “kembali” apa yang telah disimpulkan beliau.

Setelah waktu berlalu bertahun-tahun, saya tak pernah menjumpai satu pun naskah kitab bahasa Aceh dalam bentuk prosa.

Suatu sore seseorang membawa sebuah manuskrip besar ke tempat saya. Tujuannya agar saya sudi membacanya. Di antara beberapa kitab dalam buku tebal itu, saya tertarik pada dua buah kitab, yakni “Umdatun Muhtajin” karya Syiah Kuala dan kitab Qawa ‘Idul Islam.

Kitab Qawa’idul Islam amat menarik bagi saya. Isinya mengenai dasar-dasar Ilmu Tauhid, tapi penulisannya dalam bentuk prosa dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Melayu, dan bahasa Aceh. Dengan demikian,  terjawablah sedikit kata “nyaris tidak ada” dari pernyataan Prof Ali Hasjmy itu.

Niat saya untuk transliterasi kitab itu cukup menggebu-gebu. Betapa tidak, sesuatu yang selama ini saya anggap,”nyaris tak ada” ternyata sudah terhantar di depan saya. Sungguh batin saya sangat berbunga-bunga.

 

Kitab Qawa’idul Islam yang dalam istilah C. Snouck Hurgronje disebut juga Kitab Bakeumeunan, karena di banyak halaman tertulis kata “Bakeumeunan” sebagai tanda dimulainya suatu masalah baru/hal lain.

Selesai kami salin dan alih aksara ke huruf Latin (bersama Tgk Muhammad Kalam Daud), maka    kitab itu memiliki  dua jenis huruf, yaitu huruf Arab Melayu dan Latin. Beberapa tahun kemudian diterbitkan oleh Pustaka Wilayah Provinsi Aceh.

Alhamdulillah, mimpi Prof  Ali Hasjmy dan TA Sakti terbukti adanya. Bahwa telah ditemukan dan diterbitkan pula sebuah kitab yang bertuliskan bahasa Aceh dalam bentuk prosa.

Pada awal tahun 2020 M–sebelum penyakit ta’eun atau Covid-19 merebak—sahabat saya, Iqbal Hafidh dan dr Nabil Berry, membawa beberapa lembar naskah lama yang telah diedarkan secara online oleh British Library ke tempat saya di Bale Tambeh.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved