Breaking News

Opini

RIWA, Transformasi Tata Kelola Wakaf Aceh

Penulis melihat wacana wakaf uang yang digulirkan itu harus dijadikan momentum bagi semua pemangku kepentingan wakaf di Aceh untuk merumuskan Rencana

Editor: mufti
IST
Fahmi M Nasir, Pengamat Perkembangan Wakaf 

Fahmi M Nasir, Pengamat Perkembangan Wakaf

PADA 5 Maret 2024, Serambi Indonesia memberitakan permintaan kepada Pj gubernur Aceh untuk menerapkan Gerakan Nasional Wakaf Uang di Aceh sebagai tindak lanjut dari Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) yang telah diluncurkan Presiden Jokowi pada 25 Januari 2021.

Penulis melihat wacana wakaf uang yang digulirkan itu harus dijadikan momentum bagi semua pemangku kepentingan wakaf di Aceh untuk merumuskan Rencana Induk Wakaf Aceh (RIWA) agar pengembangan wakaf bisa dilakukan secara komprehensif dan tidak bersifat insidental dan parsial saja.

Berhasil atau tidaknya memajukan wakaf di Aceh sangat tergantung kepada RIWA yang perlu dijabarkan melalui strategi utama. Strategi utama ini merangkumi ekosistem wakaf secara menyeluruh. Suruhanjaya Sekuriti Malaysia (2014) menyebutkan ekosistem wakaf itu meliputi konsepsi, regulasi, tata kelola, profesionalisme dan pembiayaan.

Terkait konsepsi, Murat Cizakca (1997) menerangkan bahwa wakaf dapat dioptimalkan untuk menalangi anggaran belanja pemerintah. Sepanjang sejarah, wakaf telah terbukti mampu membiayai berbagai macam pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan, pendidikan, pengadaan infrastruktur dan lain-lain.

Regulasi pula berhubungan dengan segala turunan peraturan yang mengatur wakaf. Sektor wakaf di Aceh secara umum diatur oleh UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf beserta sejumlah peraturan pendukung lainnya dan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal beserta peraturan pendukung lainnya.

Melihat regulasi yang sudah ada dan dinamisnya perkembangan wakaf belakangan ini, mau tidak mau pemangku kepentingan harus segera merevisi berbagai aturan yang ada baik untuk memperkuat regulasi itu sendiri ataupun untuk mengakomodir berbagai perkembangan terbaru di sektor wakaf.

Sensus wakaf

Salah satu hal yang perlu diatur dalam regulasi adalah sensus aset wakaf. Syed Khalid Rashid (2011), pakar wakaf dari India, mengatakan bahwa amanah undang-undang merupakan syarat utama untuk terwujudnya sensus wakaf. Pendataan wakaf sangat krusial dalam pemetaan aset, status dan masalah aset wakaf tersebut, jika ada. Sensus akan memberikan gambaran bentuk aset, nilai, pendapatan dari aset itu, potensi aset termasuk wakaf uang, dan kondisi finansial aset wakaf.

Sensus pula akan melahirkan pangkalan data aset wakaf yang sangat bermanfaat untuk menetapkan prioritas pengembangan aset wakaf. Bahkan sensus ini juga mampu menarik para investor untuk ikut serta mengembangkan aset wakaf karena nilai riil dan potensi aset wakaf sudah diketahui.

Ekosistem berikutnya adalah tata kelola, yang berhubungan dengan pemangku kepentingan sektor wakaf Aceh saat ini mulai dari Baitul Mal Aceh (BMA), Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia (BWI), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh (Bappeda) dan Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) Aceh.

Melihat besarnya potensi wakaf dan beratnya beban untuk mengembangkannya, serta sering berlakunya tumpang tindih tugas dan kewajiban antarpemangku kepentingan, maka kehadiran RIWA merupakan sebuah keniscayaan untuk dapat menyelesaikan masalah klasik tersebut.

Fungsi dan tanggung jawab masing-masing pemangku kepentingan tersebut harus diatur dengan rinci melalui RIWA. Begitu juga dengan bagaimana mereka melakukan koordinasi dan sinergi untuk bersama-sama membangun sektor wakaf di Aceh.

Ekosistem keempat adalah profesionalisme yang terkait dengan pengelola aset wakaf atau dikenal dengan istilah nazhir. Menurut regulasi, nazhir itu meliputi perorangan, organisasi dan badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.

Sesuai dengan paradigma bahwa wakaf adalah lembaga keuangan, maka sudah waktunya peluang untuk menjadi nazhir dibuka selebar-lebarnya kepada lembaga keuangan ataupun kepada mana-mana korporasi agar kompetensi kedua lembaga tersebut dapat dioptimalkan bagi kemajuan sektor wakaf.

Baru-baru ini melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan (UU P2SK), bank syariah telah diberikan penambahan peran baru sebagai nazhir wakaf.

Bagaimana jika nazhir yang ada tidak mampu untuk mengembangkan aset wakaf yang diamanahkan kepadanya?
Pemangku kepentingan di Aceh dapat mengikuti cara yang ditempuh oleh nazhir wakaf Baitul Asyi di Makkah dan Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) dalam mengembangkan aset wakaf.

Nazhir wakaf Baitul Asyi mengambil langkah untuk bekerja sama dengan pihak investor untuk membangun dan mengoperasikan hotel yang dibangun di atas tanah wakaf.

Langkah yang berbeda diambil oleh MUIS pada tahun 2000 ketika mereka mendirikan anak perusahaan, yang diberi nama Warees, untuk mengembangkan wakaf di negara mereka. MUIS kemudian berkonsentrasi penuh dalam hal administrasi dan regulasi sementara tugas untuk membangun aset wakaf diserahkan sepenuhnya kepada Warees yang terdiri atas staf profesional yang memiliki kepakaran dalam berbagai bidang.

Sumber dana

Ekosistem terakhir adalah pembiayaan. Ini berkaitan dengan dana untuk mengembangkan aset wakaf baik dalam konteks pembangunan aset wakaf, rejuvenasi aset wakaf ataupun akuisisi aset baru menjadi aset wakaf.
Di luar negara, kita lihat setidaknya ada empat sumber dana pengembangan wakaf yang sering digunakan.

Pertama, pembiayaan yang bersumber dari Lembaga Keuangan Islam ataupun Badan Usaha Milik Negara. Pengembangan wakaf berupa Menara Bank Islam di Kuala Lumpur dan kawasan komersial Wakaf Seetee Aishah di Pulau Penang, adalah contoh keberhasilan model pembiayaan yang pertama ini.

Menara Bank Islam yang berada di lokasi yang segi tiga emas Kuala Lumpur merupakan kolaborasi antara Majlis Agama Islam Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur (MAIWPKL) dengan Lembaga Urusan Tabung Haji (LUTH) Malaysia. Wakaf Seetee Aishah pula adalah kerja sama antara Majlis Agama Islam Negeri Pulau Pinang (MAINPP) dengan UDA Holdings Berhad (UDA).

Kedua, menggalang dana melalui pasar modal. Kompleks komersial Bencoolen di Singapura dan Menara Zam Zam di Makkah adalah ikon untuk pembangunan wakaf dengan memanfaatkan sukuk dalam mengembangkan aset wakaf di masing-masing negara tersebut.

Ketiga, menggunakan dana yang bersumber dari alokasi pemerintah. Pemerintah Malaysia antara tahun 2006-2010 mengalokasikan dana sebesar RM250 juta untuk mengembangkan tanah-tanah wakaf di seluruh Malaysia. Di antara proyek yang berhasil dilakukan dengan sumber dana tersebut adalah Hotel Wakaf di Terengganu, Hotel Wakaf di Taiping, Perak dan Hotel Wakaf Melaka.

Keempat, menggunakan dana yang bersumber dari inisiatif pihak swasta. Inisiatif ini telah dilakukan oleh perusahaan Johor Corporation (JCorp) yang mewakafkan saham mereka sebanyak 12.35 juta saham dengan nilai RM200 juta untuk dikelola oleh Waqaf An-Nur Corporation Berhad (WANCorp).

Khusus untuk Aceh, RIWA dapat mengidentifikasi sumber potensial pembiayaan, antara lain konversi dana CSR-BUMD menjadi wakaf uang, wakaf uang dari pejabat tinggi daerah, direksi dan komisaris BUMD, infak wajib sesuai dengan amanah Qanun Aceh No. 3/2021, serta wakaf berjangka dari orang-orang kaya baik di Aceh atau di luar Aceh.

Singkat kata, inilah saatnya untuk melahirkan RIWA demi transformasi tata kelola wakaf di Aceh terutama sekali untuk merealisasikan potensi masif wakaf menjadi kenyataan.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved