Opini

Refleksi HUT Ke-819 Banda Aceh, Bangkit Bersama Menuju Impian Kota Bebas Sampah

Banda Aceh dengan sampah ibarat dua kata lucu yang sulit ditentang, bila dikata Banda Aceh adalah kota gemilang yang terbebas dari aroma-aroma tak men

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Muhammad Balia M Sos, Ketua Himpunan Pengusaha Santri Indonesia-Aceh 

Upaya untuk menjadikan Banda Aceh sebagai kota impian bebas sampah bisa dimulai dari hal terkecil, misalnya dengan meneladani kemampuan Jepang dalam memanajemeni sampah.

Menurut literatur sejarah pengolahan sampah yang bertanggung jawab di masyarakat Jepang bukanlah kebiasaan yang dilakukan sejak zaman dahulu, tetapi kesadaran itu baru bangkit sekitar 25 tahun yang lalu.

Antara tahun 1960-1970-an, Jepang tempo dulu sama seperti Banda Aceh, kepedulian terhadap sampah dan lingkungan masih sangat rendah.

Sebagai negara yang baru bangkit pasca perang, Jepang berubah haluan menjadi negara industri yang fokus dalam pembangunan ekonomi negara.

Dengan menjadi negara industri, Jepang memproduksi lebih banyak sampah dari sebelumnya. Akibatnya polusi, pencemaran lingkungan, bahkan keracunan meningkat akibat dari pertumbuhan industri di Jepang.

Saat itu, Kota Tokyo menjadi salah satu kota yang mengalami dampak dari hal tersebut. Limbah dan sampah rumah tangga, menjadi masalah terbesar yang dirasakan oleh warga Tokyo.

Karena dampak negatif dari pertumbuhan industri dan ekonomi semakin dirasakan oleh masyarakat Jepang, barulah pada pertengahan tahun 1970 bangkit gerakan masyarakat peduli lingkungan atau dalam bahasa Jepangnya disebut “chonaikai”.

Sejak saat itu, kata Balia, masyarakat Jepang mulai menanamkan rasa peduli lingkungan lewat sosialisasi cara membuang dan memilah sampah agar memudahkan proses pembuangannya.

Chonakai menggunakan tema utamanya yaitu mengurangi pembuangan sampah, menggunakan kembali barang yang bisa digunakan dan daur ulang.

Chonaikai semakin didukung oleh masyarakat, tetapi pemerintah Jepang belum juga memiliki undang-undang yang mengatur pengelolaan sampah karena pemerintah beranggapan bahwa permasalahan sampah belum menjadi sebuah prioritas.

Hingga di bulan Juni 2000, Pemerintah Jepang mengesahkan undang-undang yang mengatur mengenai orientasi daur ulang atau Basic Law for Promotion of the Formation of Recycling Oriented Society.

Undang-undang ini dibuat untuk mengurangi dampak negatif yang masif di masa yang akan datang. Tidak hanya proses daur ulang, tetapi proses pembakaran sampah juga diterapkan untuk memenuhi program Zero Waste to Landfill (ZWTL).

Tidak hanya disebabkan oleh jumlah sampah yang berlebih di Kota Tokyo, Balia menjelaskan bahwa awal mula dari munculnya kesadaran masyarakat Jepang untuk melakukan gerakan peduli lingkungan juga diakibatkan dari munculnya efek dari tragedi Minamata pada tahun 1958.

Tragedi Minamata terjadi akibat dari buruknya pengolahan dan pembuangan limbah pabrik yang dilakukan oleh Pabrik Chisso. Pabrik Chisso membuang merkuri dan limbah berbahaya lain ke teluk Minamata yang menyebabkan tercemarnya air dan ikan yang ada di teluk tersebut.

Karena hal ini juga muncul kasus penyakit Minamata dimana penderita mengalami gejala kerusakan pada otak dan juga jaringan saraf tulang belakang. Di tahun 2001 ada lebih dari 1.700 korban meninggal akibat tragedi ini. Kejadian ini dijadikan sebagai pembelajaran oleh pemerintah Jepang.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved