Opini
Menggugat Pemilihan Majelis Pendidikan Aceh
Setelah itu diadakan musyawarah besar (Mubes) untuk memilih secara voting di antara calon-calon yang sudah terpilih pada waktu wawancara dan anggota p
Namun di sisi lain, untuk kalangan internalnya dibolehkan serta dapat dipilih dan dinyatakan lulus, ini merupakan satu indikasi prosesnya berjalan tak sehat.
Tinjau ulang Pergub
Menurut saya, aturan-aturan yang telah dibuat dan disahkan oleh Pj Gubernur Aceh sebelumnya Ahmad Marzuki perlu ditinjau kembali. Pergub itu kurang menjunjung tinggi nilai-nilai edukasi di dalamnya, tidak mengandung nilai transparansi dan akuntabel serta tidak taat azas demokrasi.
Siapa saja yang terlibat dalam perumusan Pergub tentang MPA itu juga patut dicurigai, nampak pada substansi Pergub yang tujuannya lebih kepada untuk melindungi kepentingan anggota petahana supaya dapat bertahan untuk periode selanjutnya.
Pada Pasal 18 dari Pergub tersebut, misalnya, dinyatakan bahwa masing-masing peserta Mubes harus memilih lima orang calon anggota MPA.
Ini jelas adanya hak berlebihan untuk setiap peserta Mubes, lebih-lebih di saat tidak dihadirkan calon-calon anggota baru yang lulus pada tahap wawancara. Jelas ini adanya pengangkangan terhadap nilai-nilai pendidikan di antaranya adalah keadilan atau tidak terdapat diskriminasi, menjunjung tinggi kualitas dan lain-lain.
Dalam proses pemilihan tersebut, kedekatan personal lebih utama, walaupun yang bersangkutan tidak kapabel dan tidak familiar dengan bidang ilmu pendidikan dibandingkan dengan calon yang tidak terpilih.
Padahal 21 orang yang terpilih tersebut adalah para pemberi nasehat dalam bidang pendidikan di Aceh (Education Advisory Board).
Aceh sudah memiliki banyak lembaga yang mengurus pendidikan, dengan para pakarnya di segala bidang. Pihak sekolah juga umumnya lebih banyak mendengar nasihat-nasihat dari pihak bimbingan belajar (Bimbel) untuk meningkatkan kualitas pendidikannya dan meluluskan siswa-siswinya untuk kuliah di perguruan tinggi-perguruan tinggi yang diharapkan.
Saya sudah mewawancarai sejumlah kepala sekolah ternama di Aceh, ternyata caranya lebih kurang sama cara meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak di sekolahnya.
Lagi pula, grand design pendidikan Aceh yang seharusnya sudah diimplementasikan dan dievaluasi berkali-kali implementasinya, sampai saat ini belum jelas wujudnya dalam realisasinya.
Padahal Pemerintah Aceh sudah menghabiskan dana yang banyak sekian puluh tahun untuk memikirkan pendidikan Aceh.
Perlu dicatat bahwa MPA atau MPD Aceh ini sudah berjalan sekian puluh tahun. Jadi kalau dihitung sampai sekarang 2024, sudah memasuki dekade ketiga tugasnya.
Untuk apa Pemerintah Aceh menghabiskan dana miliaran rupiah setiap tahun untuk 21 orang anggota MPA bila tidak efektif dan kurang kontributif untuk meningkatkan kualitas pendidikan Aceh.
Lebih baik anggotanya dikurangi menjadi 10 atau 5 orang saja, supaya tidak membebani anggaran untuk membayar gaji mereka setiap bulan, untuk menggaji staf di kantor, membeli kendaraan-kendaraan operasional dan berbagai kebutuhan kantor lainnya.
Maunya dalam pemilihan anggota MPA dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis. Pergub dicermati betul-betul oleh kalangan ahli hukum, agar dalam pelaksanaannya menjunjung tinggi supremasi hukum, bukan lobi-lobi yang belum tentu memenuhi kualitas.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.