Opini
Salah Apa Lulusan SMK?
Lalu ada apa dengan lulusan SMK? Apa yang salah dengan sistem pendidikan di SMK? Logikanya lulusan SMK adalah lulusan yang siap kerja, tapi fakta yang
Oleh: Feri Irawan SSi MPd, Kepala SMKN 1 Jeunieb
SALAH satu jalur pendidikan formal yang menyiapkan lulusannya untuk memiliki kompetensi serta keunggulan di industri dunia kerja (iduka) adalah sekolah menengah kejuruan (SMK). Orientasi utama pendidikan SMK adalah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul yang siap pakai pada iduka, memiliki kepemimpinan tinggi, disiplin, profesional, handal di bidangnya dan produktif. Dengan demikian, lulusan SMK idealnya merupakan tenaga kerja tingkat menengah yang siap terjun di iduka.
Namun, fakta di lapangan belum berjalan secara efektif. Dikutip dari cnnindonesia.com (7/5), hasil survei BPS menyampaikan bahwa pada Februari 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) tamatan SMK menduduki peringkat tertinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya. Persentasenya mencapai 8,62 persen. Meskipun data BPS menunjukkan populasi pengangguran didominasi lulusan SMK, kondisi ini tentu tidak serta merta mewakili kegagalan pendidikan kejuruan mengarahkan lulusannya memperoleh pekerjaan.
Lalu ada apa dengan lulusan SMK? Apa yang salah dengan sistem pendidikan di SMK? Logikanya lulusan SMK adalah lulusan yang siap kerja, tapi fakta yang terjadi justru banyak yang menganggur. Bukankah lulusan SMK sudah dibekali dengan kecakapan softskill dan hardskill. Selain itu, lulusan SMK juga didorong memiliki jiwa wirausaha sehingga tidak hanya mencari pekerjaan, tetapi dapat menciptakan lapangan kerja baru di lingkungannya.
Penyebab pengangguran
Jika dilihat di lapangan, memang ada beberapa faktor penyebab banyaknya lulusan SMK tidak terserap di dunia kerja dibandingkan lulusan pendidikan lainnya. Di antaranya adalah ada jurusan SMK yang tidak sesuai dengan karakter daerah atau tingkat kebutuhan tenaga kerja di daerah itu. Maksudnya jika di daerah pariwisata, maka jurusan yang dibuka seharusnya adalah jurusan yang berkaitan dengan pariwisata, bukan memperbanyak jurusan teknik. Banyaknya SMK bermunculan dan tidak memperhatikan jurusan yang sesuai dengan peta kebutuhan tenaga kerja lingkungan sekitar, mengakibatkan lulusan SMK banyak yang tidak terserap di dunia kerja terutama di daerahnya sendiri. Imbasnya kompetensi lulusan yang tersedia belum sesuai dengan yang dibutuhkan iduka.
Jadi SMK dan industri tak kunjung selaras. Hal tersebut berakibat pada pembukaan kompetensi keahlian kurang mempertimbangkan kebutuhan Industri. Akibatnya kompetensi lulusan yang tersedia terjadi over supply, yakni lulusan SMK jurusan tertentu jumlahnya berlebih ketimbang yang lain.
Data Kemendikbud ristek menyebutkan bahwa kompetensi keahlian terbanyak yang menyumbang angka pengangguran adalah teknik otomotif, teknik mesin, teknik komputer dan informatika, administrasi, dan keuangan. Sebaliknya diketahui bahwa lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja lulusan SMK adalah bidang perdagangan, industri pengolahan, pertanian, akomodasi makan dan minum dan transportasi dan pergudangan. Hal ini membuktikan bahwa pemilihan jurusan yang dibuka untuk SMK perlu mempertimbangkan peta kebutuhan tenaga kerja di daerah sekitar.
Selain itu, persoalan kualitas lulusan yang tidak sesuai standar industri. Tidak semua SMK mampu menghasilkan lulusan yang mempunyai softskill dan hardskill mumpuni. Soft skill ini sangat penting di dunia kerja, karena berkaitan dengan kemampuan beradaptasi, bekerja sama, dan komunikasi. Berdasarkan pengalaman pelaku industri, sangat sedikit lulusan SMK yang mempunyai kematangan sikap dan mental untuk siap menghadapi budaya kerja secara profesional. Misalnya, lulusan SMK jurusan teknik mesin, tetapi tidak bisa menggunakan mesin-mesin canggih yang dibutuhkan di industri.
Hal ini disebabkan belum link and match antara kurikulum SMK dengan kebutuhan dunia kerja, kuantitas dan kualitas guru SMK yang belum memadai, praktik kerja lapangan (PKL) yang belum efektif hingga terbatasnya fasilitas, alat praktik dan laboratorium. Jika pun alat praktiknya lengkap tapi belum mampu mengejar fasilitas terkini yang digunakan Iduka.
Data BPS Tahun 2015 menyatakan bahwa hanya 22,3 persen guru produktif/kejuruan pada jenjang SMK yang mengajar sesuai bidang kompetensinya. Hal tersebut memberikan arti bahwa kompetensi guru produktif masih rendah. Maka dapat dipahami bahwa kesulitan SMK menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas adalah karena keterbatasan kualitas dan kuantitas guru produktif/kejuruan. Seperti di sekolah saya, masih terjadi kekurangan guru produktif/kejuruan.
Masalah guru produktif/kejuruan ini adalah masalah nasional, karena perguruan tinggi penghasil lulusan pendidikan kejuruan ini sangat terbatas jumlahnya di Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan guru produktif/kejuruan yaitu dengan memperkuat kompetensi guru kejuruan yang tidak linear dengan pola magang guru, guru tamu, dan kemitraan dengan industri.
Selain itu, ketika mencari pekerjaan, para lulusan SMK ini pasti mencari lowongan pekerjaan yang spesifik di bidang mereka. Salah satu pertimbangan utamanya tentu berkaitan dengan bidang pekerjaan dan gaji yang ditawarkan oleh masing-masing lapangan kerja. Ketidakcocokan antara penawaran dan permintaan ini pada akhirnya berimbas pada tidak terserapnya lulusan SMK di pasar tenaga kerja.
Peneliti Senior Lembaga Demografi FEB UI, Dwini Handayani mengungkapkan sebab tingginya angka pengangguran lulusan SMK berkaitan dengan proses pencarian pekerjaan yang sesuai dengan keahlian hingga ketidaksesuaian antara keahlian dan kebutuhan dunia usaha dan industri
Kemungkinan lainnya adalah sedang mempersiapkan usaha sendiri. Banyak lulusan SMK yang memilih untuk berwirausaha. Dalam Jurnal pendidikan karya Sunawardhani dan Casmudi, ada beberapa faktor kondisi lulusan belum mampu mewujudkan membuka usaha sendiri secara mandiri karena: (1) Pendidikan karakter kemandirian, yang memberikan motivasi berdaya juang keras, ulet tidak mudah menyerah dari kegagalan lebih difokuskan pada sasaran berwirausaha belum berjalan dengan baik di sekolah. (2) Belum adanya inkubator yang dibangun sekolah sebagai wadah para siswa belajar membangun usaha sendiri sejak di bangku SMK. (3) Masih kurangnya dukungan orangtua dalam mengarahkan anak-anak lulusan SMK untuk berwirausaha tanpa harus bekerja sebagai pekerja di unit usaha milik orang lain. (4) mental untuk berani membuka usaha sendiri rendah. (5) Faktor dukungan sekolah dan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) dalam pendampingan kepada siswa untuk membuka usaha sendiri yang difasilitasi dimonitoring dalam bidang pemasaran, manajemen usaha dan permodalan belum ada.
Alasan lainnya, keterbatasan informasi terhadap peluang kerja yang belum memadai, serta persoalan usia lulusan yang rata-rata baru 17 tahun, sehingga harus menunggu 1 tahun lagi untuk bekerja. Di samping itu, tidak sedikit lulusan SMK yang keinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun keinginan ini terkadang terkendala oleh sistem materi ujian perguruan tinggi yang lebih disiapkan untuk lulusan SMA. Karena alasan ini, tidak jarang lulusan SMK harus bekerja ekstra dan mengambil gap year dalam rangka mempersiapkan diri mengikuti ujian seleksi masuk Perguruan Tinggi.
Milad UIN Ar-Raniry: Mengawal Nilai Keislaman dalam Kurikulum |
![]() |
---|
Rotasi Birokrasi Era Disrupsi: Bukan Kursi, tapi Motivasi |
![]() |
---|
Infrastruktur Pariwisata Bernapaskan Syariat untuk Kemakmuran Aceh |
![]() |
---|
Tubuh Kurus di Tengah Piring Penuh karena Cacingan dan Ketimpangan Gizi Anak Indonesia |
![]() |
---|
Dari Meunasah ke Meja Makan, Menyatukan Sosial, Perilaku, Lingkungan, & Gizi demi Generasi Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.