Opini

Sudan Teriak, Dunia Terdiam, The Next Genocide?

Saat ini, Sudan kembali berada di persimpangan jalan yang penuh ketidakpastian, memicu pertanyaan, apakah kita sedang menyaksikan awal dari genosida

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Muhammad Shiddiq, Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Peminat Komunikasi Internasional dan Isu-isu Global. 

Oleh: Muhammad Shiddiq *)

Di tengah krisis kemanusiaan dan politik yang berlangsung, Sudan sering kali mengeluarkan jeritan minta tolong. Namun, di banyak kesempatan, jeritan ini tampaknya tidak mendapat perhatian yang memadai dari komunitas internasional.

Ungkapan "Sudan teriak, dunia terdiam" menggambarkan frustrasi yang dirasakan oleh rakyat Sudan ketika suara mereka tidak cukup didengar oleh dunia luar.

Saat ini, Sudan kembali berada di persimpangan jalan yang penuh ketidakpastian, memicu pertanyaan, apakah kita sedang menyaksikan awal dari genosida berikutnya seperti yang dirasakan oleh Palestina ?

Konflik yang terjadi di sudan menjadi sorotan tersendiri, bisa dikatakan dengan “Perang Saudara” pasalnya konflik yang didasari oleh persaingan politik internal antara Presiden dan Wakil Presiden yang kemudian berkembang menjadi perpecahan etnis, agama, dan ekonomi.

Perebutan kekuasaan yang terjadi di daerah Darfur antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dengan Pasukan Dukungan Cepat (RSF).

Nah, dimana letak perbedaan keduanya? SAF (Sudanese Armed Forces) adalah angkatan bersenjata resmi sudan, yang terbentuk setelah kemerdekaan sudan dari Inggris pada tahun 1956 yang dipimpin oleh Abdel Fattah al-Burhan. Tentara ini, tediri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Unit Paramiliter.

Baca juga: Serangan Paramiliter di Sebuah Desa di Sudan Tewaskan 100 Orang

RSF (Rapid Support Forces) sebuah organisasi yang terbentuk pada tahun 2013 oleh Mohamed Hamdan Dagalo dikenal sebagai Hemedti, RSF itu sendiri adalah gabungan antara tentara, tentara bayaran, konglomerat perdagangan emas dan kendaraan untuk ambisi politik Hemedti.

Krisis Sudan disetiap Sudut

Sebelum terjadinya konflik, Sudan memang sudah menghadapi kritis kemanusian yang di akhibatkan oleh cuaca ekstrem, kerusuhan sosial dan politik, serta kenaikan harga pangan yang dapat mendorong kemiskinan dan kelaparan.

Pasca konflik yang terjadi yang sangat besar di mulai pada tanggal 15 April 2023 sampai sekarang ini, telah menyebabkan krisis manusia dengan skala yang begitu dahsyat.

Menurut angkat dari PBB pada Januari 2024, lebih dari 45 juta penduduk Sudan, sebanyak 5,9 juta orang menjadi sebagai pengungsi internal dan 1,4 juta orang mengungsi ke tempat yang aman, serta sebanyak 25 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan, dengan krisis pangan yang mengancam resiko kelaparan.

Setiap harinya, jutaan kepala keluarga harus membuat pilihan yang sangat berat untuk memberi makanan ke keluarga mereka, sering kali menjalani kehidupan tanpa makan apa apun.

Krisis kelaparan dengan proporsi yang tidak bisa dibayangkan bukanlah sebuah kekhawatiran di massa depan, namun sebuah kenyataan yang terjadi saat ini terjadi di beberapa wilayah negara. Dalam kondisi yang semakin genting ini, komunitas internasional tampaknya terpecah antara keprihatinan dan ketidakmampuan untuk bertindak efektif.

"Konflik telah sangat merusak kemampuan masyarakat untuk bercocok tanam, mengganggu pasar, menyebabkan pengungsian massal, berdampak negatif pada pendapatan, dan membatasi akses terhadap bantuan, yang semuanya mengakibatkan jutaan orang kekurangan makanan," kata Shashwat Saraf, direktur darurat regional IRC Afrika Timur.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved